KALAU kita mendengar film nasional atau film Indonesia pasti asumsi kita identik dengan film yang diproduksi oleh Production House (PH) asal Jakarta yang hampir tiap minggu merilis film-film baru di bioskop-bioskop tanah air.
Mungkin saja pendapat itu benar, tetapi pada dasarnya film nasional adalah film yang dibuat di di negara ini tidak hanya dari Jakarta tetapi juga dari berbagai daerah lainnya seperti Bandung, Jogjakarta, Makassar bahkan Medan.
Dari daerah-daerah tersebut Jogjakarta dan Makassar menjadi wilayah yang cukup menonjol dari segi industri film diluar Jakarta. Ini bisa dilihat dari produksi-produksi film dari daerah tersebut yang cukup konsisten menghiasi layar lebar tanah air, sebut saja Uang Panai, Anak Muda Palsu, Ati Raja dari Makassar.
Kemudian dari Jogjakarta ada film Siti, Turah, Sultan Agung yang dari segi kualitas sudah sering wira-wiri di festival film nasional dan internasional. Mengaca dari beberapa kantong-kantong industri kreatif tanah air, tidak menutup kemungkinan Batam bisa menjadi salah satu pemain industri kreatif ini.
Mengingat potensi besar yang dimiliki berupa letak geografis dan pertumbuhan ekonomi yang cukup baik diatas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional.
Serta banyaknya anak muda kreatif menjadi modal untuk bisa mengembangkan industri ini diluar sektor industri manufaktur dan konstruksi yang ada di kota Batam.
Batam sendiri bukan pemain baru dalam industri film di tanah air sebenarnya. Di kota ini sudah ada Kinema Infinite Studios yang sudah malang melintang menggarap film-film Hollywood.
Namun sejauh ini kebanyakan hanya sebagai tempat pembuatan saja dibandingkan sebagai PH yang yang memproduksi sendiri film mereka. Sehingga gaung film Batam yang dibuat oleh mereka seperti tidak terdengar oleh masyarakat.
Disamping itu hampir setiap tahun dimulai dari tahun 2015 sebenarnya kota Batam merilis film layar lebar untuk ditonton oleh masyarakat umum. Sebut saja film Mimpi Anak Pulau, True Heart, Hantu Sei Ladi, dan yang terbaru rilis tahun ini Ramlie Oii Ramlie.
Dari film-film yang sudah pernah beredar, ternyata masih belum juga bisa mengangkat industri perfilman Batam di kancah nasional apalagi internasional. Lalu apa sebenarnya yang menjadi kendala dan faktor penghambat perkembangan Sinema Batam?
Mindset Masyarakat Di Bidang Film
MINIMNYA penggiat seni perfilman di kota Batam tidak terlepas dari mindset masyarakatnya yang masih menganggap industri film bukan industri yang menjajikan di masa depan. Sehingga jarang sekali anak muda yang mau menekuni bidang ini karena ruang lingkup masyarakat yang lebih cenderung melihat gemerlapnya industri galangan, konstruksi dan manufaktur yang memang begitu banyak di kota Batam.
Jarang sekali dari mereka mau keluar dari zona nyaman sebagai pelaku indutri kreatif.
Kondisi pola pikir seperti ini juga masih terbawa oleh para pelaku bisnis di kota Batam, hanya segelintir pengusaha saja yang mau menggelontorkan uangnya untuk memproduksi film.
Itupun mereka belum mau all out dalam menginvestasikan dana mereka di bidang film. Padahal kalau kita bisa mengeksplorasi dunia perfilman, bukan tidak mungkin industri ini bisa menjadi kekuatan baru perekonomian kota Batam. Dampak besar bisa didapat oleh kota ini apabila ada salah satu produk kreatif berupa film mampu memberi pengaruh bagi dunia luar.
Sebagai contoh yang sudah jamak kita dengar adalah industri pariwisata tentunya akan
terkerek dengan promosi destinasi dan budaya yang ditampilkan dalam film. Selain itu belum adanya pembuat film di Batam yang berani keluar dari zona nyaman untuk menggarap
tema-tema yang bukan pasaran.
Mereka masih ingin main aman dengan tema-tema yang biasa orang awam lihat. Selama ini para pembuat film Batam masih berkutat pada tema-tema pendidikan serta drama yang
umum sehingga belum bisa membuat kesan dan dilirik oleh penikmat film dalam lingkup nasional maupun internasional.
Para penonton dan penikmat film di Batam juga masih tergolong dalam kategori sebagai penikmat film yang bisa dikategorikan sebagai penonton pencari film hiburan ringan, belum banyak yang masuk dikategori sebagai penonton film yang akut (movie freak). Sehingga ketika sebuah film lokal di rilis antusiasme mereka masih belum besar dan cenderung memberikan stigma yang belum yakin terhadap film lokal.
Pekerja Professional Perfilman
MENGINGAT belum terbentuknya industri film yang mumpuni di kota Batam, berbanding lurus dengan susahnya mencari pekerja film yang professional di bidang film. Para pembuat film di kota ini masih mengandalkan para komunitas untuk mengeksekusi film-film yang diproduksi.
Karena belum berkesinambungannya produksi film di Batam, membuat para penggiat dan pekerja film di kota bependuduk 1,3 juta jiwa ini masih enggan menekuni bidang ini. Meskipun dari beberapa film yang pernah diproduksi ada beberapa upaya dari pihak PH untuk
mendatangkan kru dari luar sebagai transfer skill dan pengetahuan di bidang film.
Seperti halnya Kinema Infinite Studios ketika sedang menggarap proyek-proyek filmnya, mereka mengaku cukup sulit menemukan pekerja film yang terampil di kota Batam, sehingga mau tidak mau mereka mendatangkan para pekerja dari Jakarta bahkan dari luar negeri agar produksinya berjalan dengan baik.
Batam sebenarnya punya talenta-talenta handal di bidang perfilman, ada beberapa anak muda yang berhasil meraih berbagai penghargaan dalam festival-festival film baik dalam maupun luar negeri.
Bahkan di tahun 2017 filmaker asal Batam Zhafran Solichin berhasil masuk kedalam nominasi film pendek terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2017 melalui film berjudul Salam Dari Kepiting Selatan.
Namun karena iklim industri film memang belum tergarap dengan baik, maka mereka lebih memilih berkarir di Jakarta atau daerah lain selain Batam.
Minim Dukungan Pemerintah Lokal
DUKUNGAN pemerintah lokal bukan sama sekali tidak ada untuk perkembangan perfilman Batam, namun untuk saat ini kontribusi mereka dirasa masih belum maksimal dan belum mampu membuat terobosan yang signifikan bagi industri kreatif ini. Dukungan dari pemerintah sejauh ini masih didominasi oleh pemberian ijin lokasi atau rekomendasi kepada para pembuat film.
Untuk mendanai sebuah produksi film sepertinya masih nanti dulu. Padahal kalo melihat potensi daerah, seharusnya pemerintah mulai meninggalkan cara-cara lama dalam mempromosikan wisata.
Dengan membuat film yang bagus dan memasarkan dengan baik, bukan tidak mungkin pariwisata Batam akan terangkat serta memberi dampak pertumbuhan yang maksimal.
Pemerintah kota Batam seharusnya juga sudah mulai memikirkan sebuah acara tahunan semacam festival film yang berskala nasional bahkan internasional agar mampu memotivasi semangat pembuat film lokal, untuk terus berkarya dan mengangkat kualitas film-film produksi Batam. Disamping itu juga tentunya mengangkat nama Batam menjadi lebih dikenal lagi di bidang perfilman baik di dalam maupun luar negeri.
Fasilitas Yang Masih Terbatas
ADA sedikit yang mengganjal bagi para sineas dan pekerja seni kota Batam. Dimana kota yang digadang-gadang menjadi kota modern dan salah satu kota metropolitan di Indonesia, ternyata pada saat ini belum mempunyai gedung pertunjukkan yang secara regular bisa dipakai oleh pekerja seni dalam menampilkan karya-karya mereka.
Beberapa orang dari para pekerja seni ini bahkan mengeluh ketika ingin menampilkan seni pertunjukkan berupa pementasan teater, musik atau pemutaran film. Mereka harus bergerak mandiri dan mencari dukungan dari swasta.
Meskipun fasilitas pembuatan film di Kinema Infinite Studios cukup lengkap dan berstandar internasional, namun stigma bagi para film maker Batam pada umumnya terasa masih belum terjangkau untuk bisa digunakan sebagai ruang pembelajaran dan pengembangan industri.
Ini yang semestinya menjadi pekerjaan rumah bagi semua stakeholder dan pemangku kepentingan di bidang perfilman untuk tumbuh dan maju bersama membentuk iklim perfilman yang sehat di kota Batam tercinta ini.
Sekarang yang jadi pertanyaan apakah Batam sebagai salah satu kota yang cukup maju di Indonesia sudah mulai melihat industri ini dan mampu mengembangkan industri film tanah air? (*)
Ditulis oleh Je Yatmoko / Produser Film (CEO Zettamind Studios)