PERKEMBANGAN teknologi yang begitu pesat berdampak pada kehadiran ponsel pintar yang semakin memudahkan berkomunikasi tanpa terbatas jarak dan waktu. Selama ada kuota internet atau wifi, komunikasi melalui telepon dan chat dapat dilakukan kapan saja. Tentu saja ini jauh berbeda dengan zaman dulu pada awal telepon hadir di Indonesia.
Berkomunikasi melalui telepon tak sesederhana memasukkan nomor lalu mengobrol dengan lawan bicara. Kala itu, ada seorang operator yang bertugas menghubungkan sambungan telepon antara pembicara dengan lawan bicaranya yang berada di tempat lain.
“Operator telepon tersebut dipanggil Pentil Kecakot yang memiliki arti Penjaga Tilpun Kecamatan Kota,” tulis Dukut Imam Widodo dalam Malang Tempo Doeloe. Keberadaan Pentil Kecakot pun berperan penting dalam menghubungkan dua orang yang akan berkomunikasi jarak jauh.
Sesungguhnya, pada masa itu telepon bukan satu-satunya alat komunikasi. Banyak orang yang masih berkomunikasi dengan surat menyurat melalui pos dan telegraf. Namun, sejak hubungan telepon lokal digunakan pertama kali di Hindia Belanda pada 16 Oktober 1882, berkomunikasi melalui telepon mulai menjadi kebiasaan bagi sebagian orang, khususnya orang-orang Belanda dan Eropa.
Ramadhan K.H, Sugiarta Sriwibawa, dan Abrar Yusra dalam Dari Monopoli Menuju Kompetisi menyebut hubungan telepon lokal pertama itu diselenggarakan oleh perusahaan swasta. Telepon tersebut membentang antara Gambir dan Tanjung Priok di Batavia, disusul dua tahun kemudian hubungan telepon di Semarang dan Surabaya.
Perusahaan swasta itu mendapatkan izin konsesi selama 25 tahun. Oleh karena itu, perusahaan alat komunikasi tersebut berkembang pesat di Hindia Belanda. Hingga tahun 1905 jumlah perusahaan telepon di Hindia Belanda mencapai 38. Sementara itu, khusus untuk hubungan telepon interlokal, perusahaan Telefoon Maatschappij mendapat konsesi selama 25 tahun untuk hubungan Batavia–Semarang yang kemudian dilanjutkan dengan Batavia–Surabaya, Batavia–Bogor, dan Bandung–Sukabumi.
Sejumlah infrastruktur penunjang dibangun, salah satunya kantor telepon. Di kantor telepon itulah para operator bertugas menyambungkan telepon pelanggan. Menurut Ramadhan K.H, dkk. prioritas pemakaian jasa telepon kala itu diberikan kepada pejabat-pejabat pemerintah dan pengusaha. Ada pun pesawat telepon yang digunakan adalah jenis telepon baterai lokal yang mana jarak jangkauannya terbatas.
Para Pentil Kecakot mendapatkan pelatihan selama beberapa waktu. Mengutip surat kabar De Locomotief: Samarangsch Handels-en Advertentie-blad, 21 September 1949, pelatihan operator telepon ini memakan waktu sekitar satu bulan. Biasanya para operator ini akan dilatih berbahasa Belanda dan diajarkan cara menyambungkan telepon dari satu pelanggan ke pelanggan lainnya.
Prosesnya sebagai berikut: saat anda menelepon seseorang, panggilan akan lebih dahulu terhubung ke operator telepon yang menyebabkan sebuah lampu menyala. Operator telepon itu kemudian memasang sumbat di lubang yang menjadi milik nomor dan laporan anda. Selanjutnya anda memasukan nomor yang ingin anda ajak bicara di mana operator memasukkan steker di ujung kabel yang lain ke dalam lubang yang sesuai dengan nomor telepon pelanggan yang ingin anda ajak bicara.
Karena proses tersebut, setiap operator memiliki lebih dari 2000 bukaan di ujung lain yang ada sambungan telepon. Setelah operator mencolokkan stekernya, lampu lain akan menyala di sisi operator. Hal itu menyebabkan bel berdering di pihak yang dipanggil. Bila lampu kedua padam, ini menjadi tanda bagi operator telepon bahwa pihak yang dipanggil telah melepas kaitannya. Setelah beberapa saat lampu akan kembali menyala dan ini menjadi tanda bahwa panggilan telah berakhir. Biasanya operator telepon akan menarik colokan keluar dari bukaan setelah panggilan telepon selesai.
Proses itu tampaknya tak rumit, namun di waktu-waktu sibuk operator telepon dapat menetapkan 400 sambungan per jam yang berarti ia memiliki sepuluh hingga lima belas detik untuk setiap koneksi. Kondisi itu membuat para operator telepon harus teliti dalam menyambungkan panggilan. Pasalnya, proses yang manual tak jarang menyebabkan telepon salah sambung.
Menurut Dukut, para operator telepon ini biasanya bertugas untuk Sambungan Langsung Dalam Kota, sementara untuk melakukan telepon jarak jauh hingga ke luar kota, prosesnya membutuhkan waktu yang cukup lama bahkan hingga berjam-jam.
“Mengapa harus menunggu waktu lama? Jawabannya, karena sistem SLJJ (Sambungan Langsung Jarak Jauh) ketika itu belum diketemukan! Jadi, kalau mau interlokal memang harus melalui kota-kota tertentu yang ada kantor tilpunnya. Lantas kantor tilpun itulah yang secara berantai menghubung-hubungkan dengan kota tempat tujuan si penilpun tadi,” tulis Dukut.
(*)
Sumber: historia.id