TANAMAN atau pohon Bentan, yang juga dikenal sebagai pokok Bentan, diduga memiliki hubungan dengan penamaan Pulau Bintan di masa lalu. Namun, beberapa hikayat juga mengarahkan asal mula nama pulau Bauksit itu dengan keberadaan intan yang katanya pernah ada di sana. Sejarah panjang pulau ini juga disebut berhubungan dengan kerajaan Sriwijaya hingga stereotip masa lalu sebagai pulau “Bajak Laut”.
Oleh : Bintoro Suryo
NAMA “Bintan” berasal dari nama sebuah tanaman ini yang tumbuh di semenanjung Malaya, Bentan. Pulau Bintan di Kepulauan Riau dinamai demikian karena adanya tanaman ini yang banyak ditemui di wilayah tersebut pada masa lalu.
Pokok Bentan, yang juga disebut sebagai sea mango, memiliki buah yang mirip dengan mangga apel. Tanaman ini termasuk dalam jenis tanaman mangrove, walaupun bukan asli nusantara.
Dalam beberapa penyebutan, orang mengenalnya dengan nama yang berbeda-beda. Seperti leva, toto, vaza, mangga laut, plam kasuari (Cassowary Plum), dan Bentan. Bentan?
Ya, orang semenanjung Melayu mengenali pohon bernama genus cerbera itu dengan sebutan pokok Bentan. Umumnya tumbuh di wilayah pantai dan daerah payau. Namun bisa tumbuh baik juga di daratan yang lebih tinggi. Ada satu kelompok pohon cerbera ini yang tumbuh subur di kawasan Kepulauan Riau hingga perairan di kepulauan laut Cina selatan secara umum. Namanya Cerbera Manghas atau Bentan.
Pada sumber catatan di Wikipedia tentang pohon Bentan’ yang bersumber dari Journal of The Malayan Branch of The Royal Asiatic Society, volume 25 terbitan tahun 1952, disebutkan bahwa ‘pokok Bentan’ merupakan tanaman yang banyak terdapat di semenanjung Malaya. Di Singapura, jenis ini disebut sebagai pohon Pongpong .
Melihat topografi pulau Bintan, terutama di bagian pesisirnya yang juga banyak didominasi oleh hutan-hutan bakau pada masa silam, juga merupakan tempat yang cocok untuk pertumbuhan tanaman cerbera ini. Apalagi, cerbera merupakan bagian kelompok tanaman mangrove juga.
Apakah nama pulau Bintan yang dahulunya lebih sering disebut; ‘Bentan’, berasal dari pohon cerbera manghas yang memang banyak tumbuh di sana?
Penamaan nama sebuah wilayah atau pulau di Kepulauan Riau yang diambil dari nama tumbuhan atau pohon khas yang tumbuh di sekitarnya, sebenarnya merupakan hal yang lazim pada masa dahulu.
Seperti juga pulau Pecong, sebuah pulau kecil di sisi pulau Bulan yang diambil dari nama tumbuhan bernama pohon Pucung. Sejenis tanaman beracun , mulai dari batang, akar, daun hingga buahnya, seperti halnya pokok Bentan. Atau penamaan sebuah pulau kecil berhampiran kampung Bagan di Batam yang bernama Traling. Pulau kecil itu dinamai Traling, bersumber dari tanaman pohon Teralin yang banyak ditemui di sana pada masa lalu.
Secara umum, jenis pohon ini memang biasa dijumpai di sepanjang wilayah pantai atau hutan bakau. Di Indonesia saat ini, pohon cerbera mulai banyak dibudidaya sebagai tanaman peneduh jalan karena kemampuannya untuk hidup di dataran yang lebih tinggi selain di kawasan pantai.
Walau memiliki buah mirip mangga, tapi buahnya tidak bisa dimakan. Ada racun yang bisa menyebabkan kematian. Getah dari daun dan buahnya itu disebut mengandung bahan yang bisa mempengaruhi jantung.
Sejenis glikosida yang disebut cerberin. Sangat beracun jika termakan.
Sumber lain bahkan menyebut getahnya sejak dulu juga sering dipakai sebagai racun panah/tulup untuk berburu dan sangat mematikan. Getahnya juga bisa menggantikan racun ikan atau ‘tuba’ dalam istilah orang Kepulauan Riau zaman dulu.
Saat ini, beberapa kalangan masih menyebut pulau ini dengan nama lama, Bentan.
Cerita Legenda Tentang Pulau Bintan
DALAM cerita rakyat, nama Pulau Bintan disebut berasal dari penemuan intan yang melimpah di pulau yang dulunya bernama Pulau Putih.
Menurut cerita rakyat, Pulau Bintan sebelumnya bernama Pulau Putih. Putri Lencana Muda, seorang putri cantik di Bintan pada masa lalu, diceritakan menjadi perhatian beberapa raja negeri tetangga, termasuk raja Pagaruyung dan raja Lingga.
Kerajaan-kerajaan itu kemudian mengirimkan wakil untuk melamar Putri Lencana Muda. Tetapi seorang utusan raja Lingga, dikisahkan bernama Tun Jaya gelar Sri Gumaya, bersikap kasar sehingga lamaran tersebut ditolak.
Ketika Sri Gumaya mendengar bahwa anak raja Pagaruyung diterima sebagai suami Putri Lencana Muda, ia menjadi murka dan mengancam akan membalas dendam. Pertarungan dahsyat terjadi antara Panglima Bongkok Lela Bangsawan dan Tun Jaya gelar Sri Gumaya.
Alam Pulau Putih kala itu diceritakan menggelegar, dan cahaya kuning kemerah-merahan memancar.
Beberapa abad kemudian, intan melimpah di Pulau Putih, dan penduduknya membeli kulit kayu tengar dan buah pinang. Saat saudagar-saudagar Arab, India, dan Jawa membeli buah pinang, mereka menemukan intan di dalamnya. Penduduk Pulau Putih bersorak, “Pulau Be-intan.. Bintan!” dan akhirnya pulau yang berisi intan disebut Bintan.
Segantang Lada, Pulau Bajak Laut
PULAU Bintan atau Negeri Segantang Lada adalah julukan yang sering disematkan orang terhadap wilayah ini. Penamaan ‘Segantang Lada’ tak lepas dari posisi pulau ini yang menjadi jalur perdagangan rempah-rempah di masa lalu.
Luas daratan Bintan adalah 1.173 kilometer persegi (453 mil persegi) (luas total 60.057 kilometer persegi (23.188 mil persegi) termasuk 96% wilayah laut). Wilayah administratifnya ditetapkan sebagai Kabupaten Bintan, salah satu dari enam kabupaten administratif di provinsi Kepulauan Riau .
Sejarah Bintan dapat ditelusuri hingga awal abad ke-3. Pulau ini berkembang sebagai pos perdagangan di jalur antara Tiongkok dan India , dan selama berabad-abad pulau ini berada di bawah kendali Tiongkok , Inggris , dan kemudian Belanda ketika dinyatakan sebagai bagian dari Hindia Belanda melalui Inggris-Belanda. Perjanjian tahun 1824 .
Pada abad ke-12, pulau Bintan yang terletak dekat dengan Selat Malaka dikenal sebagai “Pulau Bajak Laut” karena banyak bajak laut yang biasa menjarah kapal dagang yang berlayar di perairan tersebut.
Sejarah awal Bintan terkait dengan sejarah Perbukitan Nagoya yang merupakan satu kesatuan dengan Batam, dekat Pulau Bintan dan pulau-pulau lain di Kepulauan Riau. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Batam pernah dihuni pada tahun 231 M, ketika pulau Singapura masih bernama Pulau Ujung ( Ujung Island ). Bintan berada di bawah kendali kerajaan Malaka sejak abad ke-13. Kemudian, Sultan Johor memerintah dari sini dan pemerintahannya berlangsung hingga abad ke-18.
Kepulauan Riau merupakan pusat kerajaan atau kesultanan Melayu besar , yang dikenal sebagai ‘Dunia Melayu’, yang menguasai wilayah timur Sumatera hingga Kalimantan .
Selama berabad-abad, Riau adalah rumah bagi masyarakat Melayu dan Orang Laut.
Mereka sempat menetap di Bintan. Kedua komunitas ini merupakan tulang punggung sebagian besar kerajaan Melayu sejak masa Sriwijaya hingga Kesultanan Johor. Mereka memiliki kendali penuh atas jalur perdagangan yang melalui selat tersebut.
Setelah jatuhnya Melaka pada tahun 1511, Kepulauan Riau menjadi pusat kekuatan politik Kesultanan Johor atau Johor – Riau yang perkasa, yang berpusat di Pulau Bintan. Mereka dianggap sebagai pusat kebudayaan Melayu.
Pulau Bintan di Bawah Sriwijaya
SEJAK abad ke-12 hingga ke-13, Kerajaan Sriwijaya di Sumatera menguasai pulau Bintan. Sri Tri Buana, salah satu anggota keluarga kerajaan Palembang pernah mengunjungi Kepulauan Riau pada tahun 1290. Ratu Bintan menemuinya dan membuat aliansi strategis. Mereka pindah dengan “armada 800 kapal ke Bintan” di mana Sri Tri Buana menjadi raja.
Namun Bintan dan selatnya mendapat reputasi sebagai pulau bajak laut karena para perompak Tempatan yang menyita banyak kapal dengan memaksa mereka ke pelabuhan untuk berdagang dan atau menjarah muatan yang dibawanya. Ratusan kapal orang tempatan memaksa kapal Tiongkok kembali dari Samudera Hindia ke pelabuhannya di Bintan. Mereka yang melawan diserang. Keramik Tiongkok dalam jumlah besar ditemukan di Bintan, beberapa di antaranya berasal dari awal Dinasti Song (960–1127).
Seorang penulis sejarah Arab , Ibnu Battuta memaparkan tentang kepulauan Riau pada abad ke-13. Ia menyatakan:
“Di sini terdapat pulau-pulau kecil, dari sana muncullah bajak laut hitam bersenjata dengan anak panah yang siap, memiliki kapal perang bersenjata; mereka menjarah orang tetapi tidak memperbudak mereka.”
Catatan kayu kapal Tiongkok menjadi saksi insiden ini pada abad ke-12. Bahkan setelah beberapa abad berlalu, Bintan masih disebut oleh banyak orang dengan julukan “Pulau Bajak Laut”.
(*)
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Artikel ini pertama kali terbit di : bintorosuryo.com