PEMERINTAHAN oleh Batin di wilayah Batam pada masa sebelum kolonial Belanda adalah suatu sistem pemerintahan tradisional Melayu yang disebut dengan “adat”. Adat ini mencakup banyak aspek kehidupan masyarakat, termasuk pemerintahan, agama, kebudayaan, dan adat istiadat.
Batin merupakan figur penting yang memiliki peran dalam pemerintahan dan kehidupan masyarakat di sekitar perairan Batam pada masa lalu. Mereka umumnya dikenal sebagai pemimpin atau tokoh adat yang dipilih dari kalangan masyarakat setempat untuk memimpin dan mengatur urusan adat dan kehidupan masyarakat di wilayah masing-masing.
Seorang Batin adalah seorang pemimpin lokal yang dipilih oleh masyarakat setempat dan diberi kepercayaan untuk memimpin wilayahnya. Tugas utama seorang Batin adalah menjaga keamanan dan ketertiban di wilayahnya, mengatur pembagian tanah, menyelesaikan sengketa, serta menyelesaikan masalah-masalah sosial dan budaya di wilayah mereka.
Selain itu, seorang Batin juga bertanggung jawab atas pemerintahan di wilayahnya, termasuk memungut pajak dan menyediakan kebutuhan dasar seperti air, pangan, dan pakaian bagi penduduk. Batin juga berperan sebagai pemimpin adat dan agama, serta menjaga kesatuan dan keharmonisan masyarakat di wilayahnya.
Sistem pemerintahan oleh Batin ini, banyak diterapkan di berbagai wilayah di Indonesia pada masa silam. Khususnya di wilayah-wilayah yang memiliki sejarah dan budaya Melayu yang kuat.
Sejarah Pulau Batam sebelum masa kolonial Belanda, tidak tercatat secara rinci. Informasi lebih banyak disampaikan secara turun temurun secara lisan. Namun, beberapa sumber seperti buku “Sejarah Kepulauan Riau” karya R. Ali Wardhana dan beberapa buku sejarah lainnya yang membahas tentang Kesultanan Johor-Riau dan wilayah-wilayah kekuasaannya termasuk Batam menyebut, pada masa Kesultanan Johor-Riau, Pulau Batam sudah dibagi menjadi beberapa wilayah kecil yang dipimpin oleh seorang Batin.
Beberapa Batin yang pernah memimpin di wilayah Batam pada masa lalu di antaranya adalah Batin Abdul Karim, Batin Amir, dan Batin Kecik.
Pada tahun 1824, ketika Belanda dan Inggris menandatangani perjanjian yang dikenal sebagai Perjanjian London yang mengatur pembagian wilayah kekuasaan di Asia Tenggara, wilayah Kesultanan Johor-Riau, termasuk Pulau Batam, dikuasai oleh Belanda.
Kondisi itu berpengaruh pada sistem tata pemerintahan masyarakatnya. wilayah perairan dan pulau sekitar Batam saat itu diatur oleh wedana atau kepala daerah yang ditunjuk oleh pemerintah Hindia Belanda. Wedana bertanggung jawab atas administrasi dan keamanan wilayah mereka.
Sementara pemerintahan adat Batin tetap diakui dan memegang peranan penting dalam pemerintahan di masyarakat. Mereka berperan sebagai perpanjangan tangan pemerintah kolonial dalam mengatur dan menjaga keamanan di wilayahnya. Beberapa Batin terkenal yang memimpin di Batam pada masa kolonial Belanda antara lain Batin Sulaiman, Batin Miskin, dan Batin Harun.
Pemerintahan adat ini bahkan terus hidup dan diakui pada masa awal penjajahan Belanda. Sebelum diberlakukannya IGOB (Inlandsche Gemente Ordonantie Buitengewesten), yaitu peraturan pemerintahan desa di luar Jawa dan Madura, memang sudah dikenal pemerintahan setingkat desa dengan nama Marga atau Batin.
Hal itu diatur menurut Ordonansi Desa 1906.
Di wilayah yang maju berdasarkan ordonansi itu, ditetapkan marga dan batin diberi hak otonomi yang meliputi bidang pemerintahan umum, pengadilan, kepolisian, dan sumber keuangan. Pemerintahan adatnya juga dibantu oleh juru tulis dan Kepala Pesuruh Marga atau Batin.
Di sekitar wilayah pulau Rempang dan Galang, seorang Batin yang cukup dikenal oleh masyarakat bernama Batin Bidin. Salah satu keturunannya sempat menjabat di posisi birokrat pemerintahan kota Batam sampai beberapa tahun lalu, Muslim Bidin.
Rahman, seorang Ketua RW di Tanjung Gundap, Batam yang sempat ditemui tim GoWest Indonesia beberapa waktu lalu juga mengakui adanya model pemerintahan adat seperti itu pada masa silam.
Walaupun tidak sama persis karena disesuaikan dengan kondisi masing-masing wilayah, secara umum pemerintahan oleh para Batin dikenal oleh masyarakat Kepulauan Riau, bahkan hingga ke Riau dan Jambi.
“Batin terakhir yang saya ingat di sekitar sini, namanya Batin Bidin”, kata Rahman.
Pada perkembangan selanjutnya setelah kemerdekaan Indonesia, secara umum, pemerintahan oleh para Batin ini mulai diubah menjadi pemerintahan Desa.
Walau begitu menurut Rahman, model dan tata cara pengelolaannya, masih banyak yang mengadopsi pemerintahan batin. Misalnya tentang penetapan para pemimpinnya yang tetap didasarkan pada orang yang memiliki keilmuan/ batin lebih tinggi dan keturunannya untuk memerintah dan dijalankan dengan landasan adat Melayu-Islam.
”Seperti itu masih ada di sini sampai pemerintahan zaman orde baru, pak Soeharto. Setelah pak Soeharto itu, tak ada lagi, diganti menjadi lurah. Pemimpinnya dikirim (ditunjuk, pen) oleh pemerintah,” terang Rahman.
(ham)