PERSOALAN wilayah informasi penerbangan atau flight information region (FIR) di sekitar Kepulauan Riau (Kepri), Tanjungpinang, dan Natuna masih menjadi polemik. Hal ini menyusul perjanjian antara Indonesia dan Singapura yang dirasa belum betul-betul sebagai pengambilalihan FIR.
Seperti diketahui, FIR di wilayah-wilayah tersebut berada dalam pengelolaan Singapura sejak Indonesia merdeka. Hal tersebut menyusul mandat International Civil Aviation Organization (ICAO) yang menilai Indonesia belum siap secara infrastruktur.
Setelah 76 tahun, Indonesia diklaim oleh Pemerintah telah mengambil alih FIR di kawasan itu. Hal tersebut karena adanya kesepakatan kerja sama menyangkut Penyesuaian Area Layanan Navigasi Penerbangan atau FIR antara Indonesia dan Singapura.
Kerja sama itu menjadi satu paket perjanjian dengan kerja sama pertahanan atau Defense Cooperation Agreement (DCA) dan kerja sama ekstradisi buronan.
Perjanjian kerja sama ditandai dengan penandatangan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Singapura di Pulau Bintan, Kepulauan Riau, Selasa (25/1/2022).
Penandatanganan kesepakatan disaksikan langsung oleh Presiden Jokowi dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong.
Tiga perjanjian kerja sama ini sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh Indonesia dan Singapura di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), namun akhirnya tidak diratifikasi lantaran menuai banyak penolakan.
Pemerintah saat ini berencana meratifikasi perjanjian terkait FIR lewat Peraturan Presiden (Perpres), dan dua perjanjian lainnya melalui undang-undang yang berproses di DPR RI.
Hanya saja Perjanjian Indonesia-Singapura mendapat banyak kritik lantaran dianggap tidak memberi banyak manfaat untuk Negara.
Di perjanjian FIR, Indonesia tak sepenuhnya mengambil-alih pengelolaan ruang udara dari Singapura. Sebab dalam kerja sama tersebut, Indonesia masih memberikan izin pengelolaan ruang udara di sekitar Kepri kepada Singapura.
Delegasi pelayanan jasa penerbangan (PJP) pada area tertentu diberikan kepada otoritas Singapura untuk penerbangan dengan ketinggian 0-37.000 kaki.
Adapun penerbangan 37.000 feet ke atas baru masuk dalam pengelolaan Indonesia. Sementara traffic atau lalu lintas penerbangan sipil jarang berada pada ketinggian di atas 37.000 feet. Penerbangan sipil di atas 37.000 kaki biasanya hanya untuk melintas.
Akibat kesepakatan seperti itu, Pemerintah banyak dikritik. Sebab artinya, pengeloaan ruang udara Kepri, Tanjungpinang, dan Natuna masih berada di tangan Singapura.
Alasan pendelegasian adalah terkait masalah keamanan pesawat-pesawat yang akan terbang dari dan menuju Singapura. Sebab untuk keluar atau menuju Singapura, pesawat-pesawat ini harus melalui wilayah FIR di atas Riau.
Hanya saja, sejumlah pihak menilai pendelegasian ini seolah menunjukkan Indonesia tak juga mampu mengelola ruang udara komersial di wilayah tersebut. Padahal ada beberapa mandat yang menjadi dasar agar Indonesia mengambil alih seluruh FIR di atas Kepri, Tanjungpinang, dan Natuna dari Singapura.
“Dari 1946 sampai 2022 selama 76 tahun masak kita Bangsa Indonesia masih dianggap belum mampu mengelola wilayah kedaulatan negara di ruang udara sendiri. Apakah hal itu tidaklah suatu keniscayaan? Terus kapan kita dianggap mampu?” ujar Wakil Direktur Indonesia Aviation and Aerospace Watch (IAAW), Marsda (Purn) Subandi Parto, Kamis (27/1/2022).
Juru Bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi mengatakan, pemberian otoritas navigasi atau penyediaan jasa penerbangan yang disepakati dalam penandatangan perjanjian penyesuaian batas wilayah informasi penerbangan atau FIR antara Indonesia dan Singapura tak berkaitan dengan ketidaksiapan.
“Saya bisa jelaskan bahwa kerja sama ini tidak ada kaitannya dengan kemampuan Indonesia. Indonesia sangat siap dan mampu menyelenggarakan jasa pelayanan penerbangan di wilayah FIR yang batasnya telah disepakati. Sekali lagi pendelegasian pelayanan jasa penerbangan lebih lebih terkait dengan keamanan dan keselamatan penerbangan,” kata Jodi pada Rabu (26/1/2022), seperti dikutip dari Kompas.com.
Argumentasi keselamatan versus kedaulatan
Isu pengambilalihan FIR atau pengelolaan ruang udara Indonesia dari Singapura selama ini memang selalu dikaitkan antara masalah kedaulatan dan keselamatan.
Pihak yang berargumen bahwa FIR tidak ada urusannya dengan kedaulatan, membicarakan FIR dalam kaca mata pengaturan lalu lintas udara.
Jodi Mahardi menyebut, Indonesia mendelegasikan pelayanan jasa penerbangan kepada Singapura untuk menjaga keselamatan dan efektivitas pelayanan penerbangan yang masuk dan keluar dari Bandara Internasional Changi Singapura melalui FIR Indonesia.
“Melalui skema dalam perjanjian ini, Indonesia mendelegasikan pelayanan jasa penerbangan secara terbatas (di zona dan ketinggian tertentu kepada otoritas Singapura),” jelas Jodi.
“Hal ini agar pengawas lalu lintas udara di Singapura, dapat mencegah fragmentasi dan mengkoordinasikan secara efektif lalu lintas pesawat udara yang akan terbang dari dan menuju Singapura di ketinggian tertentu,” tambahnya.
Sementara itu pihak yang menyatakan FIR berkaitan dengan kedaulatan, beranggapan ruang udara suatu negara seharusnya diatur oleh otoritas dalam negeri. Salah satunya adalah mantan KSAU Chappy Hakim.
“Sebagian besar wilayah yang berada di FIR Singapura adalah wilayah kedaulatan Indonesia. Bagaimana kemudian kita bisa mengatakan FIR tidak ada hubungannya dengan kedaulatan,” tukas Chappy.
Hal tersebut disampaikan Chappy dalam kolomnya di Kompas.com yang berjudul “Untuk Mereka yang Menganggap FIR Tak Ada Hubungan dengan Kedaulatan”. Kolom tersebut dimuat pada 30 Januari 2022.
“Mengapa pula kita bersusah payah untuk mengambil alih atau re-alignment FIR Singapura. Buat apa kalau bukan untuk menjaga keutuhan dari kedaulatan Indonesia,” sebut Chappy.
Ia juga mengingatkan, pengambilalihan FIR Kepri-Natuna merupakan perintah dari UU Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan.
Undang-undang tersebut mengamanatkan Pemerintah untuk mengelola semua wilayah kedaulatan udara Indonesia termasuk wilayah udara yang pengelolaannya didelegasikan kepada negara lain.
“Yang dimaksud dengan negara lain adalah Singapura, karena Indonesia tidak mendelegasikan wilayah udaranya selain kepada Singapura,” jelas Chappy.
Chappy menegaskan, FIR sangat erat kaitannya dengan masalah kedaulatan karena ada banyak persoalan di luar persoalan pengaturan lalu lintas udara pesawat komersil.
Contohnya saja, bagaimana pesawat Indonesia yang terbang di wilayah Kepri, Tanjungpinang, dan Natuna, harus meminta izin terlebih dahulu ke otoritas penerbangan Singapura. Ini termasuk pesawat militer Indonesia.
Bahkan menurut Chappy, pesawat Indonesia harus meminta izin Singapura walau hanya untuk menghidupkan mesin saja atau “starting engine clearence”.
“Apakah ini tidak ada hubungannya dengan kedaulatan sebagai bangsa yang merdeka. Kita di halaman rumah sendiri, untuk bergerak saja harus minta izin terlebih dahulu kepada tetangga rumah yang jauh lebih kecil,” ujar mantan instruktur pesawat Hercules C-130 itu.
Menurut Chappy, masalah FIR sangat terkait dengan isu kedaulatan lantaran persoalan martabat Indonesia sebagai sebuah bangsa.
“Bagaimana pesawat terbang Angkatan Udara yang akan menjalankan misi Air Patrol (Patroli Udara) di perairan Natuna dan Riau harus menunggu dengan sabar sampai diizinkan oleh Singapura baru diperkenankan untuk terbang,” papar Chappy.
“Melakukan patroli perbatasan negara yang rawan, harus memperoleh izin terlebih dahulu dari Singapura,” lanjutnya.
Ditambahkan Chappy, banyak pelanggaran wilayah udara yang terekam di radar Komando Operasi Udara Nasional buntut penguasaan FIR di bawah tangan Singapura.
Pelanggaran-pelanggaran wilayah udara itu terjadi akibat diizinkan oleh otoritas penerbangan Singapura untuk masuk wilayah teritori Indonesia tanpa perlu izin dari tuan rumah.
“Itu hanya beberapa hal saja dari fakta di lapangan yang terjadi selama ini. Bagaimana untuk dapat mengatakan FIR tidak ada hubungannya dengan kedaulatan dalam kasus kasus seperti ini?!” kata Chappy.
(*)
Sumber : Kompas