PASCA Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menetapkan kebijakan tarif Ekspor terbaru yang menyasar sejumlah negara didunia, memicu banyak mitra dagang AS termasuk Indonesia untuk segera mengambil lagkah antisipasi .
Sebagaimana yang diketahui, Indonesia ini akan dikenai tarif resiprokal hingga 32 persen, menyusul meningkatnya defisit perdagangan AS terhadap Indonesia yang tercatat mencapai surplus sebesar US$ 14,34 miliar pada 2024.
Kebijakan ini langsung menimbulkan kekhawatiran, terutama di kawasan industri Batam yang selama ini menjadi salah satu tulang punggung ekspor nasional.
Melansir batampos.com, Ketua Himpunan Kawasan Industri (HKI) Batam, Adhy Prasetyo Wibowo, mengatakan beberapa perusahaan di Batam sudah menghubungi pihaknya untuk menanyakan dampak kebijakan tersebut.
“Meskipun kebijakan ini terbilang baru, namun sudah mendapat respon dari kawasan industri di Batam. Sudah ada kekhawatiran yang disuarakan para pelaku usaha,” ujarnya, Jumat (4/4/2025).
Tarif 32 persen yang dikenakan dianggap memberatkan dan berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi, terutama di kawasan yang bergantung pada ekspor seperti Batam.
HKI Batam mendorong agar BP Batam dan pemerintah pusat segera mengambil langkah konkret dan strategis.
Dia mendesak agar BP Batam mengajukan permintaan kepada United States Trade Representative (USTR) untuk mengecualikan Batam dari kebijakan tarif baru Trump, mengingat peran strategis Batam dalam mendukung ekspor nasional.
Amerika Serikat selama ini menjadi salah satu tujuan utama ekspor Indonesia selain Cina dan Jepang. Jika tidak diantisipasi, kebijakan ini bisa berdampak luas pada penurunan volume ekspor, melambatnya produksi, bahkan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK).
Data menunjukkan bahwa nilai ekspor dari Provinsi Kepri ke Amerika Serikat mencapai US$ 300 juta per bulan, dengan 25 persen di antaranya berasal dari Batam.
Artinya, sekitar US$ 75 juta per bulan berisiko terdampak langsung.
“Batam itu mayoritas ekspor. Jadi pengenaan tarif ini bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menciptakan tekanan di sektor ketenagakerjaan,” kata Adhy.
Ia juga memperingatkan potensi migrasi investasi ke negara tetangga seperti Malaysia yang memiliki tarif ekspor lebih rendah, yakni sekitar 24 persen. Hal ini bisa membuat Malaysia lebih menarik dalam rantai pasok global ke AS.
“Malaysia bisa saja booming karena supply chain ke Amerika bisa berpindah ke sana. Biaya logistik mereka juga lebih murah,” katanya.
Untuk mengatasi situasi ini, HKI Batam menyarankan agar pemerintah Indonesia segera melakukan diplomasi perdagangan dan merundingkan ulang kesepakatan dagang dengan AS, termasuk menekan biaya logistik untuk meningkatkan daya saing.
BP Batam, sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di Batam, dinilai perlu lebih aktif menjawab kekhawatiran para pelaku usaha dan memastikan bahwa dampak kebijakan ini dapat diminimalisir.
“Perlu ada langkah cepat dan nyata agar Indonesia tidak kehilangan momentum industri ekspor. Target pertumbuhan ekonomi 8 persen bisa terganggu jika hal ini tak segera ditangani,” katanya. (*)