PEMERINTAH memutuskan untuk membuka keran impor garam (garam impor) pada tahun ini sebesar 3,07 juta ton pada tahun 2021. Keputusan itu disampaikan langsung oleh Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita.
Impor dilakukan pemerintah karena kebutuhan garam nasional mencapai 4,6 juta ton pada 2021. Sementara stok dari petani garam lokal, menurut pemerintah, jauh dari mencukupi.
Agus membeberkan dua alasan utama perlunya garam impor. Pertama selain tak mencukupi kebutuhan nasional, kualitas garam lokal dianggap tidak memenuhi standar industri.
“Faktor kedua yang tidak kalah penting adalah kualitas, di mana beberapa sektor industri, seperti khlor alkali, farmasi dan kosmetik, pengeboran minyak, serta aneka pangan membutuhkan garam sebagai bahan baku dengan spesfikasi yang cukup tinggi,” jelas Agus dikutip pada Sabtu (25/9/2021).
Kualitas garam untuk kebutuhan industri didasarkan atas kandungan Natrium Clorida atau NaCl. Di mana industri lazimnya membutuhan NaCl di atas 97 persen ke atas.
Alasan ketiga, sambung Agus, adalah petani garam lokal yang belum bisa memenuhi pasokan garam untuk industri secara berkesinambungan.
“Baik dari sisi kandungan NaCl maupun cemaran-cemaran logam yang cukup rendah. Jaminan pasokan menjadi faktor ketiga, karena industri berproduksi sepanjang tahun sehingga kontinuitas pasokan bahan baku sangat diperlukan,” jelas Agu.
Dari jumlah kebutuhan garam nasional tersebut, 84 persen di antaranya merupakan peruntukan untuk bahan baku industri manufaktur.
Sektor industri dengan kebutuhan garam antara lain khlor dan alkali, yang menghasilkan produk-produk perokimia, pulp, dan juga kertas.
Ia menyebutkan, kebutuhan bahan baku garam industri untuk sektor ini mencapai 2,4 juta ton per tahun.
Angka kebutuhan garam sebagai bahan baku dan bahan penolong bagi industri tentu terus meningkat seiring dengan adanya pertumbuhan industri pengguna garam sebesar 5-7 persen per tahun.
“Sebagai contoh, saat ini telah direncanakan pembangunan industri soda ash yang digunakan di industri kaca, deterjen dan tekstil. Kebutuhan soda ash dalam negeri selama ini seratus persen masih impor,” kata Agus.
“Bahan baku untuk memproduksi soda ash tersebut adalah garam industri, di mana produksi satu juta ton soda ash membutuhkan bahan baku garam industri dengan jumlah yang sama,” kata dia lagi.
Untuk menjamin ketersediaan bahan baku garam bagi industri dalam negeri, di tahun 2021 telah disepakati alokasi impor komoditas pergaraman industri sebesar 3,07 juta ton.
Ia juga menyebutkan, terdapat 4 industri yang boleh mengimpor garam antara lain industri khlor alkali, aneka pangan, farmasi dan kosmetik, serta pengeboran minyak.
“Sektor industri lain di luar yang disebutkan tadi diminta untuk menggunakan bahan baku garam hasil produksi dalam negeri,” ungkap Agus.
“Impor komoditas pergaraman industri tersebut masih harus dilakukan karena beberapa faktor yang masih belum dapat dipenuhi oleh garam produksi lokal,” tambah dia.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), jumlah produksi garam lokal tahun 2020 baru mencapai 1,3 juta ton dengan beberapa variasi kualitas.
Dengan demikian, masih terdapat kesenjangan yang cukup besar dari kebutuhan garam nasional yang sudah mencapai 4,6 juta ton.
Berdasarkan data, nilai impor garam sebagai bahan baku dan bahan penolong industri di tahun 2020 kurang lebih sebesar 97 juta dollar AS.
Sementara nilai ekspor di tahun yang sama dari industri pengguna garam impor tersebut seperti industri kimia, famasi, makanan dan minuman serta industri pulp dan kertas mencapai 47,9 miliar dollar AS.
“Hal ini menunjukkan betapa krusialnya peran bahan baku garam sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan dalam menunjang kinerja industri dalam negeri yang juga memberikan kontribusi dalam peningkatan devisa negara,” ucapnya.
Sejarah Petani Garam di Madura
SILANG pendapat antara Kementrian Kelautan dan Kemaritiman dengan Kementrian Perindustrian terkait masalah impor garam industri, akhirnya berakhir dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018 yang memberikan kewengan penuh kepada Kementrian Perindustrian terkait Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman sebagai Bahan Baku dan bahan Penolong Industri.
Dengan dikeluarkannya PP tersebut usulan dari menteri KKP pun menjadi mentah dan impor garam industri merujuk kepada data yang disampaikan Kemenperin yaitu sebesar 3,7 juta ton atau 1,53 ton lebih besar dari data yang diusung Kementrian KKP.
Terlepas dari polemik seputar impor garam industri, persoalan ketidakmampuan petambak garam lokal dalam memasok kebutuhan garam industri, layak untuk dicermarti mengingat Indonesia adalah negara maritim yang memiliki banyak pulau.
Dengan keterbatasan produksi garam selama ini, menunjukkan bahwa area pinggir pantai masih belum dimanfaatkan secara maksimal sebagai lahan untuk memproduksi garam.
Hal itu pula yang membuat posisi Pulau Madura sebagai pamasok utama garam di tanah air selama lebih dari 500 tahun masih belum tergeser, sehingga pulau yang menjadi bagian dari Provinsi Jawa Timur ini identik dengan sebutan Pulau Garam.
Lantas bagaimana sejarah dimulainya tambak garam di Pulau Madura?
Konon, munculnya petambak garam di Madura berawal pada abad ke-15 saat para prajurit kerajaan di Bali menyerang Pulau Madura. Serangan tersebut mengemban misi balas dendam, karena beberapa tahun sebelumnya, Joko Tole yang berasal dari Madura diutus oleh Majapahit untuk melawan Kerajaan Blambangan yang ada di Banyuwangi.

Dalam perang tersebut Blambangan berhasil ditaklukkan, dan kerajaan-kerajaan di Bali yang menganggap Blambangan sebagai sekutu mereka tidak terima, sehingga melakukan misi balas dendam dengan menyerang Pulau Madura.
Namun sayang, serangan terhadap keturunan Joko Tole tersebut mengalami kegagalan. Para prajurit Bali berhasil dipukul mundur oleh prajurit Madura dan melarikan diri di darah Gir Papas. Setelah terdesak, mereka pun akhirnya meminta pengampunan kepada penguasa Madura.
Pangeran Wetan yang berkuasa di Madura pada saat itu, tidak saja memberikan pengampunan, tapi juga memberikan lahan, sehingga prajurit-prajurit dari Bali itupun tidak kembali ke kampung halamannya, melainkan membangun lahan yang dihadiahkan kepada mereka.
Diantara pemimpin perang prajurit Bali, salah satu diantaranya ada yang bernama Anggasuto. Dialah yang pertama kali memiliki gagasan mengkristalisasi air laut untuk dijadikan butir-butir garam dengan memanfaatkan lahan di pinggir pantai dan terik matahari yang mnyengat.
Karena garam memiliki peran penting sebagai salah satu bumbu utama makanan, membuat produksi garam yang dilakukan Anggasuto pun berkembang dengan pesat. Dia juga mengajarkan prajurit-prajuritnya yang sudah tidak lagi berperang untuk menjadi petani garam.
Anak keturunan Anggasuta dan prajurit Bali itulah yang sampai sekarang mewarisi pekerjaan yang diwariskan nenek moyang mereka.
Versi lain ada yang menyebutkan bahwa Anggasuto bukanlah pimpinan prajurit Bali, melainkan seorang ulama keturunan Arab (Parsi) yang menyebarkan Agama Islam di Pulau Madura. Saat menyusuri daerah Gir Papas, dia mendapatkan kakinya dipnuhi kristal-kristal garam.
Peristiwa tersebut membuatnya terinspirasi untuk mengajarkan cara membuat garam pada penduduk Gir Papas, agar masyrakat dapat lebih tertarik untuk belajar dan memeluk Agama Islam, sebagaimana misi utama yang dia emban.
(*)
Sumber : KOMPAS | DAIMCHA NEWS