SEJUJURNYA, dalam sepuluh tahun terakhir, saya merasakan betapa bebas merdekanya pikiran saya, setelah tidak diribeti oleh kepemilikan mobil atau motor.
Oleh: Sultan Yohana
SAYA tidak lagi mikir berapa budget bulan untuk merawat mobil. Tak lagi mikir angsuran, kuatir ban bocor di tengah jalan, cegatan polisi, bingung cari parkiran, atau resiko kendaraan dicuri maling. Saya bisa tidur nyenyak. Ndak capek. Ndak jengkel karena macet atau diserobot orang, ndak lagi antri isi BBM.
Budget yang dulu tersita untuk kebutuhan mobil, bisa saya alihkan untuk hal lainnya. Sesekali makan ke restoran mahal. Borong buku untuk kawan-kawan. Disimpan untuk pelesiran. Atau sekedar dipakai jaga-jaga jika tiba-tiba ada teman yang ngutang.
Ke mana-mana saya mengandalkan transportasi publik. Atau naik sepeda pancal, atau jalan kaki. Kalau perlu mobil cepat atau lokasi tak terjangkau transpotasi publik, saya bisa ngegrab, atau ngojek. Di perjalanan, saya masih bisa nyambi kerja, atau baca buku dari HP. Betapa produktifnya waktu saya.
Kenyamanan yang saya rasakan sepuluh tahun terakhir ini, berangsur-angsur menekan keinginan saya memiliki mobil atau motor. Saat pulang ke Indonesia pun, saya mulai ogah menyewa mobil. Ribet dan capek nyetir. Apalagi menghadapi jalanan yang macetnya naudzubillah. Lagi-lagi grab dan ojek menjadi transportasi andalan.
Saat pulang kampung, saya juga kadang ditawari tumpangan kawan yang kebetulan lihat saya jalan kaki. Kerapkali mereka seperti keheranan, melihat saya jalan kaki jauh sekali (menurut mereka). “Orang Singapur” kok jalan kaki? Memang ndak bisa beli kendaraan? Begitu kira-kira pikiran mereka. Saya mengerti cara berpikir mereka, bahwa kepemilikan kendaraan masih menjadi status kelas sosial. Saya mengerti keheranan mereka. Tapi jika mereka merasakan nikmatnya kebebasan yang selama sepuluh tahun ini saya rasakan, mungkin mereka akan memilih cara hidup seperti saya: membebaskan diri dari kepemilikan kendaraan bermotor. Membebaskan diri dari kemubadziran.
Saya tahu, hidup di Indonesia berbeda dengan di Singapura. Transportasi publiknya buruk, dan kendaraan kerapkali menjadi alat kerja yang sangat dibutuhkan. Jika memang kendaraan menjadi alat kerja Anda, pastikan Anda memilikinya. Tapi secukupnya saja. Seperlunya saja. Saya bukan anti kendaraan bermotor. Saya hanya tak suka menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang tersier. Apalagi cuma ingin sekedar dipuji orang.
Anda ingin hidup bebas merdeka seperti saya atau tidak? Setiap pilihan punya konsekuensinya.
https://www.instagram.com/p/DSRYZcUjomf/?igsh=NjBocTd2cms3MjRn
(*)
Penulis/ Vlogger : Sultan Yohana, Citizen Indonesia berdomisili di Singapura. Menulis di berbagai platform, mengelola blog www.sultanyohana.id


