STAF Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Henry Subiakto mengatakan dalam revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) memuat sejumlah perubahan pasal.
Di antaranya adalah di pasal 27 ayat tiga, di mana orang yang melanggar pasal ini tidak lagi bisa ditahan.
“Orang tidak lagi bisa ditahan kalau ditetapkan tersangka pelaku pencemaran nama baik,” kata Henry dikutip dari tempo.co, Sabtu, 26 November 2016.
Menurut Henry, selama ini banyak aparat penegak hukum yang belum apa-apa, sudah menahan sebelum diproses di pengadilan, utamanya untuk pasal 27 ayat 3. Seperti kasus Prita Mulyasari dan Florence di Yogyakarta.
“Mereka dianggap melanggar pasal 27 ayat 3.”
Mengenai batasan melanggar dan tidak melanggar UU ITE, Henry menjelaskan batasannya sudah jelas, karena UU ITE tidak membuat batasan untuk pidana. Sebabnya, untuk urusan pidana tetap mengikuti norma asli yang ada di dalam KUHP.
Dalam urusan pencemaran nama baik, hal itu sudah menuduh kepada seseorang, jadi orangnya jelas, dan harus ada tuduhan palsu. Kalau di KUHP-nya sudah masuk pelanggaran, kemudian dilihat di UU ITE-nya.
“Apakah pencemaran nama baik itu didistribusikan, ditransmisikan, bisa diakses publik, atau tidak,” ucap Henry lagi di laman itu.
Menurut Henry, meski ada UU ITE, pemerintah tidak serta merta akan represif. Pemerintah ingin tetap mendahulukan pendidikan kepada khalayak atau media literasi. Lalu, juga mendidik pengguna media sosial supaya mereka paham akan rambu-rambu di media sosial.
Henry mengungkapkan kalau berpendapat adalah kebebasan setiap warga negara. Hal yang tidak bebas adalah memalsukan fakta. Selain memalsukan fakta, yang tidak akan dibebaskan adalah menyebarkan fakta palsu, tuduhan tidak berdasar, atau menyebarkan informasi kebencian berdasarkan SARA. “Kalau kritik kebijakan itu aman.” ***