KEPUTUSAN pengadilan yang memerintahkan dua perusahaan farmasi membayar uang ganti bernilai kecil dalam skandal sirup obat batuk yang menewaskan sekitar 200 anak-anak memicu kemarahan dan kesedihan keluarga korban.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Kamis memerintahkan PT Afi Farma Pharmaceutical Industries, dan CV Samudera Chemical untuk membayar Rp50 juta kepada keluarga korban yang telah meninggal dan Rp60 juta bagi korban gagal ginjal yang masih dalam pengobatan.
“Saya baru tahu tadi isinya, dan saya tidak berhenti menangis sejak tadi, kecewa, sedih dan saya merasa sangat tidak adil sekali,” kata Desi Permata Sari, ibu dari Sheena Almaera Maryam yang menderita gagal ginjal akibat minum obat yang terkontaminasi bahan beracun.
Sheena, yang masih berusia 6 tahun, hingga kini masih menjalani rawat jalan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Kasus obat beracun terungkap pada akhir 2022 ketika ratusan anak jatuh sakit dengan gagal ginjal akut, yang kemudian dikaitkan dengan sirup obat batuk yang terkontaminasi. Krisis ini memicu kepanikan nasional dan penarikan besar-besaran obat-obatan.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, jumlah kasus gagal ginjal akut pada anak di Indonesia mencapai 324 orang, dengan lebih dari 200 anak meninggal dunia. Korban kebanyakan berusia 1 tahun hingga 5 tahun.
Dalam gugatan yang dilayangkan akhir Desember 2022 itu, pihak penggugat meminta ganti rugi sebesar Rp3 miliar untuk pihak keluarga korban meninggal dunia dan Rp2 miliar bagi korban yang menderita cacat dan sakit.
Tahun lalu, empat pejabat dari perusahaan produsen CV Samudera Chemical dan CV Anugerah Perdana Gemilang terbukti telah mencampurkan cairan kimia berbahaya dan telah dijatuhi 10 tahun penjara dalam kasus pidana terpisah.
Sementara dua pejabat dari PT Afi Farma Pharmacheutical Industries dijatuhi 2 tahun penjara karena kelalaian mencampur bahan kimia tersebut dan gagal mendeteksi bahan berbahaya tersebut.
Sheena yang ketika itu masih berusia 4 tahun itu divonis gagal ginjal akut setelah mengonsumsi obat penurun panas yang diresepkan oleh fasilitas kesehatan. Sheena berjuang di NICU selama hampir 2 bulan lamanya dan memaksanya harus cuci darah setiap minggu. Tubuhnya terbujur kaku saat itu, tidak merespon.
Hingga kini, keadaan Sheena masih terbaring di tempat tidur, dengan alat trakeostomi dan selang oksigen yang terus terpasang. “Ia tak bisa berbicara, tubuhnya kaku, dan hanya bisa rebahan,” kata Desi terisak.
“Nilai ganti rugi sangat jauh sekali dari yang kami butuhkan. Bukan perkara uang. Tapi nyawa anak-anak sudah tidak ada artinya,” ujar dia.
Desi harus menjual rumah dan harta benda untuk bisa mengobati Sheena yang masih harus kontrol satu hingga dua minggu sekali ke rumah sakit. Sesekali ia harus membeli obat khusus, alat medis dan susu khusus yang hanya disediakan pihak rumah sakit.
“Apapun resikonya saya akan banding, saya ingin hakim melihat dengan hati nurani mereka. Ke mana hati nurani mereka saat melihat kondisi anak-anak begini?” kata dia lagi.
Pendapat sama diutarakan orangtua korban gagal ginjal akut, Safitri Puspa, 42. Putranya, Panghegar Bhumi Al Abrar Nugraha, 8, meninggal di rumah sakit pada 15 Oktober 2022 setelah sempat menjalani cuci darah.
“Kami sangat luar biasa kecewa. Ini sangat menyakitkan dan menjatuhkan kita. Di mana logika mereka,” kata Safitri kepada BenarNews.
“Anak kita tidak bisa tergantikan memang dengan uang, namun dengan nominal seperti putusan malah semakin menjatuhkan kita lagi. Kami menuntut ganti rugi bukan sekedar santunan seperti orang melayat,” kata dia.
Namun untuk langkah selanjutnya, ia mengatakan belum bisa memutuskan dan sedang membicarakannya dengan tim pengacara.
Siti Habiba, kuasa hukum penggugat, menyatakan kekecewaan terhadap putusan hakim.
“Ini sangat berbeda dengan apa yang kami gugat. Kami mintakan ganti kerugian atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan swasta produsen dan supplier dan juga oleh Kementerian Kesehatan dan juga Badan Pengawas Obat dan Makanan,” kata dia kepada BenarNews.
“Namun kami amati, nggak ada yang menyebut BPOM dan Kemenkes,” ujarnya.
“Hasil ini seolah menunjukkan hakim tidak mendengarkan keterangan saksi, tidak terjawab keinginan kami. [Gugatan ini] tidak selalu soal nominal tapi perbaikan sistem,” kata dia.
Tidak adil
Kuasa hukum PT Afi Farma, Reza Wendra Prayogo, mengatakan kecewa karena putusan itu yang hanya menempatkan dua produsen sebagai pihak yang bersalah.
“Menurut kami banyak faktor yang tidak dipertimbangkan,” ujarnya.
“Kan ada BPOM yang mengatur peredaran obat. Kenapa yang lain tidak dihukum juga apa karena pemerintah sudah kasih uang santunan?” kata dia.
Ia menegaskan, selama ini, PT Afi Farma telah menjalani prosedur sesuai aturan yang ditetapkan pemerintah, termasuk sertifikat cara pembuatan obat yang baik and izin edar.
“Tanpa mengurangi rasa simpati kami terhadap para korban, kami merasa selama ini sudah taat hukum sesuai dengan aturan yang berlaku,” kata dia
Sementara CV Samudera Chemical tak bisa dihubungi. Sejak awal, salah satu tergugat tersebut tak pernah hadir dan melepaskan haknya untuk membela diri.