SAYA datang dua jam lebih cepat untuk sebuah janjian di jam 11 pagi. Di daerah Raffles, Singapura. Bukan… bukan! Saya tidak salah menghitung waktu.
Oleh : Sultan Yohana
————
RENCANANYA, Rabu pagi itu, saya keluar rumah lebih awal ingin memotret jalanan pusat bisnis Singapura itu. Dua jam, saya perkirakan, cukup untuk memotret pagi. Tapi entah kenapa, pagi itu seluruh kemalasan tiba-tiba mendatangi saya. Saya memilih langsung saja pergi ke tempat janjian. Ketemu Mark, seorang penjual kamera.
Tapi, waktu memang tidak pernah merugikan orang-orang bermata jelalatan seperti saya. Saya percaya, selalu ada yang bisa “dibaca”, manakala kita seksama memperhatikan sekeliling kita. Seperti pagi itu, ketika perhatian saya tertuju pada seorang ibu lanjut usia pengecer tisu.
Berdiri sekitar lima meter dari pintu utama CIMB Plaza, ia seperti malu-malu menjajakan dagangannya. Dari tempat saya duduk menikmati pagi yang sangat sibuk itu, sekitar sepuluh meter darinya, saya memperhatikan ia lebih banyak menyembunyikan wajahnya ketimbang menarik orang untuk membeli. Sebagaimana umumnya penjual tisu, yang entah kenapa, sekarang kian banyak muncul di mana-mana di seantero Singapura. Kebanyakan orang berkebutuhan khusus dan para lanjut usia.
Pagi itu, lalu-lalang pekerja kantoran seperti tidak ada habisnya. Sebagian besar keluar dari stasiun MRT bawah tanah. Seperti laron seusai hujan, mereka mrudul dari tiga pintu utama stasiun, untuk kemudian dengan cara jalan mereka yang bergegas, masuk ke gedung-gedung tinggi yang memang mendominasi daerah Raffles. Masuk ke kantor-kantor bank multinasional. Ke kantor asuransi. Ke hotel-hotel nomor satu. Ke pusat-pusat belanja.
Raffles memang sebuah central business district yang paling tersohor di Singapura. Di sini bukan tempat turis, meski dekat dengan patung Merlion atau Marina Bay. Raffles seperti didesain khusus untuk orang-orang kantoran muda; yang wangi-wangi, langsing, dengan jam tangan mahal di pergelangan mereka, serte ola mata bola mata yang penuh dengan ambisi menguasai dunia. Raffles adalah kesombongan sekaligus denyut nadi ekonomi Singapura.
Raffles adalah sebenar-benarnya Singapura itu sendiri; kapitalistik yang sangat ambisius!
Orchard Road, tempat terkenal lainnya di Singapura, mungkin Anda tidak merasa minder saat jalan-jalan cuci mata di sana. Sekalipun itu sekedar numpang lewat dan melongokkan kepala di butik-butik mewah. Ada banyak turis senada kita di sana. Yang mungkin sama gembelnya, sama tidak punya uangnya, sama tidak menariknya. Tapi, Anda tidak bisa merasa demikian di Raffles.
Di sana, Anda mungkin akan diterkam dengan ganas oleh sindrom rendah diri. Ketika melihat orang-orang di sana, berpenampilan “sempurna” dan isi kepala yang tidak bisa diremehkan siapa saja. Di Raffles, hal terpenting untuk bisa mengalahkan sindrom rendah diri itu, adalah dengan pura-pura menyombongkan diri juga.
Kadang, kesombongan memang harus dilawan dengan kesombongan
Kesombongan itu yang mungkin tidak dimiliki ibu pengecer tisu yang mangkal di pintu CIMB Plaza. Ia tampak seperti sangat tidak percaya diri. Juga berbeda dengan kebanyakan pengecer-pengecer tisu yang biasa sering ada di keramaian Singapura. Ia rapih dan sepertinya tahu bagaimana memadukan busana. Sweater rajutan abu-abu yang membalut tubuh kurusnya, potongannya tidak seperti sweater murahan.
Begitu juga celana sepertiga berwarna senada yang ia kenakan. Sepatu kulit hak sedang yang ia kenakan, kian menambah kesan, pengetahuan fashionnya tidak bisa diremehkan. Sebagian wajahnya tertutup masker. Rambut kelabunya, terpotong pendek dan rapih. Bahkan tongkat yang menyangga tubuhnya, terkesan bukan tongkat sembarang. Jika bukan tas plastik merah besar berisi tisu-tisu dagangannya yang tergantung di lengan kirinya, orang-orang mungkin beranggapan dia kebanyakan perempuan mapan Singapura lainnya yang tak butuh uang, karena setiap orang Singapura punya uang pensiunan.
Sesekali mulutnya berteriak lirih, ketika ada orang lewat di depannya. Tapi, sepertinya tidak ada yang peduli. Sepanjang saya memperhatikannya, sekitar setengah jam awal, tidak ada satupun orang yang datang membeli dagangannya. Orang-orang kantoran yang melewatinya, seperti tak menyadari keberadaannya, ia seperti tak ada. Angkuh dengan cara jalan mereka yang cepat dan anggun, serta wajah-wajah yang selalu dihadapkan ke depan. Si pengecer tisu yang seperti kian tak percaya diri itu, kemudian menggeser tempat berdirinya beberapa meter, menjauhi pintu masuk CIMB Plaza. Keputusan yang justru membuatnya kian tak mendapat cukup perhatian dari lalu-lalang orang.
Satu jam berikutnya, saya masih belum melihat seorangpun membeli dagangannya. Tapi ia tetap memperjuangkan paginya dengan tetap di sana. Seorang lelaki muda Melayu dengan baju kerja lapangannya, dan alat-alat elektronik di tangannya – tampaknya ia tekhnisi gedung – kemudian menghampiri si ibu. Dengan ramah ia menyodorkan selembar uang, sekaligus menolak tisu yang diberikan si ibu. Pemuda itu kemudian bergegas masuk ke dalam CIMB Plaza, meninggalkan si ibu yang terlihat gembira dengan “pembeli” pertamanya. Segembira saya melihat pemandangan itu.
Tapi kemudian, semuanya berjalan kembali seperti sediakala. Orang-orang kantoran, seperti laron yang mbrudul dari stasiun bawah tanah, begitu saja berlalu melewat ibu pengecer tisu. Tidak ada yang mempedulikannya. Raffles, kawasan yang angkuh itu, seperti tempat yang salah bagi ibu pengecer tisu, untuk berdagang. Peruntungannya mungkin akan lebih besar, seandainya ia memilih berjualan tempat yang lebih “manusiawi”. Di pasar-pasar rakyat misalnya, tempat biasa para orang biasa ada.
Si pengecer tisu itu mungin memilih Raffles, karena ia berpikir, di sana, tempat orang-orang berpenampilan “sempurna”, ia dengan mudah mendapat banyak iba. Mendapatkan keuntungan besar. Tapi setelah nyaris satu jam hanya satu orang yang mendatanginya, mungkin ia akan menarik pendapat awalnya itu. Mungkin ia kini telah berpikir, bahwa orang-orang berpenampilan “sempurna” itu, tak lebih baik dari orang-orang berpenampilan kumuh, di pasar-pasar basah, yang justru lebih mudah mengulurkan tangan mereka.
Nyaris dua jam saya memperhatikan si pengecer tisu, Mark datang. Menenteng tas hitam besar berisi kamera pesanan saya. Harganya, saya menghitung kasar, sepertinya saya akan mendapat untung yang lumayan. Setelah transaksi beres, saya segera menghampiri ibu pengecer tisu. Saya membeli sebungkus tisu dengan harga 10 persen dari hitungan kasar keuntungan yang akan saya dapat. Sebagaimana pesan ibu yang selalu meminta saya untuk tidak lupa bersedekah.
Dua jam waktu yang saya miliki, di Rabu pagi itu, tidak terbuang sia-sia.
(*)
Penulis/ Vlogger : Sultan Yohana, Citizen Indonesia berdomisili di Singapura. Menulis di berbagai platform, mengelola blog www.sultanyohana.id