SABTU, 7 September 2024, genap satu tahun sejak tragedi penggusuran paksa di Pulau Rempang, Batam terjadi. Dalam rangka memperingati peristiwa tersebut, sejumlah warga melakukan berbagai kegiatan, termasuk ziarah ke makam-makam tua di Lubuk Lanjut, Kampung Pasir Panjang.
WARGA Pulau Rempang menggelar kegiatan tabur bunga, orasi dan atraksi budaya untuk memperingati setahun tragedi bentrokan yang terjadi, pada tanggal 7 September 2023 lalu.
Tabur bunga dilaksanakan tepat di lokasi bentrok antara masyarakat Pulau Rempang dengan 1.010 aparat gabungan di Kampung Tanjungkertang, Sabtu (7/9/2024) kemarin.
Sebelum itu, masyarakat Rempang menggelar pawai. Iring-iringan kendaraan dilakukan mulai dari Simpang Dapur Enam, sampai ke Tanjungkertang.
Prosesi tabur bunga dilaksanakan sekitar pukul 15.00 WIB. Ibu-ibu yang hadir langsung turun dari kendaraan sambil membawa bunga, menaburkan di jalan persis di Jembatan 4 Barelang.
Sesudah prosesi tabur bunga, warga kemudian duduk melingkar, memanjatkan doa, berharap agar perjuangan mempertahankan kampung, membuahkan hasil yang berpihak pada masyarakat.
“Di sinilah, kami mengingat setahun yang lalu, sakitnya hati kami atas perlakuan aparat,” kata Miswadi, warga Pulau Rempang yang ambil bagian dalam kegiatan tabur bunga ini.
“Kami sudah satu tahun berjuang. Dan kami akan terus berjuang.”
Konvoi warga kemudian bergeser ke lapangan Sepakbola Kampung Sembulang. Di sana warga Rempang menggelar salat Hajat seusai bersama-sama menunaikan ibadah salat Magrib.
Warga memgirimkan doa, agar diberikan kekuatan untuk tegar berjuang menjaga eksistensi kampung-kampung di pulau Rempang. Mereka juga iringkan doa untuk leluhur mereka.
Orang-orang yang sebelumnya lebih dulu berjuang menjaga ruang hidup yang kini ditempati warga.
Tragedi Setahun Lalu
PERISTIWA bentrokan antara warga dan aparat gabungan yang terjadi satu tahun lalu melibatkan seribu lebih petugas keamanan. Warga, yang berjuang melawan peluru karet, gas air mata, dan tindakan keras aparat, mengalami kerugian besar, dengan beberapa anak di sekolah juga menjadi korban gas air mata. Beberapa orang terluka, dan delapan lainnya ditangkap.
Ridwan, salah seorang yang terkena peluru karet dalam bentrokan tersebut dan sempat viral karena video yang menunjukkan kepalanya berdarah, hadir dalam ziarah tersebut. Ia mengingat pengalaman traumatis tersebut dengan perasaan campur aduk namun tetap teguh untuk melawan penggusuran. Ridwan meminta agar warga Pulau Rempang tetap bertahan dan melawan, menegaskan bahwa perjuangan mereka adalah untuk melindungi tanah leluhur dari ancaman pihak asing.
Siti Hawa, warga lainnya, menyebut tragedi 7 September sebagai tindakan zalim pemerintah yang akan mereka peringati setiap tahun. Ia membandingkan situasi saat ini dengan perlawanan nenek moyang melawan penjajah Belanda, menekankan bahwa perjuangan melawan proyek Rempang Eco City, sebuah proyek strategis nasional, adalah untuk melindungi tanah leluhur mereka.
Miswadi, seorang warga lain, menegaskan penolakannya terhadap relokasi dan proyek investasi yang dianggap merugikan masyarakat. Ziarah kubur yang dilaksanakan kemarin diikuti dengan penuh khidmat, dengan Muhammad Sani, tetua masyarakat adat Pulau Rempang, memimpin doa untuk keselamatan dan perlindungan kampung mereka. Beberapa warga tidak bisa menahan isak tanggis saat doa dibacakan, dan mereka juga menyirami makam-makam tua di bawah pohon Ara yang tinggi, menegaskan bahwa mereka sudah menjadi bagian dari Pulau Rempang selama delapan generasi. Sani menyatakan bahwa Pulau Rempang bukanlah pulau kosong, melainkan tanah leluhur yang harus dilindungi.
Tragedi yang terjadi setahun lalu di Pulau Rempang, pada 7 September 2023, melibatkan bentrokan antara warga setempat dan aparat keamanan. Konflik ini berawal dari upaya penggusuran paksa oleh pihak berwenang untuk memfasilitasi proyek strategis nasional, yaitu Rempang Eco City, yang direncanakan akan dibangun di kawasan tersebut.
Warga setempat, yang berjuang mempertahankan tanah leluhur mereka, berhadapan dengan tindakan keras aparat, termasuk penggunaan gas air mata, peluru karet, dan pemukulan. Bentrokan ini menyebabkan beberapa warga terluka, beberapa anak di sekolah sekitar terkena gas air mata, dan delapan orang ditangkap. Video dan laporan menunjukkan bahwa situasi ini sangat brutal dan menimbulkan banyak korban di pihak warga.
Tragedi ini menjadi simbol perlawanan terhadap penggusuran dan proyek besar yang dianggap merugikan komunitas lokal. Peringatan setahun setelah kejadian tersebut diisi dengan kegiatan ziarah dan doa oleh warga sebagai bentuk penghormatan terhadap mereka yang terdampak serta sebagai upaya untuk terus menegakkan hak mereka atas tanah leluhur.
Sikap Pemerintah Soal PSN di Rempang
SAAT ini, sikap pemerintah terhadap proyek strategis nasional di Pulau Rempang tetap pada rencana semula meskipun ada penolakan dan perlawanan dari warga. Pemerintah berkomitmen untuk melanjutkan pembangunan Rempang Eco City, yang merupakan bagian dari inisiatif pengembangan kawasan strategis nasional.
Proyek ini dirancang untuk mengubah Pulau Rempang menjadi pusat ekonomi dan lingkungan yang modern, namun menghadapi resistensi dari masyarakat setempat yang khawatir akan dampaknya terhadap tanah dan kehidupan mereka.
Pemerintah telah melakukan beberapa langkah untuk menyelesaikan konflik, termasuk menawarkan kompensasi kepada warga yang terdampak dan berusaha melakukan negosiasi.
Namun, ketegangan masih tinggi karena warga merasa bahwa upaya kompensasi tidak cukup untuk mengganti kerugian kehilangan tanah leluhur mereka. Sehingga, meskipun ada usaha untuk mencari solusi, perlawanan dan protes dari masyarakat lokal masih berlanjut.
Dalam rilisnya, BP Batam sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam proyek strategis nasional di pulau Rempang ini menyebut warga terdampak pembangunan Rempang Eco-City mengaku bahagia karena akan segera menempati rumah baru di Tanjung Banon.
Hal ini tentu tak terlepas dari rencana BP Batam yang dalam waktu dekat akan memindahkan mereka ke bangunan dengan tipe 45 dan memiliki luas tanah 500 meter persegi tersebut.
“Kita masyarakat asli Rempang sangat menginginkan kesejahteraan. Makanya kita mendukung relokasi oleh pemerintah. Kami semua juga sangat bahagia karena sebentar lagi kita semua akan menempati rumah yang baru di Tanjung Banon,” kata tokoh masyarakat Sembulang, Samsudin Bujur, Sabtu (7/9/2024).
Ia berharap, BP Batam bersama kementerian terkait juga langsung memberikan sertifikat hak milik (SHM) seiring kepindahan warga ke sana.
Bukan tanpa alasan, warga yang saat ini menempati hunian sementara sejak awal telah berkomitmen untuk mendukung penuh rencana investasi di Kawasan Rempang.
“Kami semua hingga saat ini sangat mendukung PSN Rempang Eco-City. Untuk itu, kami ingin menerima sertifikat langsung saat penyerahan kunci,” harapnya.
Ia juga menyayangkan kondisi Rempang yang saat ini kembali bergejolak akibat provokasi sejumlah pihak.
“Kita mengetahui siapa saja masyarakat Rempang yang asli. Misalkan 50 orang yang ikut serta menolak direlokasi, hanya 10 orang yang merupakan masyarakat Rempang asli. Selebihnya merupakan masyarakat pendatang yang menetap di Rempang,” pungkasnya.
Terpisah, Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait mengaku senang dengan dukungan dari warga serta tokoh masyarakat Rempang.
Ia berharap, dukungan ini dapat mengetuk pintu hati masyarakat yang masih bersikeras menolak rencana investasi di Rempang.
“Kita bersyukur karena warga mulai membuka diri dan pikirannya terhadap rencana pembangunan Rempang Eco-City. Semoga saja dukungan terus bertambah sehingga ini bisa terealisasi dengan baik,” ujarnya.
Di samping itu, Ariastuty mengaku bahwa BP Batam juga terus berkoordinasi dengan Kementerian ATR-BPN terkait penyerahan SHM kepada warga Rempang yang akan segera menempati hunian baru di Tanjung Banon.
Dengan harapan, rencana penyerahan SHM saat perpindahan warga ke rumah baru bisa terealisasi.
“Kami terus berkoordinasi dengan seluruh pihak yang berkompeten. Semoga seluruh prosesnya bisa berjalan sesuai harapan,” tambahnya.
(ham/dha)