AWAL Juli lalu, saya dikejutkan dengan tutupnya kedai “untie burger” – begitu Zak, anak bungsu saya menyebut – dekat sekolahnya. Sebuah kedai kecil yang menjual makanan ringan untuk anak-anak SD dan SMP yang ada di dekatnya. Sudah belasan tahun kedai itu meng-ada. Nama asli kedainya adalah Bubble Bump.
Oleh : Sulton Yohana
Saat bertemu pemiliknya, saya tanya “kenapa tutup?” Ia menyebut, naiknya harga sewa kedai yang gila-gilaan menjadi penyebab ia harus menutup kedai. Dari sebelumnya ia dibebani ongkos sewa S$1.300 per bulan, pada Mei 2022, ongos sewa naik menjadi S$2.500. “Saya sempat mencoba buka selama sebulan setelah harga sewa naik. Menghitung ulang lagi. Tapi, ndak nutut. Terpaksa harus tutup,” dengan nada sedih ia menjelaskan itu.
Berturut kemudian, tempat pijit langganan saya, yang juga berada di dekat rumah, tutup. Padahal sudah beroperasi 15 tahun lebih. Jelas ini menjadi kehilangan teramat sangat bagi saya yang doyan pijit. Lagi-lagi kenaikan sewa ruko yang menggila, menjadi penyebab tutup. Kini pemiliknya, Ami, pindah praktik cukup jauh dari tempat tinggal kami. Menyewa sebuah ruang kecil di bawah apartemen yang dikelola pemerintah. Tempatnya jauh lebih “ala kadar” dan sederhana ketimbang tempat pertama yang tutup.
Tutup kemudian, adalah toko kelontong India yang bersebelah-menyebelah dengan tempat pijit langganan kami. Toko buah di belakang mereka, di deretan ruko yang sama, dan dikelola sepasang anak muda, juga kehabisan nafas untuk bertahan. Terakhir, akhir Oktober 2022 lalu, giliran Hao Mart, minimarket tempat kami belanja kebutuhan sehari-hari yang berada tepat di bawah tempat tinggal kami, menyatakan menghentikan operasional mereka. Padahal, minimarket ini, punya banyak cabang di mana-mana seantero Singapura.
Tutupnya banyak tempat usaha di sekitar tempat tinggal saya, adalah gambaran nyata susahnya hidup di Singapura terkini.
Contoh yang saya berikan ini cuma di sekitar tempat tinggal saya saja, di daerah Ang Mo Kio Avenue 4. Saya yakin di daerah lain di Singapura banyak hal serupa terjadi. Indikasi-indikasi sederhana yang ada di depan mata ini, menjelaskan dengan mudah, bahwa ekonomi Singapura sedang TIDAK BAIK-BAIK SAJA.
Saya adalah orang yang tidak menyukai penjelasan-penjelasan njlimet tentang kondisi ekonomi secara makro yang biasa disajikan biro-biro statistik. Penjelasan yang seringkali “disemir” agar terlihat baik, untuk kepentingan politik. Baik buruknya ekonomi suatu negara, sebetulnya dengan mudah bisa dilihat, dirasakan, dan dijelaskan lewat realita kehidupan sehari-hari masyarakat kelas bawah, seperti saya.
Ekonomi Singapura yang sempat terpuruk dihajar Covid-19, hingga kini belum benar-benar pulih. Ditambah perang Ukraina yang tak berkesudahan, naiknya eskalasi politik dan keamanan di Semenanjung Korea serta wilayah Laut China Selatan (dipicu konflik China-Taiwan); itu semua memberi pukulan yang telak pada ekonomi Singapura. Itu karena negeri ini, nyaris semua kebutuhan hidup, dari celana dalam hingga mobil Lamborgini, impor. Diimpor dari seantero Dunia. Setiap situasi global yang terjadi di mana saja, dengan mudah mempengaruhi kehidupan ekonomi masyarakat Singapura. Untuk saat ini, semua persoalan Dunia itu, memberi sebuah pukulan telak bernama inflasi.
Dan, inflasi 2022 ini, benar-benar menyusahkan orang seperti saya.
Sepuluh tahun menetap di Singapura, baru tahun 2022 ini saya merasakan beratnya menghadapi inflasi. Sebelum-sebelumnya, bahkan mungkin seumur hidup, saya tak pernah peduli dengan hal-hal demikian. Saya, bahkan, tak pernah punya “rencana keuangan”, atau menyusun daftar “belanja bulanan”. Kalau perlu sesuatu, ingin sesuatu, ya... tinggal beli saja. Seperlunya. Sebisanya. Senikmatnya.
Saya, bahkan tak tahu berapa harga sekilo beras yang kami makan! Saya, juga tak pernah peduli apalagi melototi apa pun bill yang saya dapatkan setelah belanja.
Orang mengatakan, tangan saya “tangan brall… broll…”. Tangan boros. Tapi sebetulnya tidak juga. Saya MERASA TAK PERLU punya rencana keuangan bukan karena kelebihan uang. Tapi, saya merasa keinginan, kebutuhan, dan gaya hidup saya dan keluarga benar-benar sederhana. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, apalagi harus direncanakan. Makan, pakaian, kebutuhan sekunder kami; betul-betul bisa teratasi dengan penghasilan apa adanya.
Kami adalah model orang yang “orapathek’en” dengan keinginan memiliki barang-barang mewah sekunder macam jam tangan, HP terbaru, parfum, kendaraan, apalagi tas mewah. Kami juga bukan orang yang punya/senang investasi atau semacamnya. Semua itu tak ada di kepala saya.
Kami menikmati hidup, dengan apa yang kami punya, kami bisa
Sebelumnya, sebarat apa pun krisis ekonomi, termasuk saat Covid-19, saya tak pernah merasa perlu mengeluh apa-apa. Sekali lagi, bukan karena kami punya banyak uang! Tapi, karena memang kehidupan kami yang simpel sekali.
Namun kini, akhir tahun 2022 ini, sesederhana-sederhana cara kami hidup, saya merasa perlu benar-benar menghitung setiap pengeluaran. Itu setelah saya merasa, kok… uang saya kini seperti cepet sekali habisnya. Tiba-tiba saja, duit di ATM tinggal segini.
Tiba-tiba saja saya perhatian dengan harga sepapan telur! Tiba-tiba saja saya merasa kudu tahu harga sebungkus sayur. Sebotol kopi bubuk. Beberapa hari lalu saya bahkan terperanjat, setelah tahu harga nasi briyani kambing di kedai tetangga ternyata seharga S$8. Padahal, sudah bertahun-tahun saya makan di sana. “Kupikir paling mahal enam dolar,” begitu kata saya pada istri.
S$8 adalah angka yang sangat tinggi untuk harga kedai yang berada di pemukiman. Kedai langganan saya yang lain, Prata Raya yang lebih bonafid dan berada di pusat keramaian, memberi harga S$7.60 untuk nasi briyani kambing plus secangkir teh tarik.
Tiba-tiba saja saya merasa harus tahu harga segelas kopi yang saya beli. Merasa harus tahu harga sebungkus nasi lemak langganan, burger pesanana anak-anak, atau minuman teh susu yang digemari Zak. Tiba-tiba saja saya harus tahu semuanya. Tiba-tiba saja, akhir tahun 2022 ini, semua harga naik gila-gilaan.
Orang Jawa Timur menyebut keingintahuan itu dengan kata “(di)prejit”. Menghitung, menimbang, untuk kemudian memutuskan apakah benar-benar perlu membeli sesuatu atau sebaiknya tidak. 10 tahun tinggal di Singapura, baru tahun ini saya harus benar-benar mrejit setiap sen duit yang akan saya keluarkan. Sangat berat memang.
*
Situasi Singapura pasti berbeda dengan Indonesia. Meski sama-sama menghadapi inflasi, kebutuhan sehari-hari masyarakat Indonesia yang bisa terpenuhi oleh produksi lokal. Indonesia yang kaya sumber daya alam, sebetulnya tak perlu khawatir dampak inflasi Dunia, sebagaimana yang saya alami Singapura. Beras, sayur, telur, minyak, daging ayam; semua kebutuhan pokok ini bisa disediakan oleh produksi lokal.
Yang kemudian inflasi menjadi bahaya adalah, ketika orang Indonesia sudah doyan makan daging wagyu, menggoreng makanan dengan minyak zaitun, mengudap kurma Tunisia, brang-breng… habisin bensin (bersubsidi) dengan konvoi-konvoi, pakai celana merek Levis, sepatu kudu merek Red Wing, HP maunya iPhone 14, dan lipstik minimal harus brand Victoria Secret!
Jaman inflasi ini, merjit, berhitung, berhemat; adalah satu-satunya cara bijaksana untuk melawannya. Bukan malah berfoya-foya agar dipuji Dunia, untuk menunjukkan bahwa hidupnya baik-baik saja. Meski untuk itu, kudu utang sini-sana.
Menjadi dan tinggal di Indonesia; itu adalah senikmat-nikmatnya hidup di Dunia! Percayalah! Juga, tolong pelihara dengan sebaik-baiknya!
(*)
Seperti ditulis Sulton Yohana di blog pribadinya.