TERLETAK di wilayah Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Senggarang adalah kawasan yang memiliki sejarah panjang sebagai pemukiman etnis Tionghoa. Pada abad ke-18, para pekerja Tionghoa pertama kali tiba di kawasan ini atas undangan Kerajaan Riau-Johor untuk mengelola perkebunan gambir. Seiring berjalannya waktu, Senggarang pun berkembang menjadi pusat pemukiman bagi mereka.
MEMASUKI abad ke-19, Tanjungpinang mulai berperan sebagai pusat perdagangan penting. Para pedagang Tionghoa memainkan peran kunci dalam roda ekonomi lokal, terutama di bidang perdagangan dan perkebunan.
Kawasan Senggarang, yang awalnya didominasi oleh rumah terapung berbahan kayu, kini bertransformasi dengan banyaknya bangunan beton, meskipun beberapa jejak arsitektur tradisional masih bisa ditemui. Kehidupan sosial dan budaya di sini juga sangat dipengaruhi oleh kehadiran kuil dan vihara yang memperlihatkan kuatnya tradisi Tionghoa di daerah ini.
Pecinan Tertua di Kepulauan Riau
SENGGARANG diakui sebagai salah satu kawasan pecinan tertua di Kepulauan Riau. Untuk mencapainya, pengunjung bisa menyeberang dari Pelantar 1 atau Pelantar 3 Tanjungpinang menuju pelabuhan kecil di Senggarang.
Pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, komunitas Tionghoa Teociu dan Hokkian mulai menetap di Tanjungpinang. Masyarakat Teociu menyebut Senggarang sebagai Chao Po, yang berarti ‘kota Teociu’, sementara Tanjungpinang dikenal sebagai Fu Po, atau ‘kota Hokkian’. Dalam ingatan generasi tua, Senggarang juga dikenal sebagai Toa Po (kota lama) dan Tanjungpinang disebut Siao Po (kota baru).

Etnis ini berkembang pada masa pemerintahan Daeng Celak sebagai Yang Dipertuan Muda Riau II (1728 – 1745). Pada masa bangsawan Bugis asal Luwu ini, kawasan Senggarang digalakkan sebagai tempat pengembangan tanaman gambir untuk komoditi ekspor.
Pada masa itu, Etnis Tionghoa banyak dipekerjakan karena mereka lebih berpengalaman dibanding dengan etnis lainnya di Tanjung Pinang. Daeng Celak memberikan kesempatan kepada para pekerja dari Cina itu untuk menempati kawasan Senggarang sebagai tempat pemukiman mereka.
Kawasan Senggarang dikembangkan secara nyata baru pada masa Daeng Kamboja sebagai Yang Dipertuan Muda Riau III. Kemudian pada masa Raja Haji sebagai Yang Dipertuan Muda Riau IV, etnis Tionghua banyak diperkerjakan sebagai pembuat peluru/proyektil logam, dan mesiu untuk penguasa setempat. Setelah itu, kawasan ini semakin berkembang menjadi kawasan pemukiman.
Akulturasi Budaya dan Wisata Sejarah
SENGGARANG adalah pusat pemukiman yang didirikan oleh komunitas Teociu sejak tahun 1722. Terletak di seberang Tanjungpinang, yang kini menjadi ibu kota Provinsi Kepulauan Riau, Senggarang menyimpan warisan sejarah yang kaya, mulai dari arsitektur hingga budaya yang terbentuk dari akulturasi Melayu, Cina, dan Bugis.

Banyak yang meyakini bahwa Senggarang adalah tempat pertama yang disinggahi para imigran Tionghoa sebelum mereka menyebar ke wilayah Kepulauan Riau lainnya. Di kawasan ini, peninggalan sejarah Tionghoa masih bisa ditemui, termasuk beberapa klenteng dan vihara yang telah menjadi objek wisata, tak hanya bagi turis domestik, tetapi juga dari negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Salah satu destinasi populer di Senggarang adalah Vihara Dharma Sasana yang dibangun pada tahun 1988. Kompleks ini diyakini sudah ada sejak 200 hingga 300 tahun yang lalu dan terdiri dari empat bangunan utama, dengan tiga di antaranya menghadap ke laut. Klenteng yang paling terkenal di sini antara lain Fu De Zheng Shen, Tian Hou Sheng Mu, dan Yuan Tien Shang.
Senggarang bukan hanya sekadar pemukiman tua, tetapi juga simbol dari kekayaan sejarah dan akulturasi budaya di Kepulauan Riau.
(nes/ham)