DI sebuah dusun di Chiang Dao, Thailand Utara, saya menemukan pagi yang nyaris sempurna. Di lereng gunung Doi Chiang Dao, 7 Desember itu, pagi berupa langit yang redup oleh selimut kabut, lolong anjing yang bersahutan dengan kokok ayam, serta kikkrik.. jangkrik malam yang sepertinya terlambat membunyikan suara.
Oleh: Sultan Yohana
SESEKALI nyaring suara lonceng kuil di ujung jauh sana, terdengar hingga pondokan sederhana yang kami sewa. Saya memang punya kebiasaan bangun pagi, dan sambal menunggu air mendidih dari termos, saya ingin hanya duduk mematung di bangku kayu teras pondok. Memandangi kabut serta merekam semua suara yang sampai ke gendang telinga saya.
Tidak ada HP. Tidak ada suara kendaraan bermotor. Tidak ada teriakan emak-emak memaksa bangun anak-anaknya. Tidak ada suara batuk-batuk mengguk orangtua. Tidak ada musik. Hal-hal yang biasa saya dengar di rumah susun kami di Singapura.
Lama sekali saya duduk mematung, dan melamun. Tak tergerak untuk melakukan apa-apa. Ini sungguh “ajaib” bagi saya. Di luar kebiasaan. Asap yang keluar dari mulut dan hidung setiap kali bernafas, melemparkan saya pada pagi-pagi sempurna saat saya masih bocah, puluhan tahun silam.
Di Singosari, Malang. Ketika itu, saya biasa akan berebut dengan Irma, kakak perempuan saya, untuk siapa yang duluan memakai kamar mandi. Dengan air sedingin es, kami mandi dengan buru-buru. Untuk kemudian ganti seragam sekolah, dan duduk di depan tungku kayu bakar pawon untuk menghangatkan tubuh sembari menyesap kopi yang dibuat nenek dari mug besar berbahan kaleng, yang dari sana, semua anggota keluarga meminumnya lewat lepek secara bergiliran.
Kopi panas memang satu-satunya sarapan keluarga kami ketika itu. Tidak ada roti lapis, tidak ada nasi goreng, tidak ada Indomie rebus. Lalu, dengan bergegas, kami akan jalan kaki sejauh kurang lebih dua kilo, untuk sampai di sekolah. Dengan riang, sambil memainkan asap yang keluar dari mulut dan hidung kami.
Tapi Singosari kini tak sedingin dulu. Bahkan Batu, kota di atas Singosari yang dulu udara dinginnya sanggup membekukan sendi, warganya kini sudah mulai berlomba-lomba memasang mesin pendingin udara di rumah mereka. Hal yang tidak akan Anda temui 30 tahun silam.
Perubahan iklim memang nyata! Kerusakan alam nyata. Dan itu semua itu karena gaya hidup HEDON kita.
Satu-satunya solusi memerangi perubahan itu, ya, menyederhanakan apa saja hidup kita.
Kembali ke dusun di Chiang Dao. Dusun yang harus kami tempuh dengan perjalanan kereta api selama 10 jam dari Bangkok, disambung kemudian dengan bus selama dua jam, serta diakhiri dengan menumpang opelet kuning yang disopiri perempuan tua untuk sampai di pondokan yang kami sewa. Nyaris tiga jam saya hanya duduk mematung tak melakukan apa-apa. Hanya memandangi kabut dan melamun. Menikmati udara bersih.
Menikmati lamunan. Menikmati apa saja ingatan yang muncul di kepala. Kopi yang sudah saya racik, semakin menyempurnakan pagi itu. Saya bahkan nyaris tak ingat untuk memainkan HP, hal yang telah menjadi kebiasaan tiap pagi. Saya tidak ingin tahu ada berita apa pagi itu. Saya tidak ingin tahu apa ada dagangan di marketplace. Saya tidak ingin tahu apa kabar-kabar kawan atau sanak saudara. Pagi itu, saya tidak ingin tahu apa-apa. Saya ingin terbebas dari apa-apa. Dan saya bisa melakukannya, nyaris selama tiga jam lamanya.
Kokok ayam, goggongan anjing semakin berkurang. Tapi kabut tetap ngotot menyelimuti dusun. Perempuan paruh baya, pemilik pondokan muncul, tersenyum, serta mengucapkan “good morning…” Sebentar kemudian ia datang ke pondokan kami, membawa sarapan terbaik yang pernah saya makan, setidaknya dalam lima tahun terakhir: sebakul nasi, lalapan aneka sayur dan sambal ala Thailand, tomyam jamur, ayam goreng, aneka irisan buah, serta semangkuk kecil puding alpukat dan cincau.
Pagi itu terasa nyaris sempurna. Justru ketika saya TAK INGIN APA-APA. Hanya duduk mematung, menikmati apa saja yang DATANG ke saya.
(*)
Penulis/ Vlogger : Sultan Yohana, Citizen Indonesia berdomisili di Singapura. Menulis di berbagai platform, mengelola blog www.sultanyohana.id


