KOTA Batam kini menghadapi kondisi kekurangan tenaga pengajar yang mencapai 700 orang pada tahun 2025 ini. Bahkan, angka ini diprediksi akan melonjak menjadi 1.500 guru pada tahun 2030.
KEPALA Dinas Pendidikan Kota Batam, Tri Wahyu Rubianto, mengungkapkan kekhawatiran ini. Menurutnya, kekurangan guru ini terutama terjadi di jenjang Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
“Batam saat ini memang kekurangan 700 guru,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa situasi ini berpotensi memburuk jika tidak ada langkah nyata untuk mengatasinya. Penyebab berkurangnya jumlah guru antara lain adalah pensiun dan meninggal dunia.
Tri menambahkan, pihaknya tidak bisa merekrut tenaga pengajar baru akibat adanya pembatasan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara, yang melarang pengangkatan tenaga honorer selama lima tahun ke depan.
“Jika situasi ini berlanjut, kami memprediksi pada 2030 Batam akan kekurangan antara 1.400 hingga 1.500 guru,” ucapnya.
Kekurangan ini diperkirakan akan merata di semua jenjang pendidikan dasar.
Dalam upaya mencari solusi, Dinas Pendidikan Batam saat ini berkoordinasi dengan berbagai instansi, termasuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian PAN-RB, untuk mencari cara agar bisa melakukan rekrutmen terbatas.
“Misalnya, kami sedang mempertimbangkan apakah guru yang dibiayai lewat dana BOS dan kini tidak aktif dapat diganti,” terang Tri.
Ia berharap ada celah dalam peraturan yang memungkinkan mereka untuk memperlambat laju kekurangan guru.
Tri juga menekankan pentingnya dukungan dari pemerintah pusat agar daerah seperti Batam bisa melakukan rekrutmen terbatas atau mendapatkan alokasi khusus dari dana publik. Hal ini diperlukan agar pendidikan dasar tetap berjalan dengan baik.
“Peraturan nasional harus diikuti, tetapi situasi di lapangan juga harus dipertimbangkan. Jangan sampai kualitas pendidikan menurun akibat kekurangan guru,” imbuhnya.
Distribusi Tenaga Pendidik
SELAIN isu kekurangan guru, Batam juga menghadapi ketimpangan distribusi tenaga pendidik antara jenjang SD dan SMP. Keduanya mengalami defisit, namun kebutuhan mendesak sering kali tidak seimbang dengan ketersediaan tenaga pengajar.
Tri mengungkapkan bahwa saat ini pihaknya sedang merumuskan kurikulum baru yang lebih fleksibel, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang cepat berubah. Tim perumus pendidikan daerah bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan, agar kebijakan yang diambil sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat.
“Kami menyadari bahwa kebutuhan masyarakat berubah dengan cepat, jadi pendekatan pendidikan harus adaptif. Jika program yang salah diterapkan, yang dirugikan adalah anak-anak kita,” tutupnya.
(sus)