SELAMA puluhan tahun, Sritex menjadi pilar industri tekstil Indonesia. Bermula dari toko kain kecil di Jawa Tengah, perusahaan ini menjelma menjadi salah satu produsen tekstil terbesar di Asia Tenggara, bahkan memasok seragam militer untuk Tentara Nasional Indonesia (TNI) hingga negara-negara NATO.
KINI, Sritex tinggal nama. Putusan pailit yang dijatuhkan akhir tahun lalu dan dikuatkan oleh Mahkamah Agung pada Desember 2024 mengakhiri segalanya. Per 1 Maret, Sritex resmi menutup seluruh operasionalnya.
Runtuhnya raksasa tekstil ini menimbulkan banyak pertanyaan: Apa yang menyebabkan kejatuhannya? Bagaimana dampaknya bagi ekonomi Indonesia? Apakah ini menjadi tanda deindustrialisasi yang semakin dalam?
Bagaimana Sritex menjadi raksasa tekstil?
Kisah Sritex bermula pada 1966, ketika pendirinya, Muhammad Lukminto, membuka toko kain kecil di Pasar Klewer, Solo, Jawa Tengah. Dua tahun kemudian, usahanya berkembang ke industri produksi tekstil, dan pada 1978, perusahaan ini resmi menjadi perseroan terbatas.
Sepanjang 1980-an dan 1990-an, Sritex berkembang menjadi produsen tekstil terintegrasi, menangani seluruh proses dari pemintalan, penenunan, penyempurnaan, hingga produksi busana. Nama Sritex melambung pada 1990 ketika menjadi pemasok resmi seragam militer TNI. Kontrak dengan militer Jerman dan NATO pun menyusul.
Tak hanya seragam militer, Sritex juga dipercaya memproduksi pakaian untuk merek global seperti H&M, Uniqlo, dan Zara.
Pada 2019, penjualan Sritex mencapai US$1,3 miliar, mengukuhkan posisinya sebagai kekuatan besar di sektor manufaktur Indonesia.
Apa penyebab kejatuhan Sritex?
Masalah Sritex bermula pada 2020 ketika pandemi COVID-19 mengacaukan rantai pasok global dan melemahkan permintaan konsumen. Penjualan anjlok ke US$ 847 juta, membuat perusahaan ini untuk pertama kalinya mencatatkan kerugian sejak melantai di bursa.

Direktur Keuangan Sritex, Welly Salam, pada Juni tahun lalu mengatakan bahwa penurunan pendapatan disebabkan oleh persaingan ketat industri tekstil global dan ekses COVID-19.
Utang pun membengkak. Hingga pertengahan 2024, total kewajiban Sritex melonjak menjadi Rp 26,2 triliun, hampir dua kali lipat dari jumlah utangnya pada 2019.
Meski sempat mencapai kesepakatan restrukturisasi utang pada 2022, kepercayaan kreditur terus merosot. Pada Oktober 2024, PT Indo Bharat Rayon—salah satu kreditur Sritex—mengajukan gugatan pailit dengan alasan perusahaan gagal memenuhi kewajibannya.
Pengadilan Niaga Semarang mengabulkan gugatan tersebut, dan Mahkamah Agung menguatkan putusan pada Desember 2024, membuat status pailit Sritex menjadi final.
Apa yang terjadi pada ribuan pekerja Sritex?
Penutupan Sritex berdampak langsung pada ribuan pekerjanya. Dalam dua bulan pertama 2025 saja, setidaknya 10.665 karyawan dari empat pabrik Sritex di Jawa Tengah terkena pemutusan hubungan kerja.
Serikat pekerja menyoroti waktu penutupan yang berdekatan dengan Ramadan.
“Tentu kami bertanya-tanya, apakah ini cara untuk menghindari kewajiban membayar THR?” kata Slamet Kaswanto, Ketua Serikat Pekerja Sritex, dalam rapat dengar pendapat dengan DPR pekan lalu.
Kementerian Ketenagakerjaan berjanji mereka yang kehilangan pekerjaan akan mendapatkan pembayaran jaminan hari tua dan jaminan kehilangan pekerjaan.
Apakah pemerintah berusaha menyelamatkan Sritex?
Kejatuhan Sritex menarik perhatian nasional. Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sempat mengupayakan penyelamatan karena pentingnya perusahaan ini bagi industri tekstil dalam negeri.
Pada akhir 2024, pemerintah menugaskan empat kementerian—termasuk Kementerian Perindustrian dan Kementerian Keuangan—untuk mencari opsi penyelamatan. Namun, upaya itu gagal menghentikan kebangkrutan dan gelombang PHK.
Kini, pemerintah berfokus pada upaya merekrut kembali eks pekerja Sritex. Sejumlah pejabat mengklaim ada investor baru yang tertarik menyewa peralatan Sritex guna melanjutkan produksi. Namun, belum ada kejelasan berapa banyak pekerja yang akan kembali dipekerjakan.

Apakah ini tanda kemunduran industri tekstil Indonesia?
Sritex bukan satu-satunya perusahaan tekstil yang tumbang. Antara 2019 hingga pertengahan 2024, setidaknya 36 perusahaan tekstil Indonesia gulung tikar, termasuk PT Pismatex yang berdiri sejak 1972. Hanya dalam enam bulan pertama 2024, 10 perusahaan tekstil mem-PHK hampir 14.000 pekerja.
Para analis industri menilai kejatuhan Sritex mengungkap masalah struktural di sektor manufaktur Indonesia.
Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menilai daya saing manufaktur Indonesia terus melemah akibat biaya logistik yang tinggi, kebijakan pemerintah yang tidak konsisten, serta suku bunga yang terus naik.
Indonesia juga kalah bersaing dengan Vietnam dan Bangladesh yang memiliki biaya produksi lebih rendah, menarik minat merek-merek fesyen global. Sementara itu, banjirnya tekstil murah dari China—yang diperparah dengan lemahnya kebijakan proteksi dagang—semakin menekan produsen dalam negeri.
Jemmy Kartiwa Sastraatmadja, ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), mengatakan bahwa kebijakan proteksi perdagangan yang diterapkan oleh beberapa negara untuk membatasi ekspor ke produsen tekstil utama seperti China telah menyebabkan kelebihan stok persediaan.
“Akibatnya, surplus tersebut diekspor ke negara-negara dengan kebijakan proteksi perdagangan yang lemah, seperti Indonesia,” kata Jemmy kepada BenarNews.
Pada bulan Januari, Redma Gita Wirawasta, ketua Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia, mengatakan kepada para jurnalis bahwa pabrik-pabrik lokal kesulitan bersaing dengan membanjirnya pakaian murah dari China di pasar Indonesia.
Apa dampak ekonomi yang lebih luas?
Kejatuhan Sritex diperkirakan akan berdampak luas, bukan hanya bagi para mantan pekerjanya. CELIOS memperkirakan kebangkrutan ini dapat memangkas 0,1% dari total PDB nasional dan mengurangi 0,5% PDB di daerah-daerah tempat Sritex beroperasi.
Kepercayaan investor terhadap sektor tekstil Indonesia juga bisa merosot, berpotensi menghambat arus investasi asing di masa depan.
“Apa yang menimpa Sritex adalah akibat rangkaian faktor yang saling terkait dan memperparah industri dalam negeri,” ujar Bhima.
Apakah Indonesia sedang mengalami deindustrialisasi?
Kebangkrutan Sritex memperkuat kekhawatiran tentang deindustrialisasi di Indonesia. Kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB terus menurun, berkisar di bawah 20% antara 2019 hingga 2024—angka yang dianggap terlalu rendah untuk ekonomi yang ingin tumbuh berbasis industri.
Laporan LPEM-UI tahun 2024 menyebutkan bahwa Indonesia harus meningkatkan kontribusi manufaktur hingga minimal 25% dari PDB guna mencapai target pertumbuhan ekonomi.
Tanpa kebijakan industri yang lebih kuat, Indonesia mungkin kesulitan mencapai visi ambisius “Indonesia Emas 2045″—menjadi negara berpenghasilan tinggi di usia 100 tahun kemerdekaan.