Oleh : Sulton Yohana
PULANG dari RSU Singapura, Senin (20/12/2022) sore, kami pingin sekedar ngopi di kawasan kota tua Tanjung Pagar. Kami memutuskan jalan kaki saja, karena jaraknya cuma sepelemparan batu dari rumahsakit. Melewati ruko-ruko jaman kolonial daerah Duxton Plain Park, Outram, yang sebagian besar dalam status “dilestarikan”, saya ingat di sana ada makam tua, yang dipercaya sebagai orang yang dekat dengan Gusti Allah. Makam Sharifah Rogayah, satu-satunya cucu Habib Nuh bin Muhammad Al-Habsyi, ulama dan penyebar Islam di Singapura.
Tidak ada salahnya, pikir saya, mampir sejenak ke makam. Sekedar menghadiahkan Al-fatihah dan surat-surat pendek pada si mayit. Sebagai orang NU (setidaknya saya dibesarkan dengan cara NU), datang ke makam orang-orang yang semasa hidup mempunyai banyak jasa pada masyarakat, adalah sebuah kebaikan. Orang-orang NU tidak datang ke makam untuk minta sesuatu. Sebaliknya, kami justru akan berdoa pada Gusti Allah, memohon agar si mayit senantiasa dalam rahmat dan kebaikan dari Semesta.
Terletak di belakang deretan ruko-ruko yang sebagiannya adalah bar, makam Sharifah terlihat begitu mencolok. Berada di jalur hijau pedestrian tempat lalu-lalang masyarakat jogging atau jalan, makam itu, mecungul seolah-olah minta perhatian dengan catnya yang dominan warna hijau dan kuning. Sebuah kain kuning menutupi sebagian makam. Sore itu, tidak ada siapa pun di sana. Hanya ada lalu-lalang orang berjogging di trek pedestarian yang berada sekitar tiga meter dari makam. Beberapa karangan bunga tergeletak di atas makam, juga di sekelilingnya. Makam yang mengingatkan pada makam-makam keluarga raja di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau.
Empat biji kursi plastik dan besi aneka warna yang teronggok mengelilingi makam, seperti disediakan untuk orang-orang tua yang datang berziarah. Sebuah kursi roda entah milik siapa, beberapa kaleng plastik, serta gemericik air yang jatuh dari bocoran pipa saluran air hujan ruko yang ada di samping makam; memberi kesan agak kumuh. Tempat yang benar-benar tidak ideal untuk sebuah makam.
Tidak ideal memang. Selain kanan-kirinya yang dipenuhi ruko-ruko gaya art deco yang difungsikan sebagai bar, hotel, atau rumah makan; tempatnya yang begitu terbuka membuat siapa pun yang hendak berdoa di sana seperti kikuk, merasa diperhatikan oleh siapa pun yang berlalu-lalang di sana.
**
Dalam berbagai literatur disebutkan, Sharifah Rogayah adalah satu-satunya putri Sharifah Badariah yang juga satu-satunya putri dari Habib Nuh dengan istrinya, Hamidah. Perempuan dari Pulau Pinang, Malaysia. Sharifah kemudian menetap di Singapura, setelah menikah dengan Syed Alwi bin Ali Aljunied, salah satu anggota keluarga Aljunied yang terpandang itu.
Leluhur keluarga Aljunied, Syed Omar Ali Aljunied (lahir tahun 1792 di Tarim, Hadramaut, Yaman), adalah seorang pedagang Arab keturunan Nabi Muhammad SAW. Memulai bisnis di Palembang, di bawah kekuasaan Belanda, pada tahun 1820 Syed Omar pindah dan menetap di Singapura ketika penguasa Inggris mengundangnya.
Syed Omar adalah pebisnis, filantropis, yang saking besarnya jasa bagi Singapura, namanya diabadikan menjadi salah satu jalan utama dan stasiun MRT di Singapura. Kedermawanannya bukan hanya dikenal oleh warga Muslim, Syed Omar juga tercatat pernah menyumbangkan sebidang tanah untuk pembangunan gereja Katedral St Andrew. Jika Anda keluar dari Stasiun MRT City Hall, Anda pasti langsung berhadapan dengan gereja ikonik bergaya gothik ini. Syed Omar juga menyumbangkan sebidang tanah untuk pembangunan RS Tan Tock Seng.
Beliau juga mendirikan masjid pertama di Singapura pada tahun 1820, Masjid Omar Kampong Melaka. Syed Omar juga mendirikan Masjid Bencoolen. Keturunannya yang lain, Syed Abdul Rahman Aljunied, tercatat sebagai pendiri madrasah tertua di Singapura, Madrasah Aljunied Al-Islamiah yang terletak di dekat Bugis. Madrasah ini sekarang, adalah salah satu madrasah paling prestisius di Singapura.
Syed Omar Ali Aljunied. Seorang kaya raya yang keturunan Rasulullah SAW, kealiman dan kedekatannya pada Gusti Allah tak perlu diragukan; telah memberi pelajaran bagaimana toleransi menjadi fondasi Singapura mengada. Toleransi pada sesama Muslim, juga toleransi pada yang bukan Muslim. Syed Omar bahkan mendapat julukan “justice of peace” atau “juru damai”, dan ditunjuk pemerintah kolonial Inggris untuk menolong mengurusi masyarakat Muslim di Temasek (nama lama Singapura) ketika itu.
Nilai-nilai toleransi ini, jaman sekarang mulai banyak ditinggalkan. Ditinggalkan, bahkan, oleh orang-orang yang salat pun jarang-jarang melakukan, apalagi membaca dan memahami Qur’an.
Kembali ke Sharifah Rogayah, beliau wafat pada tahun 1891 dan dimakamkan di lereng Kampong Bukit Pasoh. Daerah yang kini dikenal sebagai Duxton Plain Park. Makam yang tak terlalu jauh dari makam kakeknya, Habib Nuh, di Masjid Haji Muhammad Salleh. Berbeda dengan makam kakeknya yang selalu dipenuhi peziarah, makam Sharifah sepi dari pengunjung. Makam yang konon, ketika hendak digusur, alat-alat berat yang akan menggalinya, tiba-tiba saja tidak bisa bekerja.
Saya, sore itu, begitu sampai di makam, segera bersila, memanjat doa pada Gusti Allah, agar si mayit dan anak keturunannya senantiasa diberkahi kebaikan. Kebaikan yang juga akan memberkahi Singapura, tempat dua anak saya lahir dan menetap.
(*)
Seperti ditulis Sulton Yohana di blog pribadinya.