SUASANA di kampung-kampung adat yang ada di Pulau Rempang, Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau, terpantau lebih kondusif paska kejadian konflik terbuka dengan aparat, pada Kamis (7/9) kemarin. Namun siapa tau isi hati masyarakat setempat. Serba rasa. Hidup di tanah moyang terkatung-katung, sekarang hanya menunggu ‘retak mencari belah’.
MASYARAKAT Melayu di Rempang sedang resah karena harus berpisah dari tanah leluhur. Mereka harus meninggalkan sisa-sisa kenangan, budaya dan lingkungan yang sudah bersama sejak ratusan tahun silam, turun temurun.
Banyak kritikan dan komentar datang dari para pesohor soal kemelut yang sedang terjadi di pulau Rempang sekarang. Dari aktivis sampai politisi. Mulai dari Rocky Gerung sampai Menkopolhukam, Mahfud MD.
Ada pula maklumat yang keluar dari lembaga yang mengatasnamakan Melayu, walaupun itu tak seragam.
NGO lingkungan buka suara. Ialah Akar Bhumi Indonesia (ABI) yang bermarkas di Batam. Lantas bagaimana pendapat mereka soal investasi yang mengancam kelangsungan hidup masyarakat adat dengan alamnya?
Spirit Masyarakat Nelayan Meredup
Founder ABI, Hendrik Hermawan, tak menutup mata soal peluang investasi di Batam. Namun dia juga tak ingin masyarakat pesisir jadi korban.
“Kami adalah organisasi lingkungan yang menomor satukan lingkungan, tapi bukan menomor duakan manusia. Pada perkembangannya, Akar Bhumi menyentuh kepada aspek manusia, yakni masyarakat pesisir,” kata dia, Jumat (8/9/2023) kemarin pada GoWest.ID.
Tentang konflik di Rempang, ia belum melihat secara jelas tentang master plan wacana pengembangan industri hilirisasi di sana. Tapi, seyogyanya pemerintah perlu bertindak bijak.
“Pada dasarnya, Akar Bhumi tidak setuju jika pengembangan Pulau Rempang yamg kemudian menggusur warga dan menceraikan mereka dengan lingkungannya. Menceraikan masyarakat dari lingkungan itu tidak kalah jahatnya dengan merusak lingkungan,” kata Hendrik.
Hendrik cukup tau dan dekat dengan masyarakat pesisir di Kepri. Pasalnya, ABI kerap keluar masuk hutan, mengair di laut dan juga merasakan suasana kehidupan para nelayan.
“Memang, rata-rata, sebanyak 70 sampai 80 persen masyarakat pesisir khususnya nelayan di Kepri berada di bawah garis kemiskinan. Meski demikian, bukan berarti orang-orang itu tak menikmati hidup. Mereka masih cukup makan, meski ‘kais pagi makan pagi, kais petang makan petang’. Mereka juga masih bisa menyekolahkan anak”, katanya.
“Miskin itu kalau kita lihat dari harga, ini beda dengan bahagia. Tapi di sana, bukan berarti mereka tak bahagia. Saya dapat info masyarakat (bakal) dipindahkan ke darat untuk berbudidaya garam. Saya tidak setuju, itu namanya membunuh spirit nelayan,” lanjut Hendrik.
Rempang dengan 3 Pilar Dasar
Secara kehidupan, bagi ABI, ada beberapa sektor penting yang tak lepas dari manusia, yakni ekonomi, sosial budaya dan lingkungan. Semua itu adalah pilar hidup. Hendrik mengamati bahwa Rempang adalah pilar dari ketiganya. Apabila dasar-dasar itu tak dijaga, maka bisa berbahaya.
Hendrik melihat ada satu dari tiga pilar itu yang sangat rentan, adalah sosial budaya. Sudahlah masyarakat pesisir hidup dengan tingkat perekonomian yang rata-rata rendah, ditambah lagi pemerintah yang cuai. Tak heran jika masyarakat di pulau-pulau itu merasa dianaktirikan.
“Di Rempang ini yang sangat rentan adalah pilar sosial budaya. Makanya kami melihat adalah Pemko Batam belum berhasil menyejahterakan masyarakat pesisir, ditambah menggusur masyarakat di sana. Itu menambah dosa,” ujarnya.
Peradaban Melayu Asing di Tanah Sendiri
Puluhan bahkan ratusan tahun silam, sejarah mencatat bahwa peradaban di Kepri, termasuk Batam, merupakan kepunyaan orang-orang dari bangsa Melayu. Hendrik juga mengamininya. Namun sekarang, rakyat tempatan malah terkesan diasingkan.
Dia mencontohkan soal Batam yang kian hari makin banyak pendatang. Para perantau menggurita. Tidak sedikit dari mereka yang sukses dan menjadi kaya.
“Kita tahu orang-orang pendatang rumahnya semakin besar, parkirannya semakin luas, mobilnya bahkan tak cukup di parkiran. Tapi kalau pergi ke pesisir itu, untuk masuk ke rumah mereka (nelayan) jalannya pun susah. Kasian mereka seperti itu. Ada 90 persen desa dan kelurahan di Kepri ini berada di pesisir, sementara mereka terpinggirkan,” kata dia.
“Jangan salahkan mereka tentang pendidikan dan lainnya, berarti kita tidak punya sense social justice, secara ini tanah orang Melayu,” tambah Hendrik.
Garis besarnya, ABI bukan hanya memperhatikan soal faktor lingkungan, tapi juga spirit dan historis masyarakat pesisir dengan alamnya. Jika itu tak diperhatikan, akan menjadi kesalahan besar seluruh pihak lantaran peradaban akan lenyap.
“Ketika kita sudah tidak memperhatikan mereka, ini menjadi kesalahan besar karena jumlah peradaban dimana kita berdiri di atas kematian peradaban yang lain. Tidak bisa dipungkiri, merekalah pemilik tanah ini. Tapi secara legal, Indonesia mengangkanginya,” katanya.
Rancangan Investasi hingga Lingkungan yang Tak Terpisahkan dari Orang Pulau
Setelah lahan dialokasikan ke perusahaan, pasti ada potensi kerusakan. Ketika sesuatu itu direncanakan dengan matang, maka potensi itu akan semakin kecil.
ABI menilai, rancangan investasi di Rempang itu perlu restrukturisasi dengan melibatkan banyak stakeholder. Karena bila bicara soal kerusakan lingkungan, itu sudah jadi prioritas dunia, apalagi kerusakan di wilayah pesisir. Hendrik menyebut, bahwa tidak ada satupun orang yang mau menolak pembangunan apabila itu dijalankan dengan benar dan baik.
“Masyarakat Melayu itu sangat welcome. Mereka bahkan disakiti pun tak mau membalas menyakiti. Mereka mau hidup damai. Mereka punya kebahagiaan yang tidak bersumber dari materi, salah satunya dari lingkungan. Ada kemewahan dari mereka yang tidak dimiliki oleh orang-orang kaya di luar sana,” kata Hendrik.
ABI melihat bahwa jika rancangan investasi itu tidak digagas ulang, potensi kerusakan dan daya tahan kawasan laut di Kepri itu berubah. Mungkin saja bisa dicegah dengan melakukan akselerasi terhadap kerusakan akibat pembangunan dengan berbagai cara. Contohnya menanam pohon dengan dana yang besar dan melibatkan banyak orang.
“Tapi ini bukan mengenai kalkulasi seperti itu, ini ada spirit yang harus dijaga. Saya selalu bilang, mangrove dan pulau-pulau kecil tidak akan terpisahkan. Demikian juga masyarakat pulau yang tidak terpisahkan dengan lautan,” terangnya.
Lingkungan bukan hanya tempat bagi masyarakat Rempang berkembang biak. Bukan pula hanya tempat mengais rezeki. Tetapi juga tempat orang-orang itu mengakarkan budaya, sejarah dan pengetahuan.
(ahm)
Sebuah pembangunan gaya kapitalis dalam Proyek Strategis Nasional. Seperti biasa, penguasa akan selalu berbicara profit terhadap pertumbuhan ekonomi yang dalam hal ini tentu akan menguntungkan penguasa dan pendukungnya (investor). Tapi tidak akan menyasar terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir yang terdampak, yang telah dirampas tanahnya oleh aparat dengan gas air mata.
Begitu kejamnya orang-orang yang memiliki otoritas untuk mendukung adanya investasi terhadap Pulau Rempang, demi keuntungan dan memperkaya kelompoknya sendiri, masyarakat dan lingkungan dijadikannya tumbal.