SELASA (9/9/2025) siang lalu, kami sekeluarga makan di restoran yang cukup bagus (untuk ukuran saya, hehe). Si bungsu, Zak, yang hari itu ulangtahun, memilih itu restoran. Sambil menunggu pesanan, perhatian saya tertarik pada meja sebelah kami. Pada sepasang orangtua Tionghoa bersama pembantunya. Mereka juga sedang makan siang.
Oleh: Sultan Yohana
MEJA mereka penuh dengan makanan pesanan yang semuanya nyaris tandas. Ketika kami datang, mereka masing-masing sedang menikmati anggur sebagai minuman penutup. Menyenangkan melihat pemandangan itu. Si pembantu, terlihat tidak canggung untuk menyomot makanan atau menyeruput anggur serupa yang dinikmati majikan. Sudah seperti anggota keluarga saja dia. Ia mempunya kepercayaan diri yang tinggi. Saya sangat MEMBENCI, jika melihat ada majikan memberi “ATRIBUT” yang sangat berbeda dengan pembantunya. Atribut yang seolah menegaskan “saya majikan, ini pembantu saya”.
Pemandangan di meja sebelah saya itu, bagi saya, menunjukkan banyak hal. Tapi yang paling saya renungi adalah bagaimana Semesta membagi keadilan pada siapa saja yang dikehendaki. Si pembantu tak perlu bekerja sekeras majikannya, menabung sehemat majikannya, menjadi kaya sekaya majikannya; hanya untuk sekedar menikmati “nyam-nyamnya…” makanan di restoran itu.
Dalam skala ekonomi negara, kita seringkali menemukan kisah serupa. Di Singapura misalnya, belajar dan kerja keras warganya untuk menjadikan Singapura negara maju, seringkali berakhir “makplekenyik…”, setelah mereka baru menyadari, dalam hidup yang sebetulnya sederhana ini, diperlukan tukang sapu, tukang cuci piring, tukang masak, tukang mengemudi bus, pengasuh anak, tukang nyeboki pantat lansia, tukang dll. Tapi, karena mereka EMOH kerja di bidang begituan, akhirnya yang ikut MERASAKAN kemajuan Singapura ya pekerja-pekerja dari negara-negara tetangga yang nasib mereka kurang beruntung karena diurusi oleh politikus-politikus rakus nan korup. Dari Indonesia, dari Filipina, dari Malaysia, dari India, dari Bangladesh, dari Myanmar, dari Kambodia; mereka semua mendapat BAROKAH dari kemajuan Singapura. Kasus serupa Singapura juga bisa kita lihat di Jepang! Di Hongkong! Di Taiwan!
Penduduk-penduduk “negara miskin”, hari ini, sengaja maupun tidak sengaja, telah bermigrasi, menjadi penduduk tetap atau berganti kewarganegaraan ke negara lain yang lebih maju. Di Jepang misalnya, keegganan penduduknya punya anak mengakibatkan berkurangnya tenaga kerja produktif. Akibatnya, pemerintah sana mengizinkan warga negara asing untuk bekerja, kemudian tinggal menetap, hingga menjadi warga negara sana. Sekitar 9 juta rumah kosong tak berpenghuni, di Jepang, yang ditinggalkan karena pemiliknya mati atau menua, sebagiannya telah diisi dan ditempati warga asing, yang memang diizinkan untuk tinggal atau membeli rumah-rumah terbengkalai itu.
Fenomena di Jepang itu, jika kita renungi, bisa jadi adalah cara Semesta untuk memeratakan keadilan. Jepang, dengan perusahaan-perusahaan raksasa mereka; suka tak suka telah membuat banyak kerusakan di negara-negara miskin yang kaya sumberdaya seperti Indonesia. Membawa kekayaan hasil “jarahan” itu ke negaranya. Tapi sialnya, kemudian, setelah kekayaan itu terkumpul, mereka malah tak tahu bagaimana menikmatinya dengan baik.
Seringkali saya berpikir, memang AJAIB cara Semesta menggerakkan Dunia ini. Semesta bekerja dengan cara saling melengkapi. Atau terkadang menjungkirbalikkan sesuatu dengan cepat. Sebagaimana Syahroni, Uya Kuya, Eko Patrio, Nafa Urbach, yang nasib mereka berubah dalam sekejap. Saya yakin, kini, bahkan meski masih punya bermiliar uang di rekening mereka, mental keempatnya tidak lagi sama sebagaimana sebelum rumah-rumah mereka dijarah. Mereka mungkin kini selalu dirundung ketakutan. Khawatir ke mana-mana. Tidak enak makan. Tidak enak belanja. Tidak enak ngesek. Tidak enak melakukan apa pun.
Hari ini engkau mengaji Ihya, bisa jadi mungkin esok engkau bisa tersandung uang korupsi! Rencana manusia, sehebat apa pun itu, SISIPKANLAH ruang untuk menerima apa pun hasil dengan ikhlas. Kalau tidak, Anda bisa dibuat gila dengan rencana Anda sendiri yang bisa jadi gagal total.
Segelap apa pun keadaan Anda sekarang, percayalah akan selalu datang cahaya yang meneranginya. Sekecil apa pun sumber cahaya itu. Dan, seringkali, cahaya itu datang dari hal-hal tak terduga. Sebagaimana si pembantu yang beruntung mempunyai majikan yang baik itu. Meski di negaranya, Indonesia, mungkin, ia disia-siakan oleh siapa saja.
(*)
Penulis/ Vlogger : Sultan Yohana, Citizen Indonesia berdomisili di Singapura. Menulis di berbagai platform, mengelola blog www.sultanyohana.id