Oleh : Sultan Yohana
Beberapa pekan lalu, istri dapat undangan resepsi pernikahan. Dari kawan kerjanya yang Melayu. “Kamu mau ikut atau tak? Pestanya di CC,” ia memberi tawaran pada saya.
CC yang dimaksud adalah community centre. Itu seperti kantor kelurahan yang punya gedung serbaguna, dan bisa disewa untuk apa pun kegiatan masyarakat Singapura, termasuk acara pernikahan.
Saya menolak ajakannya. Ada hal lain yang perlu saya kerjakan di hari undangan itu. Ia lalu menggumam sendiri, seperti menghitung-hitung sesuatu. Kemudian kembali tanya pada saya, “kira-kira berapa ang-bao yang mau saya berikan?”
Saya menggeleng, tidak tahu.
Sama seperti di Indonesia, di Singapura, bulan Haji seperti sekarang ini, juga banyak undangan pernikahan. Terutama dari masyarakat Melayu, yang juga percaya, Bulan Haji adalah bulan baik menggelar hajatan. Di tempat saya di Singosari, Malang, undangan itu biasa disebut “bowo” atau “bowoan”.
Anda harus membaca huruf “o” di kata “bowo/bowoan” seperti membaca “o”-nya “nego”. Kalau tidak, bisa berubah dengan drastis itu makna! Musim bowo adalah musim “merepotkan” bagi banyak emak-emak di Indonesia.
Harus disediakan ekstra uang untuk uang amplopan bowoan, yang seringkali jumlahnya hingga belasan. Sama merepotkannya dengan emak-emak di Singapura.
Istri mengajak saya ke pernikahan kawan, karena ia tahu, pesta digelar di CC. Itu berarti, isi amplop atau angbao yang “harus” diberikan tidak perlu banyak. Mengingat sewa CC tak semahal sewa hotel. Jika pun saya ikut, dan isi angbao yang diberikan dobel, totalnya tidak akan semahal ketika pesta digelar di hotel-hotel.
Tahun lalu misalnya, ketika sepupu istri saya nikah di Fullerton Hotel, angbao yang “harus” dibayarkan bisa mencapai $300 dolar. Untung saya ndak ikut. Kalau ikut, kudu ngamplopi Rp6 juta untuk angbao kami berdua.
Sialan, mahal banget!
Saya pernah tanya pada istri, apakah hitung-hitungannya memang harus begitu? Apakah tidak bisa, isi angbao SEIKHLASNYA saja, sesuai kemampuan orang yang diundang. “Tidak bisa,” ia menyergah.
Ia kemudian menjelaskan; di Singapura, isi angbao itu sudah tertakar dengan sangat akurat. Penyelenggara pesta juga tahu berapa isi angbao setiap tamu mereka. Pikir saya, kayak coblosan di jaman Soeharto saja! Setiap orang ketahuan apa yang dicoblosnya.
Menyelenggarakan pernikahan di Singapura, itu seperti berdagang. Mereka tak mau rugi. Kalau bisa, malah justru untung. Biaya pesta, secara tidak langsung “DIBEBANKAN” kepada tamu-tamu yang hadir.
Jika misalnya mereka menggelar pesta nikah pada SABTU SIANG di Resorts World Sentosa misalnya, orang yang diundang kudu mencari informasi terlebih dulu, berapa harga makan siang di hotel itu pada hari Sabtu. Jika harganya $230 per orang, minimal isi angbao-nya ya seharga itu. Syukur-syukur dilebihkan. Itulah kenapa, mereka suka mengundang orang-orang kaya. Agar dapat angbao banyak, agar pesta tidak rugi.
“Buat pesta untuk diri sendiri, kok yang susah orang lain?” cercah saya pada istri.
Tapi, ya, begitulah budaya di Singapura, dan itu sudah berlangsung bergenerasi-generasi lamanya. Alhasil, saya pun tak pernah mau diajak bowoan oleh istri. Bagi saya, mendingan isi angbaonya dikasih pengemis pinggir jalan saja.
Catatan:
Di Singapura, sampai-sampai, dibuat daftar berapa isi angbao yang harus diberikan di tahun 2023 ini: https://singaporebrides.com/wedding-ang-bao-rates/?fbclid=IwAR00SuKJNcpU_zz-ebQ740LzV9XKnsy_7xHOwQXS8epEOWdac0GxMVYdooc
(*)
Penulis/ Vlogger : Sultan Yohana, Citizen Indonesia berdomisili di Singapura. Menulis di berbagai platform, mengelola blog www.sultanyohana.id