ThorCon Power Indonesia mengatakan segera membangun pembangkit listrik tenaga nuklir pertama di Indonesia.
DI tengah meningkatnya permintaan energi dan target ambisius untuk mencapai emisi nol bersih pada 2060, Indonesia terus mendorong rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) pertama, meskipun menuai kontroversi terkait biaya, keamanan, dan risiko lingkungan.
Pembangkit tenaga nuklir yang direncanakan di Pulau Kelasa, Kepulauan Bangka Belitung, ini akan menjadi tonggak sejarah di wilayah Asia Tenggara. Para pendukung menilai energi nuklir menawarkan alternatif rendah karbon yang andal dibandingkan ketergantungan negara pada batu bara.
Namun, para pengkritik berpendapat bahwa sumber daya terbarukan yang melimpah di Indonesia membuat proyek nuklir ini tidak perlu.
Penggunaan energi nuklir dalam bauran energi Indonesia disebutkan dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional 2024-2060, yang ditandatangani oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia pada 29 November lalu. Dokumen itu menyebutkan nuklir adalah salah satu sumber energi baru nasional yang dapat dimanfaatkan untuk pembangkitan tenaga listrik dan akan mengisi porsi sekitar 10% dari total produksi listrik di Indonesia.
“Ini akan menjadikan Indonesia sebagai negara pertama di ASEAN yang resmi menggunakan nuklir,” ujar Direktur Operasi ThorCon Power Indonesia, Bob S. Effendi, dalam sebuah unggahan di platform media sosial Facebook.
Menurut Bob, anak perusahaan Amerika, ThorCon, itu akan membangun PLTN di Indonesia pertama berbasis torium dengan kapasitas 500 MW di provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang kaya akan timah.
Torium, logam tanah jarang yang sering ditemukan bersama timah di Bangka Belitung, disebut-sebut sebagai bahan bakar nuklir yang lebih aman dan efisien dibandingkan uranium.
Bahlil menyatakan bahwa rencana pemerintah ini sejalan dengan strategi diversifikasi energi yang lebih luas, mengingat ketergantungan besar Indonesia pada batu bara dan rendahnya pemanfaatan energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan air.
Dalam rapat dengar pendapat dengan DPR pada Desember lalu, Bahlil mengungkapkan bahwa Indonesia menargetkan PLTN pertama dapat beroperasi pada 2032.
“Menyangkut dengan nuklir ini saya pikir ini salah satu terobosan yang harus kita lakukan,” kata Bahlil.
Hingga 2024, energi terbarukan baru menyumbang 13,93% dari bauran energi nasional, jauh di bawah target 19,5%, menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Pembangkit listrik berbasis batu bara menghasilkan sekitar 67% listrik di Indonesia, menurut data kementerian.
Proyek PLTN ini diperkirakan menelan biaya $1,1 miliar setara dengan Rp16,5 trilliun, yang mencakup biaya impor prototipe reaktor berbasis torium dari Korea Selatan pada 2028, menurut Bob seperti dikutip Kompas.com.
ThorCon memproyeksikan bahwa hingga 2050, Bangka Belitung dapat menjadi lokasi 20 PLTN. Dalam pernyataan di tahun 2020 yang diunggah di situs web ThorCon, disebutkan bahwa mereka akan menanggung semua biaya pembangunan PLTN tersebut, termasuk biaya riset, transfer teknologi, dan infrastruktur lainnya.
Namun Indra Gunawan, Kepala Biro Hukum, Kerja Sama, dan Komunikasi Publik Badan Pengawas Tenaga Nuklir Nasional (BAPETEN), mengatakan kepada BenarNews lokasi pembangkit listrik tenaga nuklir pertama “masih dalam tahap studi lokasi.”
Sejauh ini belum ada permintaan izin pembangunan PLTN di Pulau Kelasa kepada BAPETEN, tambahnya.
Panggung politik
MESKI pendukung nuklir menekankan keandalan dan emisi karbon yang rendah, para penkritik mengangkat isu keamanan, pengelolaan limbah, dan biaya.
“Nuklir memang bisa menjadi sebuah opsi, namun membangun pembangkit listrik tenaga nuklir perlu antara tujuh sampai 12 tahun, dan potensi membengkaknya biaya sangat besar,” ujar Putra Adhiguna, pengamat energi dan direktur lembaga kajian Energy Shift Institute, kepada BenarNews.
“Jangan juga dijadikan panggung politik yang membuatnya bisa diburu-buru, karena pembangkit listrik tenaga nuklir liabilitasnya tinggi dan resikonya besar. Dalam hal ini, jangan sampai ambil jalan pintas yang mengkompromasi teknologi dan standar keamanan,” tambahnya.
Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia, menilai bahwa meskipun nuklir tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca saat operasi, proses penambangan, transportasi, dan pengelolaan limbah radioaktif menambah jejak lingkungan.
“Energi nuklir tidak memiliki tempat untuk masa depan yang aman, bersih, dan berkelanjutan. Kita harus menjauh dari solusi palsu dan meninggalkan tenaga nuklir menjadi masa lalu,” kata Leonard kepada BenarNews.
Ia menambahkan, bahkan jika energi nuklir menggandakan kapasitasnya secara global pada 2050, kontribusinya dalam pengurangan emisi hanya sekitar 4%.
Energi nuklir menjadi sumber dari 9 persen listrik di seluruh dunia, yang dibangkitkan oleh 440 reaktor nuklir, menurut Asosiasi Nuklir Dunia.
Leonard juga menyoroti bahwa PLTN membutuhkan air dalam jumlah besar untuk pendinginan, membuatnya rentan terhadap kekeringan dan gelombang panas yang semakin sering terjadi akibat pemanasan global.
Letak Indonesia di Cincin Api Pasifik, wilayah yang rawan gempa, memicu kekhawatiran tentang potensi bencana nuklir.
Namun Indra dari BAPETEN menyebutkan bahwa wilayah dengan aktivitas seismik rendah, seperti Bangka Belitung dan Kalimantan Barat, menjadi prioritas pembangunan.
“Di Jepang juga banyak reaktor didirikan di wilayah gempa, jadi ada solusi engineering untuk hal tersebut, tapi buat investasi tentu saja isunya juga biaya, makanya lebih efisien kalau [PLTN] bisa dibangun bukan di wilayah gempa,” kata Indra.
Kelompok advokasi dan pegiat lingkungan menilai bahwa konsultasi publik dan transparansi akan menjadi kunci keberhasilan proyek ini, karena resistensi lokal tetap menjadi hambatan utama.
“Tekanan publik sering kali menjadi alasan dihentikannya proyek nuklir di masa lalu,” kata Dwi Sawung, juru kampanye infrastruktur di Walhi.
Dwi juga mengungkapkan kekhawatiran kurangnya budaya keselamaran di Indonesia.
“Di Indonesia, masalah disiplin, independensi pengawasan dan hukuman terhadap pelanggaran K3 masih buruk,’’ ujarnya kepada BenarNews.
Pengkritik lain mengatakan bahwa sumber energi terbarukan yang melimpah di Indonesia tidak dimanfaatkan. Laporan kantor berita Antara pada tahun 2022, menyebutkan Indonesia memiliki lebih dari 3.600 GW potensi energi terbarukan, mengutip pernyataan menteri energi saat itu.
Namun, energi terbarukan hanya menyumbang 14% dari bauran energi nasional tahun lalu, masih jauh dari target sebesar 19,5%, menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Hal ini terjadi meskipun banyak ahli menyebutkan bahwa sumber energi terbarukan seperti tenaga air, angin, dan surya termasuk yang termurah untuk diproduksi, berkisar antara 2 sen hingga 8 sen per kilowatt-jam.
‘Mengapa negara-negara industri juga menggunakannya?’
AGUS Puji Prasetyono, anggota Dewan Energi Nasional, mengakui bahwa meski proyek nuklir membutuhkan investasi awal yang besar, manfaat jangka panjang sering kali lebih besar dibandingkan biaya awal.
“Itu [reaktor nuklir] modular lebih murah,” ujar Agus kepada BenarNews. “PLTN itu sudah mampu 7 sampai 8 sen dolar per kWh. Jadi menurut saya PLTN itu bisa menjadi solusi tanpa subsidi.”
“Dengan densitas energi yang tinggi, satu reaktor nuklir dapat menghasilkan listrik yang setara dengan ribuan turbin angin atau panel surya dalam area yang lebih kecil,” kata Djarot Sulistio Wisnubroto, mantan Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN).
“Namun, pengembangannya memerlukan investasi awal yang besar, waktu konstruksi yang panjang, dan dukungan kebijakan yang konsisten,” ujar Djarot kepada BenarNews.
Agus menyatakan bahwa investor swasta sudah menunjukkan minat untuk mendanai proyek nuklir, asalkan kerangka regulasi dipertegas.
“Jadi sekarang mereka tertariknya itu bukan masalah tertarik harganya berapa, tapi menunggu regulasi dan politik pemerintah ini,” ujarnya.
Saat ini, Kementerian ESDM sedang mempersiapkan Keputusan Presiden untuk membentuk Badan Pelaksana Program Energi Nuklir atau Nuclear Energy Program Implementation Organization (NEPIO) dengan target selesai pada awal 2025.
Sementara itu, Natio Lasman, mantan Kepala BAPETEN, menilai Indonesia tertinggal dalam memanfaatkan tenaga nuklir dibandingkan negara besar seperti Cina, India, Amerika Serikat, dan Brasil.
“Bila PLTN itu buruk, mengapa negara-negara industri memanfaatkannya. Namun bilamana PLTN itu baik mengapa Indonesia, yang telah sekian lama merencanakan untuk membangunnya, masih belum memanfaatkannya?’’ kata Natio kepada BenarNews.
“Sementara itu sumberdaya energi fosil kita menjadi semakin menipis.”