NICO Prakasa Anandadea, yang baru saja lulus dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, berharap bisa mendapatkan pekerjaan yang memungkinkan dirinya membangun karir yang stabil.
SETELAH menghabiskan lima bulan di Jerman sebagai mahasiswa pertukaran pada 2022, dia mulai mencari cara untuk kembali ke sana—kali ini, untuk bekerja dan mungkin bahkan menetap secara permanen.
“Menurut saya, kondisi politik, sosial, ekonomi Indonesia belum baik,” kata Nico, 24, kepada BenarNews.
Nico tidak sendirian. Di seluruh Indonesia, para profesional muda mengungkapkan kekecewaan mereka terhadap upah yang stagnan, terbatasnya peluang kerja, dan ketidakpastian masa depan ekonomi.

Dalam beberapa pekan terakhir, ketidakpuasan mereka terkristalisasi dalam sebuah gerakan media sosial yang viral: #KaburAjaDulu.
Hashtag ini telah menjadi seruan bagi orang Indonesia yang mempertimbangkan untuk meninggalkan negara mereka demi mencari upah yang lebih baik dan prospek karir yang lebih cerah di luar negeri.
Bagi banyak orang, ini bukan hanya tentang keamanan finansial, tetapi juga tentang kurangnya mobilitas ke atas dan menurunnya layanan publik.
Dengan populasi hampir 280 juta, Indonesia adalah ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan telah lama bergantung pada tenaga kerja muda dan berkembang sebagai penggerak utama pembangunan.
Namun, negara ini kesulitan menciptakan cukup banyak pekerjaan dengan gaji yang layak untuk pekerja terdidik.

Tingkat pengangguran pemuda tetap tinggi, mencapai 17,32% untuk warga negara Indonesia berusia 15 hingga 24 tahun pada Agustus 2024—lebih dari tiga kali lipat dari tingkat pengangguran nasional yang sebesar 4,82%, menurut statistik pemerintah.
Bahkan bagi mereka yang mendapatkan pekerjaan, upah yang rendah, ketidakamanan pekerjaan, dan perlindungan tenaga kerja yang buruk membuat hidup menjadi sulit.
Sementara itu, negara-negara tetangga seperti Singapura dan Australia menawarkan upah yang lebih tinggi, kondisi kerja yang lebih baik, dan jalur kemajuan karir yang lebih jelas, menjadikannya tujuan yang menarik bagi pekerja terampil asal Indonesia.
“Ini adalah refleksi keresahan sosial yang semakin dalam, terutama di kalangan anak muda,” kata El Bram Apriyanto, seorang peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), kepada BenarNews.
“Minimnya peluang kerja, gaji yang tidak sebanding dengan biaya hidup, serta ketidakpastian ekonomi mendorong munculnya keinginan untuk mencari kehidupan lebih stabil di luar negeri,” kata Apriyanto.

Munculnya #KaburAjaDulu terjadi pada saat ketidakpastian politik dan ekonomi yang meningkat. Presiden Prabowo Subianto, yang dilantik pada bulan Oktober, telah memulai pemotongan anggaran, termasuk pengurangan dana untuk pendidikan dan pelatihan vokasi.
Analis mengatakan bahwa langkah-langkah seperti ini bisa semakin membatasi prospek kerja bagi para pekerja muda.
“Melihat struktur anggaran yang dipublikasikan pemerintah, pemotongan tidak untuk pelayanan publik seperti kesehatan dan pendidikan. Maka, pemerintah mau buat apa?” kata Almas Sjafrina, seorang peneliti di Indonesia Corruption Watch (ICW), sebuah lembaga pengawas swasta, dalam sebuah diskusi pada hari Rabu.
“Dengan tidak adanya jaminan anggaran untuk layanan publik, ini akan menjadi bumerang bagi pemerintah di masa mendatang, terutama dalam mewujudkan apa yang mereka cita-citakan, Indonesia Emas 2045.” tambahnya, yang merujuk pada visi nasional negara untuk menjadi negara berpendapatan tinggi dan maju pada 100 tahun kemerdekaannya di tahun 2045.

Sementara itu, Indonesia sedang menghadapi gelombang pemutusan hubungan kerja sepanjang tahun 2024, dengan 80.000 pekerja kehilangan pekerjaan mereka, menurut data dari Kementerian Ketenagakerjaan.
Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang mencatatkan sekitar 60.000 pemutusan hubungan kerja.
Meskipun Indonesia telah lama mendorong migrasi tenaga kerja—jutaan warganya bekerja di luar negeri di sektor konstruksi, pekerjaan rumah tangga, dan perawatan, terutama di Malaysia dan Timur Tengah—para ahli mencatat bahwa gelombang minat emigrasi kali ini berbeda.
“Ada perubahan tren, enggak lagi yang berketerampilan rendah tapi kelas menengah,” kata Dominique Nicky Fahrizal, seorang analis politik di Centre for Strategic and International Studies.
Platform pemantauan media sosial Drone Emprit pertama kali mendeteksi #KaburAjaDulu di X (sebelumnya Twitter) pada 8 Januari, meskipun baru viral enam hari kemudian.
Ismail Fahmi, pendiri Drone Emprit, mencatat bahwa hashtag ini digunakan sebagai reaksi terhadap kondisi ekonomi di Indonesia, dengan pengguna berharap mendapatkan prospek pekerjaan, upah, dan pengalaman hidup yang lebih baik di luar negeri.
“Kekecewaan publik berasal dari berbagai faktor, termasuk ketidakpuasan ekonomi, menurunnya kualitas hidup, ketidakadilan sosial, kebijakan pemerintah yang tidak memadai, dan harpoon akan masa depan yang lebih baik,” kata Fahmi.
‘Brain drain’
Luhut Pandjaitan, kepala Dewan Ekonomi Nasional, sebuah badan penasihat pemerintah, meminta publik untuk tidak terburu-buru mengkritik pemerintahan Prabowo, mengingat pemerintahan ini masih dalam tahap awal.
“Pemerintahan ini baru berusia 100 hari. Jangan terlalu terburu-buru,” kata Luhut kepada wartawan.

Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer menanggapi fenomena ini dengan sikap mengejek, mengatakan kepada wartawan: “Kalau mau pergi, ya pergi saja. Kalau bisa, jangan kembali.”
Tanggapan ini memicu kemarahan orang Indonesia.
“Apakah orang-orang ini berpikir dulu sebelum berbicara? Jika semua orang berbakat pergi, siapa yang akan tersisa untuk menjalankan negara di masa depan? Pikiran cemerlang yang seharusnya diberdayakan justru memilih pergi ke luar negeri—dan mereka malah mengeluarkan komentar seperti ini?” tulis seorang pengguna di X, sebelumnya Twitter.
Alih-alih mengabaikan tren ini, peneliti BRIN Apriyanto berpendapat bahwa pemerintah harus mendukung para profesional yang bekerja di luar negeri karena kiriman uang dari pekerja luar negeri memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia.
“Hal itu berpotensi memberi manfaat lebih besar daripada hanya mengandalkan pekerja migran sektor domestik yang lebih rentan terhadap risiko dan masalah sosial,” katanya.
Pemuda Indonesia secara aktif mencari cara untuk mengubah frustrasi mereka di media sosial menjadi peluang nyata di luar negeri.
“Sudah ada beberapa yang bertanya [kepada saya] soal bagaimana cara hidup di Jerman atau persiapan apa saja yang diperlukan agar bisa mendapat pekerjaan di Jerman.” kata Citra Listya Rini, 40, seorang mahasiswa Indonesia yang telah tinggal di sana selama dua tahun.
Dia tidak berencana untuk kembali ke rumah setelah menyelesaikan studinya.
“Sah-sah saja. Mungkin mereka juga banyak pertimbangan atau ketikdakpuasan dengan hidup mereka di Indonesia,” kata Citra kepada BenarNews.