FILM Pengkhianatan G30S/PKI selalu menjadi diskusi setiap menjelang Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober. Film yang dibesut sutradara Arifin C. Noer pada 1984, saat ia berusia 43 tahun itu, menjadi karyanya yang ke-7 setelah film ‘Djakarta 1966’.
Film G30S PKI yang disutradarai Arifin C. Noer ini meraih penghargaan untuk skenario terbaik pada Festival Film Indonesia pada 1984.
Selain itu, film ini juga meraih Piala Antemas untuk film Indonesia terlaris pada 1985. Di masa Orde Baru, film ini wajib diputar setiap 30 September, dan menjadi film wajib tonton anak-anak sekolah.
Arifin C. Noer Dan Film
Lelaki kelahiran Kota Cirebon, 19 Maret 1941 bernama asli Arifin Chairin Noer ini bukan orang baru di dunia peran. Jauh sebelum ia membuat film Pengkhianatan G30S/PKI, sejak remaja sudah menggeluti dunia sastra dan ikut dalam Lingkaran Drama Rendra. Hingga akhirnya ia hijrah ke Jakarta mendirikan ‘Teater Kecil’ pada 1968.
Di film Pemberang, ia dinobatkan sebagai penulis skenario terbaik di Festival Film Asia 1972 dan meraih The Golden Harvest. Di film Rio Anakku (1974) dan Melawan Badai (1975) meraih penulis scenario di FFI dan meraih Piala Citra.

Sebelum menyutradarai Film Pengkhianatan G30S/PKI, Arifin C. Noer menyutradarai Suci Sang primadona (1978), Yuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa (1979), Harmonikaku (1979), Serangan Fajar (1981), Djakarta 1966 (1982).
Kemudian ia membesut Matahari Matahari (1985), Biarkan Bulan Itu (1986), Taksi (1990), Bibir Mer (1991) dan Taksi 2 (1992).
Embie C. Noer, adiknya, dinukil dari TEMPO mengaku wajar jika khalayak selalu mengaitkan abangnya hanya dengan film Pengkhianatan G30S/PKI itu.
“Itu hal yang wajar karena film Pengkhianatan G30S/PKI adalah film yang paling mencekam dibandingkan kedua film lainnya; Serangan Fajar dan Djakarta 66,” katanya.
Menurut Embie, “Apalagi film Djakarta 66 yang beredar di bioskop adalah versi yang sudah amburadul karena hampir separuh film itu dipotong oleh sensor. Saya pribadi berpendapat, trilogi Serangan Fajar, Film Pengkhianatan G30S/PKI, Djakarta 66 harus ditonton semuanya agar dapat dinikmati secara utuh,” kata dia.
Film ‘Djakarta 66’ merupakan sekuel lanjutan dari film legendaris ‘Pengkhianatan G30S/PKI‘. Namun, Embie C. Noer menyayangkan kondisi film Djakarta 66.
“Sayangnya film Djakarta 66 sebagai epilog, filmnya rusak kena gunting sensor, padahal saya melihat diskusi-diskusi dalam film Djakarta 66 sangat menarik dan penting. Justru adegan-adegan penting itulah yang banyak kena gunting sensor. Sayang sekali,” ujar Embie.
(*)
Sumber : TEMPO