- Nama : Mohamad Rakana Daljan
- Jabatan : Bupati ke-2 kabupaten Kepulauan Riau. (sebelum pemekaran wilayah Kepulauan Riau sebagai provinsi)
- Masa Jabatan: 1 Agustus 1955 – 30 Oktober 1957
MOHAMAD Rakana Daljan adalah bupati Kepulauan Riau kedua yang menjabat di ibukota Tanjungpinang pada periode 1 Agustus 1955 hingga 30 Oktober 1957. Ia menggantikan bupati sebelumnya, Encik M. Apan.
Sama halnya dengan bupati pertama Kepulauan Riau, pada masa pemerintahan M. Rakana Daljan, kabupaten Kepulauan Riau masih masuk dalam wilayah provinsi Sumatera Tengah dengan ibukota di Bukit Tinggi. Sebelum bertugas sebagai bupati Kepulauan Riau, M. Rakana Daljan diketahui merupakan pegawai Republik Indonesia di awal-awal kemerdekaan dan bertugas di provinsi Sumatera (sebelum Sumatera dipecah lagi menjadi 3 provinsi, yakni : Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan)
Ia sempat bergabung di Gerakan Pegawai Angkatan Muda (Gepam) pada tahun 1946 di kota Bukit Tinggi dan menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Gepam.
Daljan di Masa Genting Konfrontasi PRRI/Permesta
SEJAK tahun 1950-1960-an, Tanjungpinang menjadi daerah penting sebagai basis pertahanan dalam menumpas pemberontakan PRRI yang berpusat di Padang, Sumatra Barat. Tanjungpinang juga jadi markas Angkatan Laut RI sejak era Komando Maritim Daerah Riau (KDMR) yang nantinya jadi cikal bakal Lantamal IV Tanjungpinang.
Pada masa itu, pulau Sumatera masih terbagi dalam tiga provinsi, yakni provinsi Sumatera Utara (mencakup karesidenan Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli), provinsi Sumatera Tengah (meliputi karesidenan Sumatera Barat, Riau dan Jambi) serta provinsi Sumatera Selatan (mencakup Palembang, Bengkulu, Lampung serta Bangka Belitung).
Karesidenan Riau yang saat itu berpusat di kota Tanjungpinang, juga tak lepas dari pusaran konflik tersebut. Menurut surat kabar ‘The Daily Collegian‘ seperti dilansir dari catatan sejarahwan Kepulauan Riau, Aswandi Syahri, kondisinya saat itu mirip seperti perang sipil ; “… What seems to be the outbreak of civil war …”
Namun begitu, catatan sejarah juga menyebut bahwa ibukota karesidenan Riau di Tanjungpinang itu, menjadi satu-satunya karesidenan di Sumatera yang belum bisa dipengaruhi oleh kelompok PRRI/Permesta. Lokasi kepulauan dan terpisah sejarah geografis dari daratan Sumatera, menyulitkan Dewan Banteng (salah satu dewan bentukan PRRI/Permesta) untuk menguasai Tanjungpinang. Secara politis saat itu, pemerintahan di kabupaten Kepulauan Riau masih tunduk pada pemerintah pusat di Jakarta.
Letak Kepulauan Riau yang berhampiran Semenanjung Malaya (termasuk Singapura, pen) menjadikan wilayah ini penting di mata PRRI/Permesta dan juga Pemerintah pusat di Jakarta.
Laporan-laporan intelijen pemerintah pusat di Jakarta menyebut, pimpinan PRRI bahkan sudah melakukan kontak-kontak rahasia dengan bupati Kepulauan Riau, M. Rakana Daljan yang memintanya untuk mendekati Overste Angkatan Laut Indonesia di Tanjungpinang, Letkol Simanjuntak.
“Selain itu, PRRI juga mengirim 300 orang tenaga veteran perang sebagai “tenaga infiltrasi kekuatan orang” yang ditempatkan sebagai petani di sepanjang jalan antara kota Tanjungpinang dan kota Kijang. PRRI juga mengirim “Kaki Tangannya” sebagai pedagang dan bergerak antara Inderagiri, Pekanbaru dan Tanjungpinang“.
Sementara itu, menurut laporan M. Zain Busrie: “… apabila seluruh persiapan-persiapan mereka (Dewan Banteng) di segenap jurusan telah rampung dan memungkinkan, maka di sanalah mereka akan memulai aksinya :
- Merebut kekuasaan sipil dari Residen (Riau, Mr. Sus Tjakraningrat) kemudian menyerahkan kepada bupati Rakana Daljan (Kepulauan Riau, pen).
- Merebut dan menguasai lapangan udara Kijang (sekarang bandara Raja Haji Fisabilillah, pen)
Pemerintah pusat di Jakarta ternyata bergerak lebih cepat dibanding perkiraan PRRI. Mereka segera melakukan sejumlah langkah politik hingga militer untuk mengantisipasi rencana PRRI. Bupati Kepulauan Riau, M. Rakana Daljan sendiri diganti pada 30 Oktober 1957. Sementara pihak militer mengantisipasi dengan menguasai terlebih dahulu lapangan udara Kijang di Tanjungpinang.
Pemerintah pusat mengerahkan pesawat pembom tempur B–25 Mitchel buatan Douglas Aircraft Corporation yang berasal dari Amerika Serikat. Dari Lanud Kijang di Tanjungpinang, pasukan dari Angkatan Utara berhasil menguasai Lapangan Udara Simpang Tiga di Pekanbaru, menyerang markas PRRI di daerah Lubuk Jambi dan Muara Mahat di Riau. Dari Riau, serangan dilanjutkan menaklukan Lapangan Udara Padang. Pesawat terbang yang dimiliki AURI juga mengejar sisa-sisa pasukan PRRI yang melarikan diri ke arah Tapanuli.
(ham)