DENGAN kembalinya Donald Trump menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat, Indonesia mungkin akan menghadapi periode penyesuaian ekonomi dan manuver diplomatik, kata para analis dan pemimpin bisnis.
KEBIJAKAN proteksionis dan pendekatan konfrontatif Trump terhadap China berpotensi memunculkan tantangan baru—namun ada juga beberapa peluang—bagi Indonesia, yang memiliki ikatan erat dengan arus perdagangan dan investasi dari China, menurut mereka.
Abdul Muttalib Hamid, ekonom dan Wakil Dekan Universitas Muhammadiyah Makassar, memperingatkan bahwa kembalinya ketegangan tarif seperti pada masa jabatan Trump sebelumnya bisa berdampak di seluruh Asia.
“Jika Trump benar-benar kembali melanjutkan pendekatan proteksionis terhadap China, Indonesia harus siap menghadapi berbagai dampaknya, terutama pada sektor ekspor komoditas,” kata Abdul Muttalib.
Ekonomi Indonesia sangat bergantung pada ekspor ke China, yang menjadi pasar utama untuk nikel, kelapa sawit, dan batu bara—sektor-sektor yang sudah rentan terhadap fluktuasi pasar global, kata dia.
“Ekonomi China yang melemah akibat tekanan tarif AS dapat menurunkan permintaan untuk produk-produk ini, sehingga menurunkan pendapatan ekspor Indonesia,” tambahnya, seraya menekankan bahwa nikel sangat rentan.
Nikel ini, kata Abdul, komoditas pentıng untuk produksi baterai kendaraan listrik, menjadi ekspor utama Indonesia karena tingginya konsumsi China.
Dampak konflik perdagangan AS-China kemungkinan besar meluas ke luar komoditas industri, ujar Abdul.
“China memiliki daya beli besar, dan jika daya beli itu menurun, otomatis ekspor kita, terutama di sektor pertanian dan hasil bumi lainnya, akan terpengaruh. Ini akan berdampak pada petani dan pendapatan negara secara keseluruhan,” tambah Abdul.
Namun, Abdul melihat momen ini sebagai kesempatan bagi Indonesia untuk mendiversifikasi jaringan perdagangan, menjajaki pasar di Asia Selatan, Afrika, dan Amerika Latin.
“Ini bisa menjadi peluang untuk memperkuat hubungan dengan sekutu AS dan mencari pembeli baru untuk komoditas kita,” katanya.
Sementara itu Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan presidensi Trump berpotensi berdampak signifikan terhadap pasar minyak dunia, mengingat kebijakan Trump dan Partai Republik yang cenderung mendukung produksi fosil termasuk minyak gas tanpa terlalu mengindahkan regulasi lingkungan yang menjadi hal utama pemerintahan Demokrat di bawah Biden.
“Ini tentu akan memberikan dampak terhadap minyak dunia maupun terhadap tren ke depan pada isu-isu yang terkait climate change maupun energy,” kata Sri Mulyani seperti dikutip Antara.
Muhammad Waffaa Kharisma, peneliti dari Center for Strategic and International Studies, mengatakan meskipun hubungan bilateral antara Indonesia dan AS akan terus berlanjut, Indonesia perlu menyesuaikan diri dengan preferensi pemerintah AS yang baru.
“Bagi Indonesia, ini mencerminkan dunia tanpa juara multilateralisme, kecenderungan proteksionisme yang lebih besar, dan dunia baru di mana impuls unilateralisme bisa mendominasi hubungan internasional,” ujar Waffaa kepada BenarNews.
Meski demikian, Waffaa melihat adanya kemungkinan Trump dan Presiden Prabowo Subianto akan menemukan titik temu.
“Keduanya adalah negosiator pragmatis,” kata Waffaa. “Ada potensi kolaborasi jika keduanya melihat keuntungan bersama.”
Gaya transaksional Trump bisa menarik bagi Prabowo, yang juga dikenal dengan pendekatan langsung dalam pemerintahannya, meskipun banyak yang bergantung pada bagaimana kebijakan AS di bawah Trump berkembang, tambahnya.
Pelajaran dari masa jabatan Trump sebelumnya
Shinta Widjaja Kamdani, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), mengatakan bahwa pemimpin bisnis Indonesia mengambil pelajaran dari pemerintahan Trump sebelumnya, yang melakukan pemotongan pajak korporasi dan menaikkan tarif, mengganggu rantai pasokan global dan merombak pola perdagangan.
“Pemerintahan Trump pertama dipandu oleh pendekatan transaksional, seperti ketika Indonesia mendapat pengurangan tarif untuk tekstil dengan imbalan pembelian kapas AS,” kata Shinta.
Sikap Trump terhadap regulasi lingkungan juga dapat memengaruhi rencana transisi energi Indonesia, tambahnya.
Upaya pemerintahan Biden dalam mendanai sektor energi terbarukan di Indonesia, terutama melalui Kemitraan Transisi Energi yang Adil, dapat menghadapi hambatan.
“Pendekatan terhadap kebijakan hijau di bawah Trump dapat sangat berbeda dari pemerintahan Biden,” kata Shinta.
“Kebijakan ini diperkirakan akan berubah,” yang berpotensi mempengaruhi upaya transisi energi Indonesia.
Indonesia dapat melihat masuknya investasi AS jika Trump menghidupkan kembali deregulasi dan pemotongan pajak, katanya.
Namun, Shinta memperingatkan untuk tidak melihat kepresidenan Trump sebagai sesuatu yang sepenuhnya menguntungkan.
“Tarif bisa dinaikkan lagi, yang berpotensi memicu perang dagang dengan dampak di seluruh ekonomi global,” katanya, mengacu pada insiden ketika pemerintahan Trump mengancam mencabut status Generalized System of Preferences (GSP) Indonesia karena surplus perdagangan dengan AS.
Shinta tetap optimis tentang hubungan AS-Indonesia, meskipun waspada terhadap potensi tantangan.
“Namun, saya rasa apapun yang terjadi hubungan AS-Indonesia tetap berlanjut, kata Shinta.