“Tanah yang tidak dibangun, dengan segala yang ada di atasnya dan di dalamnya, menjadi milik seluruh penduduk, yaitu orang Melayu pribumi, yang diwakili oleh bangsawan. Oleh karena itu, meskipun tanah tersebut disebut milik bangsawan (milik raja), setiap penduduk dapat mengambil sebagian tanah tersebut untuk digunakan atau dimiliki.”
…
“Pekerjaan utama pemerintahan pribumi yang menangani wilayah di sini adalah mengurus pendapatan para bangsawan. Tanpa ini, mustahil bagi mereka untuk memenuhi pengeluaran yang diperlukan dan pemeliharaan keluarga mereka.” (J.G. Schot, Indische Gid – De Battam Archipel 1882)
Oleh: Bintoro Suryo
PADA masa perjalanan J.G. Schot menyusuri wilayah Kepulauan Batam, ia juga banyak mendapat masukan tentang kondisi sosial penduduk dari kepala-kepala wilayah pribumi. Setelah sempat dibagi menjadi tiga wilayah pemerintahan pribumi selama kurang lebih 10 tahun, Kepulauan Batam yang ditanganinya masa itu, secara perlahan mulai dilebur menjadi dua wilayah pemerintahan.
Berdasarkan catatan Schot, secara umum di negeri Riouw Lingga masa itu, pemerintah kolonial memberi keleluasaan penanganan wilayah kepada penguasa pribumi dalam konsep zelbestuur.
Dalam konteks sejarah dan politik, zelfbestuur sering digunakan untuk menggambarkan sistem pemerintahan di mana suatu wilayah atau daerah memiliki kekuasaan untuk mengatur dirinya sendiri, tetapi masih berada di bawah naungan atau pengawasan pemerintah pusat atau kolonial.
Di wilayah Kepulauan Batam pada masa pencatatan J.G. Schot, para bangsawan atau pangeran sebagai kepala pribumi lokal, memiliki kekuasaan untuk mengatur wilayahnya sendiri, dengan tujuan akhir mengumpulkan pendapatan bagi para bangsawan dari keluarga besar Yang Dipertuan Muda di Penyengat masa itu.
Berikut catatan penuh dari J.G. Schot pada dokumen ‘Indische Gid – De Battam Archipel bagian VIII.
KEPULAUAN Batam dibagi menjadi tiga bagian. Masing-masing memiliki pemerintahan pribumi sendiri. Di setiap bagian terdiri dari seorang wakil dari Raja Muda Riouw di Penyengat.
Bagian paling utara, wakil Nongsa, adalah yang terkecil. Wilayahnya membentang dari muara Sungai Ladi di pantai utara Batam, ke timur sepanjang pantai hingga ke kampung Bagan dekat muara Sungai Doeriankang, Kangboi, dan Assiamkang. Batas wilayah di pedalaman ditandai oleh Sungai Ladi dan Doeriankang. Bagian ini sebelumnya diberikan sebagai apanase kepada seseorang bernama Radja Jacoeb (Yakup) yang tinggal di Nongsa. Namun karena usia dan ketidakmampuan, ia digantikan oleh putranya Radja Mohammad Caleh (Saleh), biasa disebut Radja Mahmoed. Ia tinggal di kampung Bagan. Hanya kadang-kadang ia mengunjungi kampung Nongsa.
Wilayah lainnya dibagi menjadi dua bagian yang cukup besar dan sama, dengan garis yang membentang melalui Selat Tjëmbol, Petjong, dan Kasoe, dan selanjutnya antara pulau-pulau Blakang Padang dan Tholoep di satu sisi dan Metjan di sisi lain. Kedua wakil atau watessan ini dinamai menurut tempat kedudukan wakil-wakil Wakil Radja, yaitu watessan Pulau Boeloeh dan watessan Soelit.
Catatan: J.G.Schot mengistilahkan kepala pribumi yang menangani wilayah yang disebut pulau Boeloeh dan Soelit dengan nama Watessan, yakni wilayah yang diberi hak menangani penugasan atau pengelolaan tertentu.
Wilayah Pulau Boeloeh meliputi kedua Galang, Rempang, pulau-pulau Tandjong San, Stoko, Bolang, Bolang Këbam, Loemba, Rapat, dan pulau-pulau Samboe dan Blakang Padang, serta bagian Batam yang tidak termasuk Nongsa. Wilayah ini tidak diberikan sebagai hak apanase. Pendapatan yang diperoleh di sini langsung masuk ke Wakil Radja, yang diwakili oleh seorang bernama Radja Osman, yang namun karena usia lanjut, semakin tidak terlibat dalam urusan pemerintahan.
Catatan : Hak apanase merupakan hak yang diberikan pemberi kuasa untuk melakukan pengutipan langsung terhadap potensi pendapatan yang ada di wilayah tersebut kepada orang yang ditunjuk memimpin. Dalam hal ini, di wilayah Pulau Boeloeh dan Soelit, semua potensi pendapatannya dikutip langsung oleh perwakilan Raja Muda Riouw dari Penyengat yang dipercaya karena tidak berstatus apanase.
Wakil Soelit meliputi Tjëmbol, Kapalla Djërie, Kasoe, Telaga-Toedjoe, pulau-pulau Kenting dan Mëtjan, kelompok Plampong, Soegie, Soegie Bawa, Moro Besar dan Kecil, kelompok Sangla (Salar), Sandam, dan Doerei, serta Katëman. Sebelumnya, wilayah ini diberikan sebagai apanase kepada Radja Hoessin dan keturunannya, namun dengan syarat bahwa mereka harus menjalankan pemerintahan dengan baik. Namun, putra Hoessin, Radja Haji Osman, mulai menyimpang dari jalan yang benar dan semakin menunjukkan perilaku tidak hormat. Setelah kematiannya, ia digantikan oleh saudaranya Radja Abdoelhadi, yang kemudian dipecat karena beberapa tindakan buruk.
Baca : Lintas Masa Tata Pemerintahan di Negeri Riouw Lingga 1830 – 1911
Soelit-Doerei kemudian berhenti menjadi apanase dan kembali ke tangan bangsawan di Penyengat. Saat ini, wakil di Soelit adalah putra Radja Muda Riouw di Penyengat, yakni Radja Ali (Kelana). Dalam mengelola wilayah ini, ia di bawah bimbingan seorang ipar Yang Dipertuan Muda, bernama Radja Mat Thahir, yang merupakan seorang pemimpin yang cakap dan aktif.
Doerei-Kateman sebelumnya di bawah pemerintahan Radja Djafar, putra almarhum Radja Brahim, saudara Radja Hoessin. Setelah kematiannya, wilayah ini ditangani di bawah saudaranya, Radja Moesa. Wilayah Doerei-Kateman tidak langsung di bawah Penyengat, melainkan di bawah Soelit. Namun, dalam beberapa waktu terakhir, karena Radja Osman dari Boeloeh semakin lanjut usia dan kepentingan Boeloeh dan Soelit tidak lagi berbeda, kedua wilayah ini dikelola bersama oleh Radja Mat Thahir, Osman, dan Ali. Mereka membagi pekerjaan di antara mereka, kadang-kadang tinggal di Boeloeh atau Soelit, dan kadang-kadang di pulau Tholoep.
Radja Osman biasanya tinggal di Penyengat, sehingga pekerjaan pemerintahan hampir seluruhnya dijalankan oleh Radja Mat Thahir dan Radja Ali (Kelana).
Proses desentralisasi yang lambat di wilayah ini pada akhirnya justeru berdampak positif pada keteraturan pemerintahan secara umum. Hal ini justeru memudahkan pemerintah Belanda untuk melakukan pengawasan yang tepat dan memberikan pengaruh yang bermanfaat jika diperlukan. Semakin sentralisasi, berarti semakin sedikit kepala daerah, semakin sedikit perbedaan dalam tindakan pemerintahan, dan semakin mudah pengawasan dan pengaruh.
Pekerjaan utama pemerintahan pribumi yang menangani wilayah di sini adalah mengurus pendapatan para bangsawan Penyengat. Tanpa ini, mustahil bagi mereka untuk memenuhi pengeluaran yang diperlukan dan pemeliharaan keluarga mereka.
Pendapatan yang dikelola pemerintahan pribumi terdiri dari kerja rodi (kerahan), pendapatan wilayah dan beberapa pajak tertentu lainnya.
Kerja rodi yang tidak terlalu berat sudah ada sejak lama dan berbeda-beda jenisnya untuk setiap suku. Di Bagian V sebelumnya, saya telah menjelaskan perbedaan peringkat suku, yang terlihat dari perbedaan jumlah maskawin. Sesuatu yang serupa juga terlihat dalam penentuan jenis kerja rodi yang diberlakukan oleh penguasa pribumi.
Kita mulai dengan Suku Bintan. Suku ini dibagi menjadi dua bangsa, yaitu “Bangsa Boekit Batoe” dan “Bangsa Penaoeng”. Orang yang dituakan atau tokoh dari bangsa pertama adalah “Penghoeloe”, dan dari bangsa Penaoeng adalah “Orang kaja Bintan”. Pada acara-acara besar seperti pernikahan para bangsawan Penyengat atau anak-anaknya, kedua bangsa ini memiliki tugas-tugas tertentu. Pria dari bangsa Boekit Batoe harus menjaga saat makan di balei pangeran, seperti pelayan meja. Sementara pria dari bangsa Penaoeng, yang dipersenjatai dengan tombak, menjaga di halaman balei, yaitu area terbuka di depan balei, atau juga di tenda pernikahan. Mereka juga membawa payung kebesaran pangeran yang dihiasi dengan jumbai.
Wanita dari bangsa ini harus membawa kain doekong di bahu kiri atau kain sampei yang dipakai di leher, di atas kedua bahu, dan diikat di pinggang atau di bawah dada. Kain doekong adalah kain kecil persegi tanpa jumbai, yang jika acara tersebut berkaitan dengan sultan atau keturunannya, terbuat dari sutra kuning. Sementara untuk keturunan Wakil Raja, kain doekong tersebut dihiasi dengan motif tertentu.
Wanita Bintan harus berdiri sebagai pengikut di tangga pantjapersada. Sementara wanita dari bangsa Penaoeng juga harus menjaga di kaki tempat tidur kebesaran (pelaminan).
Pria dari suku Ladi harus melakukan tugas penjagaan bersenjata dengan tombak dan juga bertugas sebagai pendayung saat perang, serta harus menyediakan kayu yang cukup untuk pemeliharaan bangunan para bangsawan Penyengat atau tujuan lain yang diinginkan mereka. Wanita mereka harus menjaga di area kecil di depan pelaminan dan membawa lilin saat pangeran berjalan atau duduk dalam kebesaran.
Kerja rodi suku Galang, Gelam, Sekanna, dan Soegie adalah membawa senjata jika bangsawan memanggil mereka. Mereka membentuk pasukan perang jika diperlukan. Keturunan Bugis selalu memiliki peringkat pertama sebagai prajurit. Mereka harus selalu siap untuk pergi ke mana pun Yang Dipertuan Muda pergi. Yang merupakan kepala suku mereka, harus selalu mengelilingi.
Keempat suku tersebut juga harus melakukan tugas pendayungan. Sementara orang suku Gëlam juga dapat dipanggil untuk membuat kapal. Namun, dalam hal ini, setiap orang berhak atas kompensasi per minggu, yang terdiri dari dua gantang beras dan dua puluh sen dolar. Sebelumnya, kompensasi ini adalah lima belas sen. Namun tidak terlalu lama lalu, jumlahnya dinaikkan menjadi dua puluh sen. Ini adalah satu-satunya jenis pekerjaan di mana kompensasi uang diberikan. Selain itu, seperti menjadi tradisi, orang-orang kerahan yang dipanggil untuk kerja rodi, biasanya hanya disediakan makanan oleh para pangeran dan bangsawan.
Suku Mantang memiliki kerja rodi tertentu, yaitu membuat senjata dan pekerjaan logam lainnya, sementara orang-orang dari Klong, Trong, dan Moro hanya memiliki tugas pendayungan jika diperlukan. Suku Mapor tidak memiliki kerja rodi tertentu, namun jika kekurangan tenaga, mereka dapat ditugaskan untuk melakukan jenis kerja rodi lainnya. Namun, hal ini biasanya tidak terjadi. Beberapa kali, suku ini pernah ditugaskan untuk mengantar utusan dan surat ke bangsawan di luar negeri.
Enam suku di daratan Sumatra ditugaskan untuk mengurus dapur, air, dan kayu bakar, yang juga harus disediakan untuk pasukan perang. Suku Tamboes, yang merupakan suku dengan peringkat terendah, ditugaskan untuk pekerjaan yang paling rendah. Meskipun secara kebetulan suku ini ternyata memiliki beban yang paling ringan. Orang Tamboes harus menjaga dan merawat anjing pemburu jika bangsawan ingin pergi berburu, yang sudah lama tidak terjadi. Mereka juga tidak boleh menjadi pendayung di kapal yang dinaiki pangeran, namun boleh menjadi pendayung di kapal pengikutnya (kawan radja).
Orang darat atau orang hutan tidak perlu melakukan kerja rodi. Sifat dan watak mereka membuat tidak mungkin untuk memaksa mereka melakukan pekerjaan apapun. Mereka terlalu suka berpindah-pindah dan memiliki sifat nomaden.
Tentang asal mula ‘Orang Darat’ mendiami wilayah ini, baca artikel : “Mereka yang Bersumpah Terasing di Tanah Batam“
Nilai dari pekerjaan ini, bahkan pekerjaan pendayungan yang sederhana, tidak dapat ditentukan, karena tidak selalu diminta dan tidak dalam jumlah yang sama. Namun, dapat diasumsikan bahwa pekerjaan ini tidak sedikit menghemat uang. Sementara pekerjaan penebangan kayu oleh orang Ladi, relatif menghasilkan keuntungan besar di Kepulauan Batam. Di wilayah ini, hanya terdapat sejumlah kecil orang Ladi.
Di dalam pendapatan wilayah, kami juga menghitung apa yang diterima para bangsawan dari sewa tanah dan kompensasi untuk penebangan kayu untuk membuat papan, balok, dan tiang, serta untuk membuat arang, dan apa yang dibayar untuk pembakaran kapur.
Tanah yang tidak dibangun, dengan segala yang ada di atasnya dan di dalamnya, menjadi milik seluruh penduduk, yaitu orang Melayu, yang diwakili oleh bangsawan. Oleh karena itu, meskipun tanah tersebut disebut milik bangsawan (milik radja), setiap penduduk dapat mengambil sebagian tanah tersebut untuk digunakan atau dimiliki. Baik untuk membangun rumah atau untuk melakukan kegiatan pertanian. Dalam kasus terakhir, mereka harus memberitahu pemerintah, yang setelah penyelidikan, harus memberikan surat keterangan gratis yang menyatakan bahwa pemberitahu telah mengambil tanah tersebut.
Penduduk juga bebas untuk mencari keuntungan di hutan atau di tanah, kecuali untuk menebang kayu yang cocok untuk tiang kapal, serta kayu krandji dan kedang, yang secara khusus menjadi hak para bangsawan. Penduduk juga harus memiliki izin untuk menebang kayu lain yang cocok untuk papan dan balok, dan melaporkan di mana penebangan akan dilakukan.
Untuk kayu yang diperdagangkan sebagai kayu bakar untuk kapal uap, penduduk sebelumnya harus menyerahkan sepersepuluh bagian dalam bentuk natura. Namun, sekarang pembayaran dilakukan dalam bentuk uang. Sejumlah delapan orang penebang kayu harus membayar S$16,40 per bulan, yang sudah termasuk biaya izin.
Izin penebangan kayu diperlukan untuk mencegah perselisihan yang dapat timbul. Izin penebangan kayu biasa dibayar dengan 12 atau 18 dolar untuk setiap seratus batang kayu yang ditebang. Setiap seratus batang kayu membentuk satu akit (rakit) dan dibawa ke Singapura dalam bentuk itu, di mana dijual seharga $200 hingga $300. Namun, jika pasokan banyak, harga dapat turun menjadi $100.
Pengumpulan kulit kayu bakan geloekap, tengar, dan njirik juga dikenakan biaya izin, yaitu 75 sen untuk surat izin dan 60 sen untuk setiap gerobak kerbau. Kulit kayu ini diekspor ke Singapura dalam jumlah besar dan digunakan sebagai bahan penyamak kulit. Sementara kulit tengar bahkan dikirim dari Singapura ke Cina karena kandungan penyamaknya yang tinggi.
Di antara pendapatan wilayah yang diperoleh dari penduduk asli juga termasuk jumlah yang diminta untuk izin mendirikan kélong (jebakan ikan). Izin ini berlaku selama tiga tahun dan biayanya sepersepuluh dari hasil rata-rata tahunan. Sebelumnya, tidak ada izin yang diberikan. Tetapi baru-baru ini, pemerintah setempat harus memberlakukan izin untuk mencegah perselisihan tentang hak atas area tertentu yang cocok untuk mendirikan kélong.
Wakil kerajaan di masing-masing wilayah di sini, sebagai kepala penduduk asli dan perwakilan mereka, memiliki semua hak penduduk asli terhadap orang asing. Oleh karena itu, semua tanah yang tidak langsung diduduki atau diolah oleh penduduk asli adalah milik wakil raja, yaitu semua pendapatan yang dapat diperoleh dari sewa atau penyerahan sementara kepada orang asing (Eropa, Cina, dll.) masuk ke tangan para wakil raja.
Setiap orang asing yang ingin menetap di wilayah asli dan membangun rumah harus mendapatkan surat izin dari wakil raja, yang menyatakan bahwa mereka menyewa tanah seharga 3 dolar per bulan untuk membangun rumah atau toko. Sebelumnya, surat izin harus diperbarui setiap tiga bulan dan sewa dibayar; sekarang, ada penyewaan tidak terbatas kepada orang tertentu, yang berhenti ketika mereka kembali ke Cina atau pindah atau meninggal. Sewa harus dibayar setiap bulan, di awal dan bukan di akhir bulan. Surat izin biaya S$4, yang sudah termasuk sewa tanah 3 dolar untuk bulan pertama.
Di beberapa tempat, sewa tanah lebih rendah, misalnya di Pulau Boeloeh, di mana sewa tanah hanya S$1,50 per bulan. Sewa yang rendah ini diterapkan untuk mendorong aktivitas di daerah tersebut. Namun, ada kasus di mana orang Cina mengambil tanah tanpa membayar sewa kepada wakil raja di sana, terutama di kangkar, pusat pemukiman Cina di berbagai distrik.
Kasus utama penggunaan tanah oleh orang Cina tanpa membayar sewa kepada wakil raja terjadi di pemukiman Cina besar di Senggarang. Di sana, tidak ada sewa yang dibayar, meskipun pada awalnya ada, dan tidak ada pembebasan yang diberikan oleh pemerintah setempat.
Pedagang Cina, yang membeli ikan di daerah utara Batam, membayar sewa tanah sebesar $3 per bulan, dan jika mereka membeli ikan bilis, mereka membayar $24 per tahun, yang memberi mereka hak untuk menebang kayu bakar sebanyak yang mereka butuhkan untuk memasak ikan.
Baca : “Tionghoa di Negeri Riouw”
Jika orang asing ingin mengolah tanah, mereka harus mendapatkan izin, yang biayanya tergantung pada ukuran tanah yang diminta, dan sewa tahunan harus dibayar. Dalam beberapa kasus, penyewa dibebaskan dari sewa selama tiga, empat, atau lima tahun pertama karena pertanian yang mereka jalankan dianggap baru produktif setelah waktu tersebut. Selain itu, tanah yang disewakan hanya dapat digunakan untuk tujuan tertentu yang ditentukan.
Jika seseorang menyewa tanah untuk pertanian gambir dan lada, mereka tidak boleh menanam kelapa. Sewa tahunan tidak terikat oleh aturan tertentu, tetapi tergantung pada pemberi sewa dan penyewa.
Sewa tanah untuk perkebunan gambir sangat rendah. Misalnya di Bintan, Batam, Rempang, dan Soegie. Sewa tanah hanya empat, lima, atau enam dolar per perkebunan per tahun. Perkebunan ini sudah lama ada, tetapi penyewaan yang lebih baru menyebabkan sedikit kenaikan sewa menjadi satu dolar per perkebunan per bulan.
Pembayaran ini, yang masih dianggap sebagai pajak pertanian, sebenarnya adalah sewa tanah untuk perkebunan gambir yang relatif rendah. Pemilik perkebunan gambir harus membayar sewa tanah yang digunakan, yang tidak dimiliki oleh mereka, tetapi disewakan.
Pendapatan yang diperoleh dari kayu di hutan tergantung pada nilai jenis kayu dan ukuran pohon yang dibutuhkan untuk tujuan tertentu. Pendapatan ini adalah pendapatan wilayah murni, seperti halnya pendapatan dari izin membangun tungku arang dan pembakaran arang, serta pembangunan tungku kapur dan pembakaran kapur dari massa karang di pantai pulau.
Pendapatan wilayah sebagian besar ditentukan oleh faktor ekonomi permintaan dan penawaran.
PAJAK lain yang tidak termasuk pendapatan wilayah di Kepulauan Batam adalah dua pajak perdagangan berikut: pajak yang dikenakan per kojan ruang muat setiap kapal yang berangkat ke luar negeri, sebesar $0,75 untuk setiap perjalanan, dan pajak per pikul sagu yang diekspor. Biasanya, diasumsikan sejumlah rata-rata perjalanan. Kemudian, pajak dihitung per bulan, dua atau tiga bulan. Ketika pajak ini dibayar, kapal diberikan bendera dan surat tongkang sebagai bukti pembayaran.
Pajak per pikul sagu dari Kateman dan Soegie adalah lima belas sen dolar. Selain itu, ada pajak atas profesi, yaitu pajak pada perikanan troeboek, yang akan dibahas nanti. Juga perlu disebutkan kewajiban penyerahan di Distrik Soelit-Trong-Kasoe, yaitu 2 pikul agar-agar mentah per tahun dan per kelamin (pasangan suami-istri) paling banyak, hingga jumlah total yang ditentukan. Sedangkan agar-agar lain yang dikumpulkan oleh penduduk harus dijual secara eksklusif kepada wakil raja dengan kompensasi yang wajar. Ini sama dengan kewajiban penyerahan. Kami akan membahasnya lebih lanjut nanti.
Sebagai penutup, kami sajikan tabel pendapatan berikut untuk klarifikasi, yang berasal dari penebangan hutan, pembuatan arang dan kapur, serta pembelian dan ekspor kayu oleh orang asing yang ditebang oleh penduduk asli.
Nama Pekerjaan yang Diajukan oleh Orang Cina atau Orang Asing Lainnya | Biaya Izin | Biaya Lainnya | Jangka Waktu Pembayaran |
---|---|---|---|
Menebang kayu balan bulat | $4,25 | $8 | Per bulan |
Menebang kayu balan balok | $4,25 | $5 | Per bulan |
Menebang kayu tëmpinis | $4,25 | $5 | Per bulan |
Menebang kayu krandji | $4,25 | $5 | Per bulan |
Menebang kayu kledang | $4,25 | $4 | Per bulan |
Menebang kayu daroe-daroe | $4,25 | $3 | Per bulan |
Menebang kayu serajoe untuk papan | $4,25 | $3 | Per bulan |
Menebang kayu djëloetong | $4,25 | $3 | Per bulan |
Menebang kayu kroeing | $4,25 | $9 | Per bulan |
Membuat arang kayu dari hutan pantai (bakan) | $4,25 | $9 | Per bulan |
Membuat arang kayu dari hutan pedalaman | $4,25 | $7 | Per bulan |
Membuat kapur karang | $4,25 | $6,25 | Per bulan |
Membeli kayu mesin dari penduduk asli | – | $15 | – |
Membeli kayu bëntangor dari penduduk asli | – | $9 | – |
Membeli kayu djadjar kélong dari penduduk asli | – | $8 | – |
Membeli kayu balan balok dari penduduk asli | – | $18 | – |
Catatan:
- Biaya izin dan biaya lainnya dapat berbeda-beda tergantung pada jenis pekerjaan dan lokasi.
- Jangka waktu pembayaran juga dapat berbeda-beda, mulai dari per bulan hingga per tiga bulan.
Perlu dicatat bahwa tidak semua jenis kayu disebutkan dalam tabel ini. Namun, sebagai aturan, untuk penebangan balok biasa, harga yang berlaku adalah untuk penebangan kayu daroe-daroe. Sedangkan untuk penebangan jenis kayu lain yang digunakan untuk papan, seperti teraling, semaram dll., harga yang sama dibayar seperti untuk jenis kayu seraja dan djeloetong.
(Bersambung)
Battam, 20 April 1882
(*)
Catatan : Wilayah Kepulauan Batam yang dideskripsikan oleh J.G. Schot pada masa itu meliputi pulau-pulau utama dan penyangga. Mulai dari kelompok Batam – Rempang – Galang – Galang Baru, kelompok Bulang (termasuk Sambu, Belakangpadang dan pulau-pulau kecil di sekitarnya), hingga kelompok kepulauan Soelit (Tjombol, Sugi, Tjitlim) dan Kateman di pesisir pantai Timur Sumatera.
Selanjutnya : “Catatan J.G. Schot Tentang Kepulauan Batam (Bagian IX)
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Artikel ini diterbitkan sebelumnya di: bintorosuryo.com