CHRISTINE Hakim telah berkarier di dunia perfilman Indonesia selama lebih dari 50 tahun. Penampilan terbarunya dalam film drama keluarga Bila Esok Ibu Tiada yang dirilis bulan lalu menjadi pusat perhatian.
MESKI film tersebut menerima ulasan beragam di media Indonesia, akting aktris berusia 67 tahun ini sebagai seorang ibu dari empat anak yang baru menjadi janda dipuji sebagai “menakjubkan,” “luar biasa,” dan “mengesankan.”
Dalam wawancara bersama BenarNews, Christine merenungkan peran perempuan di perfilman Indonesia dan bagaimana industri ini telah berubah selama lima dekade perjalanan kariernya.
“Ketika saya mulai, peran perempuan di sinema Indonesia sangat spesifik,” ungkap Christine. “Mereka bekerja sebagai aktris, penata rias, dan desainer kostum. Sekarang, kita punya banyak sutradara, produser, dan sinematografer perempuan. Saya gembira dengan hal ini.”
Christine memulai debutnya dalam film Cinta Pertama pada 1973.
“Saya tidak muda lagi. Saya hampir berusia 70 tahun, tetapi saya masih bisa membintangi dan memimpin produksi sebuah film,” kata Christine kepada BenarNews.
“Ini bukan karena penghargaan yang telah saya menangkan yang membuat saya masih bisa berkarya, tetapi karena kemampuan saya untuk mendapatkan peran dan kepercayaan orang terhadap apa yang saya lakukan.”
Kemampuan inilah yang membawanya mendapatkan peran dalam serial HBO berbahasa Inggris bertema kiamat zombie, The Last of Us, yang tayang perdana tahun lalu.
Meskipun hanya peran kecil selama 8 hingga 10 menit, penampilan cameonya begitu memukau sehingga menjadi salah satu adegan yang paling banyak dibicarakan dari serial ini.
Adegan itu mendapat sambutan hangat di antara para kritikus dan penggemar serial tersebut di seluruh dunia.
Di platform media sosial Reddit, sebuah thread berjudul Christine Hakim absolutely nails her role as the mycologist (Christine Hakim benar-benar menguasai perannya sebagai ahli mikologi) didedikasikan untuk membahas kemampuan aktingnya.
“Adegan-adegannya adalah yang paling sering saya tonton ulang. Begitu kuat namun juga mengerikan,” kata seorang penggemar.
“Ini adalah salah satu momen terbaik sebelum semuanya kacau dalam media pasca-apokaliptik yang pernah saya tonton. Luar biasa,” tulis penggemar lain.
Sambutan hangat
SEJAK dirilis pada 14 November 2024, Bila Esok Ibu Tiada telah menjadi film terlaris ketujuh di Indonesia tahun ini, dengan lebih dari 3 juta tiket terjual.
Film ini mengeksplorasi kompleksitas penuaan, peran sebagai ibu, dan peran perempuan yang terus berkembang dalam masyarakat Indonesia.
Christine memerankan Rahmi, seorang ibu yang hidupnya berubah drastis setelah kematian suaminya, Haryo (diperankan oleh Slamet Rahardjo). Sebagai kepala keluarga dengan tiga anak perempuan dewasa dan seorang anak laki-laki remaja, Rahmi bergulat dengan kerumitan hubungan dalam keluarganya, yang diperparah oleh sikap tidak tahu terima kasih anak-anaknya dan persaingan antarsaudara.
Christine mengaku terkejut dengan sambutan hangat penonton terhadap film ini, mengingat genre horor dan laga biasanya lebih populer di Indonesia. Namun, ia senang bahwa penggambaran mendalam tentang dinamika keluarga dan perjuangan seorang ibu berhasil menarik perhatian luas.
Perempuan dalam film dan sejarah
CHRISTINE mengaitkan kebangkitan kembali industri perfilman Indonesia pada tahun 2000-an dengan kehadiran sutradara dan produser perempuan yang membuat film beragam, membuka jalan bagi generasi pembuat film baru.
Sepanjang kariernya, Christine telah berupaya menyoroti peran perempuan, terutama melalui perannya sebagai Cut Nyak Dhien dalam film tahun 1988 yang mengisahkan perjuangan pemimpin perempuan Aceh melawan pasukan kolonial Belanda pada akhir abad ke-19.
Film tersebut memenangkan penghargaan Festival Film Cannes 1989 untuk Film Internasional Terbaik. Peran tersebut membuatnya mendapat pujian dari kritikus dan memperdalam pemahamannya tentang sejarah Indonesia.
“Peran tersebut membuat saya ingin belajar lebih banyak tentang negara saya, asal usul saya, dan peran perempuan dalam sejarah Indonesia,” katanya. “Saya tahu saya berasal dari Indonesia, tetapi saya tidak tahu apa artinya itu.”
“Saya senang Indonesia memiliki perempuan yang kuat seperti mereka, tetapi kita harus menggali sejarah kita,” katanya.
Christine juga menyoroti ikon perempuan lain seperti Raden Ayu Kartini – pelopor hak emansipasi perempuan serta Dewi Sartika, seorang pendidik terkemuka.
“Peran perempuan dalam sejarah kita sangat penting,” ujarnya.
“Jika ada politisi yang mengatakan perempuan tidak bisa memimpin negara ini, saya pikir mereka tidak memahami sejarah kita.”