“Mereka memakan apa saja yang tidak beracun. Nasi adalah makanan istimewa yang tidak selalu mereka nikmati. Sering kali terjadi bahwa kelompok ini mencuri nasi dalam jumlah kecil dari orang Cina yang tinggal di dekatnya. Mereka sangat terampil dalam memanjat dan memakai sumpitan (senapan tiup), dan hampir tidak pernah meleset …” (J.G. Schot, De Indische Gid – Battam Archipel, 1882).
…
Rumah yang dulu ditempati pak Kosot sudah tidak berbekas. Sementara sebuah rumah permanen yang dulu dibangun pemerintah, masih ditempati cucunya. Namun, kondisinya sudah tidak baik lagi. Alang alang dan rumput liar memenuhi halaman. Plafon juga sudah rubuh. Begitu pula daun pintu dan jendela.
Sementara di sekitar kampung tempat tinggal mereka, mulai terdengar deru traktor-traktor yang membuka wilayah hutan di sekitarnya. Seperti mengepung generasi terakhir ‘Orang dari tanah Celebes’ tersebut di pulau Rempang.
Oleh: Bintoro Suryo
ADA kesamaan cara hidup antara Orang Sabimba, Moeka Koening dan Tring Bumban’ yang mendiami wilayah hutan Batam di masa sebelumnya, dengan keberadaan orang Darat di pulau Rempang dan Galang. Mereka sama-sama menggunakan senjata sumpitan untuk berburu dan hanya mengupayakan hasil hutan untuk bertahan hidup.
Dalam sebuah catatan seorang Controleur yang menangani wilayah kepulauan Batam sekitar tahun 1880, J.G. Schot, ia menyebut bahwa kelompok orang yang mendiami pulau Rempang masa itu, merupakan kelompok yang sama dengan suku hutan yang tinggal di pulau Batam di masa sebelumnya.
“… Orang Darat awalnya menetap di Batam, dan kemudian sebagian dari mereka pindah ke Rempang. Mereka berjalan melalui hutan dan jarang tinggal lama di satu tempat. Mereka berpakaian sederhana dan tinggal di gubuk-gubuk terbuka yang tidak memiliki dinding, hanya atap. Untuk melindungi diri dari nyamuk, mereka membuat api yang menyala di sekitar tempat tinggal mereka pada malam hari. Asap dari api tersebut berfungsi sebagai tirai. Mereka memakan apa saja yang tidak beracun. Nasi adalah makanan istimewa yang tidak selalu mereka nikmati, dan sering kali terjadi bahwa orang Uetan mencuri nasi dalam jumlah kecil dari orang Cina yang tinggal di dekatnya. Mereka sangat terampil dalam memanjat dan memakai sumpitan (senapan tiup), dan hampir tidak pernah meleset …” (J.G. Schot, De Indische Gid – Battam Archipel, 1882).
Dalam catatan perjalanan menelusuri hutan di wilayah kepulauan Batam masa itu, ia juga mendapat fakta bahwa sejak enam puluh tahun sebelumnya, mereka berada di bawah kepemimpinan seorang Batin yang tinggal di sekitar hutan teluk Senimba. Mereka dikelola dan diperintah untuk mengumpulkan hasil hutan. Awalnya berada di bawah kepemimpinan seorang Batin bernama Akir. Kemudian, mereka tunduk pada kepemimpinan Batin Doel Amat yang merupakan anak Batin Akir dan tinggal di teluk Senimba.
“… sampai akhirnya mereka melepaskan diri dari kepemimpinan tersebut sekitar setahun yang lalu, karena Batin yang sekarang, tanpa persetujuan mereka, telah mengambil beberapa gadis muda mereka sebagai gundik. Sebagian dari mereka kemudian menempatkan diri di bawah Encik Tawi di pulau Boeloeh yang menetap di sekitar hulu Sungai Lekop …” (J.G. Schot, De Indische Gid – Battam Archipel, 1882).

Pada sekitar tahun 1880 berdasarkan catatan J.G. Schot, kelompok orang darat asal pulau Rempang yang memiliki leluhur sama dengan Orang Senimba, Moeka Koening dan Tring Bumban’, ada juga yang tinggal di sekitar pulau utama Batam lainnya. Yaitu di hulu Sungai Merendi, dekat kampung Bagan.
Kelompok orang darat yang tinggal di wilayah ini, mengakui Raja Muhammad Saleh atau lebih dikenal sebagai Raja Mahmud yang merupakan Wakil Kerajaan yang mengelola wilayah Batam bagian timur dan tinggal di kampung Bagan saat itu, sebagai pemimpin mereka. Menurut J.G. Schot, Raja Muhammad Saleh alias Raja Mahmud merupakan putera Raja Yakub, kepala sebelumnya yang mengelola wilayah yang sama dari kampung Nongsa di ujung Utara Batam.
Kelompok Orang Darat, pada puluhan tahun sebelumnya, ditemukan pernah mendiami wilayah hutan di sekitar teluk Tering oleh seorang pendeta Prusia yang berkunjung ke Batam pada tahun 1835, E.H. Rottger. Oleh peneliti etnologi asal Inggris yang juga menemui kelompok orang darat di sana sepuluh tahun kemudian, James R. Logan, mereka disebut sebagai Orang Tring Bumban’.
Beberapa orang dari kelompok yang sama dalam catatan Schot yang terbit pada 1882, juga ada yang mengembara melintasi laut hingga ke pulau Bulang dan tinggal di sekitar gunung Bulang masa itu.
Catatan J.G. Schot lainnya yang serupa dengan hasil penelitian James R. Logan pada 1846, kelompok orang ini sama-sama memiliki kebiasaan nomaden. Mereka hanya tinggal di suatu tempat dalam hutan untuk jangka waktu singkat. Selanjutnya, akan mengembara lagi dan tinggal di kawasan hutan lainnya di Kepulauan Batam.
Kelompok Orang Darat di pulau Rempang, sepertinya memiliki kaitan erat dengan kelompok serupa yang pernah hidup di pulau Batam pada masa sebelumnya. Yakni, Orang Sabimba, Tring Bumban’ dan Moeka Koening. Mereka berasal dari kelompok orang asal tanah Celebes yang terdampar ratusan tahun silam di Kepulauan ini.
Mengenai kebiasaan dan asal usul mereka, bisa disimak pada artikel : “Mereka yang Bersumpah Jadi Terasing di Tanah Batam”.
Orang Darat di Pulau Rempang Tahun 1930
SEORANG pejabat dalam negeri Hindia Belanda yang bertugas di Residensi Riouw, P. Wink, juga pernah mengupas keberadaan kelompok orang serupa yang tinggal di pulau Rempang ini. Dalam dokumennya : “Verslag van een bezoek aan de Orang-Darat van Rempang op 4 Februari 1930“, ia menyebut bahwa Orang Darat di pulau Rempang, terlanjur disebut sebagai suku asli di wilayah Kepulauan Batam. Pada kenyataannya, mereka bukan berasal dari wilayah ini pada ratusan tahun sebelumnya.

Tidak seperti leluhurnya yang sempat mendiami beberapa wilayah di pulau Batam, mereka sudah lebih menutup aurat dengan pakaian yang lebih lengkap.
Kelompok Orang Darat di pulau Rempang memiliki akar keturunan yang sama dengan nenek moyang mereka di pulau Batam ratusan tahun sebelumnya. Yakni, kelompok orang asal tanah Celebes yang terdampar dan kemudian memutuskan untuk mengasingkan diri dalam hutan-hutan di wilayah ini.
Dalam perjalanannya ke pulau Rempang untuk menemui kelompok suku ini, ia mencatat bahwa Orang Darat di pulau Rempang juga merupakan suku nomaden. Tempat tinggal mereka hanya berupa pondok-pondok sederhana tanpa sekat dinding yang terbuat dari bahan seadanya.
Pada masa kunjungannya tahun 1930, ia menyebut bahwa keberadaan kelompok suku yang sama dengan masyarakat yang ditemuinya di Rempang, telah banyak yang membaur dalam hubungan pernikahan dengan orang Melayu. Terutama kelompok suku yang tinggal di pulau Batam.
Perjalanan P. Wink ke pulau Rempang, didasari keingintahuannya yang besar setelah membaca catatan perjalanan J.G. Schot pada tahun 1882 tentang keberadaan Orang Utan di Kepulauan Batam. Dari beberapa informasi yang diperolehnya saat itu, kelompok orang Utan di Kepulauan Batam, hanya tersisa di pulau Rempang. Mereka masih menjalani kehidupan yang serupa dengan para leluhurnya sejak ratusan tahun silam. Sementara kelompok serupa yang mendiami pulau Batam, telah berasimilasi dengan penduduk setempat dan berubah secara pola hidup. Mereka tidak lagi takut terhadap air yang dibenamkan ke kepala.
Perjalanan P. Wink ke pulau Rempang, dipandu seorang Batin di pulau itu yang mengaku memiliki seorang anak angkat dari kelompok suku darat di sana.
“… Batin Rempang (atau Boeton), yang telah mengangkat seorang Orang-Darat sebagai anak angkat dan memiliki pengaruh tertentu atas kelompok tersebut, berfungsi sebagai pemandu. Perjalanan dilakukan dengan sampan melalui sungai kecil di hutan bakau di selatan kampong Rempang. Setelah mencapai daratan, jalan kaki menuju ke kamp Orang-Darat, yang terdiri dari sekitar 7 gubuk yang hampir tidak dapat disebut sebagai rumah …” (P. Wink, Indische Taal, Land-en Volkenkunde. Deel.70 – Verslag van een bezoek aan de Orang-Darat van Rempang op 4 Februari 1930).
“… Sebuah foto diambil dari salah satu gubuk tersebut. Sementara itu, batin Rempang telah lebih dalam memasuki hutan untuk mencari penghuni. Setelah beberapa waktu, ia kembali dengan sekelompok pria, wanita, dan anak-anak. Mereka mendekati dengan sangat hati-hati dan harus diyakinkan berulang kali bahwa tidak ada bahaya sebelum mereka duduk. Sejumlah anjing mengikuti rombongan tersebut. Beberapa foto diambil dari orang-orang tersebut dalam kondisi cahaya yang kurang menguntungkan …”
Berkat bantuan Batin Rempang, awalnya P. Wink berhasil menemui 3 pria dan 4 wanita yang tergabung dalam kelompok tersebut di dalam hutan pulau Rempang. Namun menurutnya, masih ada beberapa lainnya yang tersebar di hutan tersebut.
“… Sisa dari suku nomaden ini terdiri dari 8 pria, yaitu Sarip, Rotjoh, Alam, Timoer, Lentok, Otah, Sindah, dan Tjano, 12 wanita, yaitu Oengkai, Timah, Okam, Djelima, Soeleh, Tjētjē, Piai, Ia, Panēh, Perak, Soebang, dan Lengah (dengan 4 wanita terakhir tersebut adalah janda), dan 16 anak (Benang, Boelan, Bintang, Oetjik, Adik, Monggoh, Kedah, Gibang, Bidik, Abak, Dadik, semuanya perempuan, dan Boental, Kanting, Toenggal, Oetoel, Akin, laki-laki)…”
Penampilan mereka digambarkan Wink lebih gelap dibanding orang Melayu pada umumnya yang tinggal di wilayah pesisir.

Serupa dengan catatan James R. Logan tentang keberadaan kelompok ini pada 1846, atau informasi dari seorang pendeta Prusia yang sempat menemui kelompok suku yang sama di hutan bagian timur Batam pada 1835, kelompok yang tersisa di pulau Rempang juga tidak memiliki pengetahuan tentang pelayaran laut. Mereka tidak memiliki sampan dan tidak melakukan penangkapan ikan.
“… Mereka paling banyak mencari kepiting (ketam) atau kerang yang dapat dimakan (sipoet lokan), yang kemudian diperdagangkan dengan orang Cina untuk mendapatkan makanan. Ketika air pasang tinggi, mereka menggunakan produk hutan, terutama akar, sebagai alat pertukaran untuk makanan sehari-hari. Uang tampaknya tidak digunakan…”
Kontak dengan orang Cina yang membuka hutan untuk kebun-kebun di sekitarnya, telah memperkenalkan mereka dengan barang-barang seperti tembakau, korek api, dan sebagainya. Kebiasaan merokok, sepertinya juga ditularkan dari orang-orang Cina di sekitar mereka.
“… Hanya 2 dari 8 pria yang merokok. Satu-satunya kekhawatiran mereka tampaknya adalah mencari makanan. Beras masih dianggap sebagai barang yang diinginkan, tetapi tidak selalu tersedia. Tidak ada larangan untuk makan daging hewan. Daging babi, daging monyet (terutama dari monyet lotong), dan daging ular besar dimakan. Hanya ular berbisa yang dihindari. Orang-orang Darat adalah orang-orang kafir. Meskipun mereka tampaknya mengenal konsep “Allah”, mereka menyatakan bahwa mereka tidak takut pada hal-hal yang tidak dapat mereka lihat dengan mata kepala sendiri. Mereka juga menyatakan bahwa mereka tidak takut pada hantu (hantoe). Namun, mereka memiliki kepercayaan pada leluhur yang didasarkan pada ketakutan akan balas dendam dari orang-orang yang telah meninggal.“
Ada kebiasaan menarik yang dilakukan kelompok orang darat di pulau Rempang yang serupa dengan kelompok masyarakat lain di nusantara. Yakni peringatan 7, 40, dan 100 hari setelah kematian kerabat mereka. Kebiasaan ini menjelaskan bahwa pada masa yang lalu, nenek moyang mereka pernah terhubung dengan kelompok masyarakat lain di Nusantara.
“… kemudian secara tidak teratur, mereka melakukan persembahan pada kuburan orang yang telah meninggal dengan membawa makanan dan memanggil orang yang telah meninggal: “Hoen, makan!” Pernikahan tampaknya tidak terikat pada banyak tradisi. Mereka menikah dengan kesepakatan bersama, dan 1 atau 2 gantang beras adalah mas kawin yang dibayarkan kepada orang tua pengantin wanita. Salah satu wanita bertindak sebagai bidan saat melahirkan dan menerima sedikit uang sebagai imbalan. Plasenta dikubur. Satu-satunya penjelasan yang dapat mereka berikan untuk hal ini adalah bahwa adat telah menetapkannya demikian“. (P. Wink, Indische Taal, Land-en Volkenkunde. Deel.70 – Verslag van een bezoek aan de Orang-Darat van Rempang op 4 Februari 1930).
Dalam kunjungannya, P. Wink mencatat bahwa kelompok masyarakat yang hidup mengisolasi di wilayah ini, tidak mengenal hukuman atas tindakan kejahatan yang dilakukan.Tidak pernah ada tindakan kriminal yang dilakukan. Pembunuhan, penganiayaan, dan pertengkaran tidak pernah terjadi.
Kelompok masyarakat ini juga tidak memiliki pemimpin dengan gelar sendiri yang diketahui. Orang tertua yang bernama Sarip, dilaporkan P. Wink, bertindak sebagai pemimpin yang dihormati oleh yang lain.
Sarip juga merupakan juru bicara saat bertemu Wink. Ia membuat kesan yang kuat, tetapi tampaknya memiliki inteligensi yang lebih tinggi daripada anggota suku lainnya. Meskipun ia tampaknya sangat mempertahankan gaya hidup yang telah diikuti sejak lama.
Masyarakat suku darat di pulau Rempang, diketahui juga tidak memiliki dan mengetahui sistem penanggalan seperti yang lazim digunakan. Mereka tidak mengenal nama-nama bulan atau hari.
“Kelompok ini secara perlahan-lahan mengalami kemunduran. Menurut Sarip, orang tertua di kelompok ini, di Rempang pada masa mudanya, sekitar 30-40 tahun yang lalu, masih ada sekitar 300 jiwa. Tetapi jumlah tersebut telah berkurang menjadi 36 jiwa. Tampaknya tidak mustahil untuk memberikan tempat tinggal bagi sisa kelompok tersebut di kampong Rempang setelah kematian Sarip,” sebut P. Wink.

Bahasa Orang-Darat yang dituturkan mereka, terlihat seperti bahasa Melayu. Tetapi, cara pengucapan dan penggunaan beberapa kata, ada yang kurang umum terdengar. Seperti merupakan dialek yang terpisah dari bahasa Melayu pada umumnya. Salah satu kata yang kurang umum digunakan dalam bahasa Melayu namun sering disebutkan kelompok ini adalah “poendoeng” yang berarti “gubuk”.
Tentang sebutan Orang Utan yang dilekatkan pada mereka oleh masyarakat pesisir, menurut P Wink, mereka menolaknya. Menurut Sarip, orang tertua di antara mereka, penyebutan itu seperti menyamakan mereka dengan monyet atau Lutung.
Penyebutan serupa oleh masyarakat pesisir, juga ditolak oleh leluhur mereka yang sempat mendiami wilayah hutan di sekitar teluk Senimba dan Moeka Koening puluhan tahun sebelumnya.
Orang Darat di Kemudian Hari
HAMPIR seratus tahun setelah kunjungan P. Wink yang melaporkan tentang keberadaan suku hutan yang mengisolasi di pulau Rempang, keberadaan masyarakat tersebut, masih bisa ditemui hingga kini.
Namun seiring zaman, kehidupan mereka sudah menetap di sekitar Sungai Sadap. Walau masih terlihat sederhana, tempat tinggal mereka tidak lagi berupa poendoeng-poendoeng dengan dinding terbuka. Namun, sudah berupa pondok yang lebih tertutup. Beberapa di antara mereka juga sudah ada yang menghuni bangunan rumah permanen bantuan pemerintah.

Seorang warga Batam bernama Imbalo Iman Sakti yang juga menggerakkan kegiatan sosial, sering mengunjungi kelompok suku ini dari waktu ke waktu.
Imbalo Iman Sakti yang berpulang pada tahun 2024 lalu, juga dikenal dekat dengan kelompok orang suku darat di pulau Rempang.
Pada tahun 2010, misalnya. Ia menemui kelompok suku ini di sekitar hulu sungai Sadap di pulau Rempang. Hanya tinggal beberapa kepala keluarga saja yang tersisa. Salah satu yang tertua disebut bernama pak Manan. Nama aslinya adalah Kosot sebelum resmi memeluk agama Islam.

Dalam sebuah catatannya, ia menulis bahwa di sekitar lokasi itu, dahulunya juga tempat bermukim seorang Batin (seperti Penghulu pada zaman dahulu). Batin tersebutlah yang kemudian membimbing kelompok orang suku darat yang tersisa untuk bermukim di kampung Sadap. Mereka juga diislamkan dan mulai menjalani kehidupan layaknya warga Melayu lainnya. Walau tetap mempertahankan kebiasaan hidup lama, menggantungkan hidup pada hutan di sekitarnya.
“… Konon kabarnya keluarga tok Batin inilah yang mengislamkan orang orang suku asli tadi, jauh sebelum ada jembatan barelang yang menghubungkan 7 pulau menjadi satu. Jadi waktu itu hubungan ke pulau pulau dimaksud melalui laut. Dan sebelumnya pun Cate dibawah pemerintahan Tanjung Pinang …” (Imbalo Iman Sakti, 2010).

Menurut Imbalo, sebelum ada jembatan yang menghubungkan antara Batam – Rempang – Galang – Galang Baru, kehidupan ekonomi antara orang kampung Cate dengan suku hutan dilakukan dengan sistem barter.
“Mereka meletakkan barang barang yang akan ditukar di pinggir jalan setapak yang sering dilalui”
Walau masih memilih tinggal mengisolasi dari kelompok masyarakat lainnya, dalam catatan Imbalo Iman Sakti pada tahun 2010, kelompok masyarakat suku Darat yang tinggal di Hulu Sungai Sadap sudah mengenal tradisi bercocok tanam. Mereka sudah mengupayakan lahan hutan di sekitarnya sebagai perkebunan. Tanaman ubi adalah yang paling umum ditanam.
Orang tertua yang diketahui ada di sana saat itu bernama pak Manan alias pak Kosot. Ia tinggal di sebuah gubuk sederhana bersama isterinya yang sakit. Selain itu, ada anaknya yang bernama pak Lamat, berusia 60 tahun. Warga suku darat lain yang dicatatkan oleh Imbalo adalah pak Bujang, anak pak Manan lainnya dengan anaknya, Takong yang baru beberapa tahun ini menikah.
JUMLAH suku Darat yang mendiami kampung Sadap di pulau Rempang, dilaporkan makin menyusut dari tahun ke tahun. Jumlah mereka dilaporkan tinggal bersisa lima warga saja pada tahun 2023. Pak Lamat menjadi yang tertua yang ada di kampung itu.
Menurut catatan Imbalo Iman Sakti pada 2019, Pak Kosot dan isterinya sudah lama meninggal dunia.
“… Sebagian anak cucunya berpindah ke daerah lain mencari nafkah. Tak cukup lagi hasil hutan didapat dari kebun dan daerah itu, hanya tertinggal beberapa phon durian dan pohon kelapa dan pinang. Pokok ubi yang ditanam pun enggan berbuah, kurang pupuk dan air tak cukup. Tanah disekitarnya tak bisa menyerap dan menyimpan air hujan …” (Imbalo Iman Sakti – 2019).
Rumah yang dulu ditempati pak Kosot sudah tidak berbekas. Sementara sebuah rumah permanen yang dulu dibangun pemerintah, masih ditempati cucunya. Namun, kondisinya sudah tidak baik lagi. Alang alang dan rumput liar memenuhi halaman. Plafon juga sudah rubuh. Begitu pula daun pintu dan jendela.
Sementara di sekitar kampung tempat tinggal mereka, mulai terdengar deru traktor-traktor yang membuka wilayah hutan di sekitarnya. Seperti mengepung generasi terakhir ‘Orang dari tanah Celebes’ tersebut di pulau Rempang. Generasi terakhir dari mereka yang terdampar ratusan tahun lalu di wilayah kepulauan Batam.
Setelah kelompok Orang Sabimba, Tring Bumban’ dan Moeka Koening yang tidak diketahui lagi jejaknya, generasi terakhir yang kini mendiami wilayah kampung Sadap di pulau Rempang, sepertinya juga sedang menuju kepunahan.
(*)
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Artikel ini diterbitkan sebelumnya di: bintorosuryo.com