PENGELOLAAN air bersih di Kota Batam dari PT Adhya Tirta Batam (ATB) ke Badan Usaha Sistem Pengelolaan Air Minum (BU-SPAM) BP Batam, melibatkan konsorsium Air Batam Hulu (ABHu) dan Air Batam Hilir (ABHi), seharusnya membawa angin segar bagi masyarakat.
NAMUN, kenyataan di lapangan justru menunjukkan bahwa perubahan ini lebih banyak menimbulkan masalah daripada solusi. Masyarakat, yang selama ini hanya mengharapkan air mengalir lancar dan berkualitas, kini dihadapkan pada berbagai kendala yang kian meruncing.
Setelah peralihan pengelolaan, warga Batam mulai merasakan dampak negatif. Air sering kali tersendat di berbagai titik, baik dalam waktu singkat maupun berlarut-larut hingga tahun. Ketika air akhirnya mengalir, itu pun biasanya hanya pada malam hari, saat kebutuhan masyarakat meningkat. Situasi ini memicu kekecewaan dan kekhawatiran warga, terutama mereka yang tinggal di daerah marginal.
Masalah lain yang muncul adalah kebocoran pipa akibat kurangnya koordinasi dengan pihak yang mengerjakan proyek pelebaran jalan. Kebocoran ini sering kali menyebabkan air terbuang percuma dan memperburuk distribusi air bersih. Selain itu, pada tahun lalu, kualitas air yang didistribusikan juga menjadi sorotan. Banyak warga mengeluhkan air yang kotor, berbau, bahkan bercampur cacing, sehingga menimbulkan rasa khawatir akan kesehatan mereka.
Ketidakpuasan masyarakat semakin meningkat ketika daerah-daerah seperti Tanjunguncang, Sengkuang, dan Nongsa kembali mengalami masalah dengan kualitas air yang mengalir. Alih-alih mendapatkan air bersih, banyak dari mereka menerima air bercampur alga hijau, yang jelas tidak layak konsumsi.
BP Batam, melalui BU-SPAM, mengklaim bahwa masalah tersebut muncul akibat gangguan pada pompa injeksi kimia di Instalasi Pengolahan Air (IPA) Duriangkang 5. Gangguan ini mengakibatkan bahan kimia tidak tercampur dengan sempurna, sehingga mempengaruhi hasil akhir pengolahan air. Denny Tondano, Direktur BU-SPAM, mengungkapkan bahwa sekitar 3.600 meter kubik air bercampur alga sempat terdistribusi kepada pelanggan beberapa hari ini.
”Namun, saat commissioning, terjadi gangguan pada dosing pump, sehingga sekitar 3.600 meter kubik air yang tercampur alga sempat terkirim ke pelanggan,” kata Direktur Badan Usaha SPAM BP Batam, Denny Tondano, beberapa hari kemarin.
Ia menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat atas gangguan kualitas air yang diterima.
Sebagai langkah mitigasi, BP Batam menghentikan sementara commissioning IPA Duriangkang 5 untuk memperbaiki pompa yang bermasalah. Selain itu, mereka juga melakukan flushing pada jaringan pipa untuk menghilangkan endapan dan kotoran yang menempel. Flushing dilakukan dengan memberikan tekanan tertentu melalui katup pengurasan, meskipun proses pemulihan kualitas air membutuhkan waktu lebih lama.
Saat ini, BP Batam tengah melakukan uji kualitas air terakhir untuk memastikan bahwa hasil pengolahan telah memenuhi standar yang ditetapkan. Jika hasil pengujian memuaskan, IPA Duriangkang 5 yang memiliki kapasitas 500 liter per detik diharapkan dapat beroperasi kembali dan meningkatkan pasokan air bersih untuk masyarakat Batam. Denny optimis bahwa dengan beroperasinya IPA ini, kebutuhan air bersih di Batam dapat terpenuhi lebih baik, terutama di daerah-daerah yang selama ini mengalami kendala distribusi.
Namun, janji perbaikan serta perubahan pelayanan menjadi lebih baik, bukan hal baru yang disampaikan pengelola air bersih di Batam itu. Kepala Ombudsman Kepulauan Riau, Lagat Siadari, menilai bahwa keberadaan berbagai masalah pasca-peralihan pengelolaan adalah bukti kegagalan dalam memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat. Ia menegaskan bahwa pertumbuhan populasi yang mencapai 20 persen setiap tahun seharusnya diimbangi dengan peningkatan layanan air bersih, namun kenyataannya justru sebaliknya.
Lagat menyoroti bahwa banyak warga mengeluhkan kualitas air yang tidak layak pakai, dan banyak pengembang perumahan yang menunggu sambungan air tetapi belum mendapatkannya. Hal ini berpotensi mengganggu aktivitas ekonomi dan kehidupan sehari-hari masyarakat. Menurutnya, situasi ini sangat kontras dibandingkan dengan era ketika PT Adhya Tirta Batam masih mengelola air bersih, di mana kualitas air jauh lebih baik.
“Fakta paska konsesi lama berakhir, kualitas air justru semakin memburuk. Kapasitas pengolahan air yang ada tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Ini jelas kegagalan dalam pelaksanaan SPAM,” kata Lagat Siadari.
Menurutnya, evaluasi terhadap pengelolaan SPAM di Batam menjadi semakin mendesak. Lagat meminta pemerintah untuk mengambil langkah tegas terhadap konsorsium yang bertanggung jawab atas buruknya layanan air saat ini. Ia menegaskan bahwa pengelolaan seperti ini tidak bisa dibiarkan, dan pihak ketiga harus dievaluasi karena masyarakat menjadi korban.
Seperti diketahui, pengelolaan air bersih di Batam mulai dialihkan dari PT Adhya Tirta Batam (ATB) ke Badan Usaha Sistem Pengelolaan Air Minum (BU-SPAM) BP Batam pada tahun 2020. Peralihan ini terjadi setelah berakhirnya masa konsesi PT ATB, yang telah mengelola pasokan air bersih di Batam selama lebih dari dua dekade. Alih-alih terjadi peningkatan kualitas layanan, konsumen air di Batam justeru merasakan penurunan kualitas air bersih yang mereka terima.
(sus/ham)