“Sebuah anak sungai dengan mulut yang hampir kering saat surut, menghubungkan teluk dengan cekungan di balik tanjung itu, sekaligus membagi kampung menjadi dua bagian tak seimbang.”
…
“Gelaran Jawa seperti penyebutan ‘pangeran’ dan ‘petinggi’ — yang akan kita temui lagi saat membahas kelompok Tambelan — sejauh yang diketahui, merupakan satu-satunya tanda adanya supremasi kerajaan Majapahit yang dijelaskan dalam kronik Melayu besar.”
…
“Selain mengurusi penduduk Melayu, mereka juga mengawasi Orang Laut (sering disebut Orang Pesoekoean). Jumlahnya ada sekitar 300 jiwa yang tersebar di pulau-pulau kelompok Siantan. Mereka ini dipimpin oleh kepala-kepala kecil yang disebut batin.” (A.L. Van Hasselt/H. J. E. F. Schwartz – De Poelau Toedjoeh In Ei Et Zuidelijk Gedeelte Der Chineeschen Zee, 1898)
Oleh: Bintoro Suryo
ADA ratusan pulau yang tersebar di perairan laut cina selatan hingga ke karimata yang dinamai gugus kepulauan Tujuh ini. Seperti sebaran mutumanikam, jumlah tujuh diwakili pulau-pulau besar di gugusan itu.
Jemaja (Djemadja), Siantan, Bunguran (Boengoeran), Midai, Subi (Soebi), Serasan dan Tambelan jadi penandanya. Gugusan ini sangat dikenal sejak masa lalu dan menjadi perlintasan kapal – kapal dagang dari barat hingga timur; mereka yang datang dari negeri di atas hingga bawah angin.
Catatan : Negeri di atas angin” adalah istilah kuno yang merujuk pada negara-negara di sebelah barat Semenanjung Melayu, seperti India, Persia, dan Arab dan bahkan Eropa yang sering dianggap lebih maju atau lebih berkesempatan karena letaknya yang menghadap arah datangnya angin. Sebaliknya, “negeri di bawah angin” merujuk pada wilayah kepulauan Melayu atau Nusantara, termasuk Maluku dan Jawa hingga Tiongkok yang letaknya di sebelah timur Semenanjung Melayu dan berada di jalur perdagangan rempah yang menjadi sumber kekayaan dan pengaruh peradaban Nusantara. Istilah ini sering digunakan dalam rujukan peta dan dokumen lama (Crawford 1852/Eysinga 1855/Klinkert 1901, 1905).
Ratusan pulau dalam gugus ini, juga kerap menjadi daratan penyelamat bagi penjelajah laut, di tengah ancaman kondisi alam yang sering kali liar.
Dari gugus pulau-pulau yang ada di kelompok Jemaja (Djemadja), pada bagian kedua ini, rombongan Hasselt & Schwartz bergerak ke kelompok Siantan. Gugus kepulauan kedua yang dinamai dari nama pulau utamanya, Siantan. Mereka menemukan kelompok masyarakat yang lebih maju di sini.
Di wilayah Tarempa (Terempa), misalnya. Kampung-Kampung warga terletak di wilayah teluk yang aman dari terpaan laut yang kerap mengancam. Bandar kecil yang menjadi pusat ekonomi warga, juga menjadi persinggahan yang menarik bagi pendatang. Masyarakatnya sudah mengolah hasil laut dan bumi dengan produk-produk turunan yang biasanya dikirim ke Singapura dan Kalimantan.
Akulturasi budaya terlihat dari pengaruh Majapahit di masa lalu. Terutama pada model pemerintahan lokal pribumi kemasyarakatannya. Pengaruh Tionghoa juga cukup dominan di sini.
Wilayah pemukiman di kelompok Siantan, terbagi dalam dua lokasi; kampung Melayu dan orang Cina.
PULAU-PULAU di antara dua kelompok Anambas — kami tetap menggunakan nama yang dikenal di sini — tersebar dalam kelompok kecil atau bahkan sendirian di tengah laut. Biasanya, berbentuk batu karang unik atau tertutup rimbun hutan. Sebagian besar tinggi dan bergunung, tapi hampir semuanya tak berpenghuni.
Teluk Terempa, yang di peta laut kami disebut Teluk Tupenier, cukup dalam dan terlindung dari angin di semua arah kecuali barat laut. Teluk ini dikelilingi oleh Gunung Ajer Padang di timur, Gunung Tamboes di selatan, dan Gunung Palioeng di barat, yang berdiri curam dari kedalaman, dengan tepi yang berbatu. Kecuali di beberapa tempat sempit di ujung teluk yang memiliki pantai pasir kecil. Dari posisi kami di tengah teluk, pemandangan tanah sekitar sangat indah.

Seperti dikatakan Tuan E. Netscher dalam catatannya, pemandangan bukit-bukit curam yang ditumbuhi hijau lebat, di antara kebun kelapa yang luas dan kaki bukit yang terhampar batu besar abu-abu, berpadu dengan birunya laut tua, dan kampung Terempa yang dibangun di pantai pasir putih di ujung teluk. Dengan berbagai perahu lokal dan kapal Cina berukuran dan bentuk berbeda di depannya, membuat panorama di sini sangat mempesona.
Dengan tongkang mereka yang cukup kecil, kebanyakan hanya sekitar 40 kojan panjangnya, para orang China berani berlayar di laut berbahaya ini. Tapi pelaut Melayu juga tak kalah berani. Dengan perahu kecil mereka yang akan kami tunjukkan beberapa jenisnya nanti.
Orang Cina hanya berlayar antar Singapura dan kepulauan ini bolak-balik, sementara penduduk lokal juga berdagang ke bagian barat Borneo dan Serawak.
Meskipun sebagian besar tahun cuaca buruk dan laut sulit bagi perahu-perahu kecil ini, musibah besar jarang terjadi dan jalur ke Singapura hanya kadang putus dalam aktifitas pelayaran beberapa bulan saja.

Untuk mengunjungi kebun di pulau lain dan mencari ikan, penduduk Melayu menggunakan perahu kecil bernama kolek dan djoekoeng. Kolek adalah perahu ramping, biasanya sekitar 3,5 meter panjang dan 4 meter lebar, dibuat rapi seperti barang kayu halus, dengan harga sekitar $20 sampai $40 di sini. Penduduk di kelompok Djemadja juga sering menggunakan perahu ini.
Badan perahu terbuat dari kayu medang, meranti, atau leban berwarna kuning muda. Lambung dan dua papan tepi terbuat dari kayu gelap seperti tempinis atau resak, dengan tiang layar kecil dari kayu bintangoer.

Di sisi kanan kolek, ada kait unik untuk memasang tali layar. Perahu digerakkan dengan dayung ganda bernama gelibat atau dengan layar segitiga kecil. Perahu seperti itu, melaju seperti burung camar di atas air.
Djoekoeng, yang ukurannya kira-kira sama, pada bagian depan dan belakangnya tidak terlalu melengkung dan sering diberi sirip. Perahu ini biasanya tidak sehalus kolek dan tidak dibuat dari kayu pilihan.
Kampung Orang Melayu di Terempa
KONDISI lahan menunjukkan bahwa pendapat pada catatan Netscher benar. Teluk ini dulunya lebih dalam masuk ke daratan, dan oleh endapan pasir di sisi timur teluk terbentuk tanjung yang kini hampir mengelilingi bagian terdalam yang ada daratannya.
Sebuah anak sungai dengan mulut yang hampir kering saat surut, menghubungkan teluk dengan cekungan di balik tanjung itu, sekaligus membagi kampung menjadi dua bagian tak seimbang.
Bagian timur yang lebih kecil dihuni hampir seluruhnya oleh orang Cina, sedangkan bagian barat didiami orang Melayu.
Tidak ada jembatan di atas anak sungai itu. Mungkin karena banyak perahu lokal berlabuh di sana. Agar lebih aman daripada di teluk, maka saat air pasang, orang diseberangkan dengan perahu kecil dari satu bagian ke bagian lain.

Kampung Melayu di sini yang diceritakan Netscher cukup ramai, kini hanya memiliki 43 rumah dibandingkan 164 rumah pada tahun 1862. Semuanya berdiri di atas tiang dan sebagian besar dibangun di atas air sehingga penghuni bisa langsung naik dari perahu ke rumah lewat tangga.
Rumah-rumah ini dari segi pembagian ruang, mirip dengan rumah di Djemadja. Umumnya beratap dari daun roembia, dinding dari kulit pohon bambu, atau niboeng, dengan lantai dari bilah bambu yang dipasang rapat-rapat. Rangka rumah kebanyakan terbuat dari kayu pilihan seperti balau, resak, tempinis, kroewing, dan bintangoer yang melimpah di hutan pulau ini.
Hanya beberapa rumah, termasuk rumah kepala desa, atapnya dari papan tipis kayu besi (sirap) asal Sambas atau seng galvanis dari Singapura dengan dinding dan lantai kayu.
Di depan kampung, dekat anak sungai, berdiri masjid berlantai batu. Bangunannya tinggi dan luas. Dibangun dari material kuat yang juga seperti rumah para pejabat, berdinding papan dan beratap seng galvanis.
Selain saluran air dari bambu atau niboeng yang dibelah dan mengalir dari lereng bukit ke rumah-rumah penduduk, kampung ini tidak ada yang istimewa. Pantainya berpasir yang gembur. Tidak teduh, sehingga tidak mengundang orang untuk berjalan-jalan di sekitarnya.
Jumlah penduduk asli keseluruhan kelompok Siantan ini, diperkirakan sekitar 3.000 jiwa. Sekarang tidak lagi terkonsentrasi di Terempa seperti dulu. Tetapi tersebar di pulau-pulau besar kelompok ini.
Mereka dipimpin oleh seorang Orang Kaja yang menyandang gelar kehormatan ‘Dewa Perkasa’, didampingi pimpinan lainnya bernama Pangeran Pangkoe Negara. Pemimpin yang lebih rendah lain, biasa disebut dengan gelar penghulu. Dia lah yang langsung memimpin masyarakat di sini.
Dahulu Orang Kaja dipilih oleh penduduk asli dan Pangeran oleh penduduk pendatang. Tetapi, kini karena sudah banyak bercampur, pemilihan keduanya dilakukan oleh seluruh penduduk. Mereka diangkat oleh Jang di Pertoewan Moeda dari Riouw di pulau Penyengat dan menerima surat pengangkatannya.
Gelaran Jawa seperti penyebutan ‘pangeran’ dan ‘petinggi’ — yang akan kita temui lagi saat membahas kelompok Tambelan — sejauh yang diketahui, merupakan satu-satunya tanda adanya supremasi kerajaan Majapahit yang dijelaskan dalam kronik Melayu besar.
PENGHASILAN para kepala suku di sini sekarang tidak besar. Sama seperti rekan mereka di daerah lain. Mereka mendapat bagian dari denda dan biaya perkara sipil yang bervariasi, sesuai kemampuan pihak yang berselisih bersama Imam yang membantu mereka. Mereka juga mendapat upah kecil dari pungutan kepala dan izin membuka kebun kelapa sebesar $1 per 50×40 hasta. Pendapatan utama mereka datang dari kebun pribadi dan perdagangan dengan orang Cina atau langsung ke Singapura dan Sambas.
Selain mengurusi penduduk Melayu, mereka juga mengawasi Orang Laut (sering disebut Orang Pesoekoean). Jumlahnya ada sekitar 300 jiwa yang tersebar di pulau-pulau kelompok Siantan. Mereka ini dipimpin oleh kepala-kepala kecil yang disebut batin.
Batin jarang bertemu langsung dengan atasan mereka. Jika dipanggil, mereka diberi tanda berupa jaring kawat berisi peluru kecil sebagai panggilan. Jika penting, akan dikirim tombak atau sabuk pemberitahuan agar segera datang tanpa menunda.
Kita nanti akan mengenal lebih jauh para penghuni laut ini. Soal pakaian, bahasa, adat, dan kebiasaan yang mirip dengan orang Melayu di Kepulauan Riau-Lingga, tidak banyak yang perlu dibahas.
Karena tidak sempat menjelajah daratan pulau, tentang pertanian hanya bisa disebutkan bahwa utamanya adalah kelapa dan sagu, dengan sedikit padi di ladang kering serta usaha kopi Liberia dan kakao di pesisir. Namun dua jenis yang terakhir gagal total dalam penanamannya.
Mungkin di hutan pegunungan, hasilnya bisa lebih bagus. Tapi, penduduk pesisir yang hidup cukup makmur, belum tertarik berdomisili di daerah pegunungan.
SETIAP orang Melayu di Poelau Toedjoeh ini adalah nelayan. Hasil tangkapan mereka jadi sumber penghasilan utama.
Diceritakan oleh pendamping perjalanan kami, nelayan di sini dan di Djemadja kebanyakan menangkap ikan tamban atau temban. Yaitu sejenis ikan kecil sekitar 15 cm, yang pada musim tertentu berkumpul sangat banyak di laut dan selat antara dua gugus pulau ini. Tapi jarang ditemukan di perairan kelompok Poelau Toedjoeh lain. Di bagian barat Borneo, ikan kecil bilis (disebut roesip) adalah sasaran utama para nelayan saat mereka berkelompok besar tinggal di bagian pesisirnya.
Saat musim angin timur laut musim gugur dan musim angin barat daya, tamban datang ke laut dan selat di sekitar Anambas. Jaring sudah siap dan seluruh pria berkumpul di terumbu karang yang dalamnya hanya 60-90 cm, di mana ikan berkumpul sangat banyak.
Jadi tak perlu jauh ke laut untuk tangkapan melimpah. Ikan yang ditangkap pada musim angin barat daya untuk konsumsi lokal. Sedangkan pada musim angin timur laut, diawetkan dan dijual ke Sambas, Pontianak. Sebagian kecil lainnya juga dibawa ke Singapura. Beberapa tamban diasinkan dan dikeringkan jadi tamban rimpi, tapi sebagian besar dibuat peda. Sebuah olahan ikan yang lebih diminati.

Proses pembuatannya sangat sederhana. Karena ikan tidak perlu dibersihkan isi perutnya, ikan dimasukkan ke dalam tempajan (gerabah tanah liat) bersama sekitar setengah kilogram garam per pot.
Setiap tahun, menurut Orang Kaja, lebih dari 2000 tempajan peda bisa dikirim untuk dijual ke wilayah barat Borneo dengan harga $2 per tempajan. Sedangkan nilai ikan tamban segar di tempat hanya sekitar $0,25 per pot.
Banyak jenis ikan lain juga melimpah di laut ini. Di perairan dalam, ikan ditangkap dengan pancing dan di sepanjang pantai dengan jerat tetap (kèlong). Namun skala tangkapannya tidak besar karena penduduk lokal jarang makan ikan segar dan pengolahan untuk ekspor juga minim. Kebanyakan ikan ditangkap dan dibeli oleh orang Cina untuk konsumsi sendiri.
Ikan yang sangat digemari adalah ikan kogel (Tetrodon). Kulitnya yang bersisik setelah dibakar, dipercaya punya khasiat penyembuhan. Kami sering melihat kulit ikan ini dikeringkan di banyak rumah penduduk.
Orang laut (Orang laoet) khusus mengumpulkan hasil laut lain seperti akar bahar, yang bisa dipakai untuk membuat cincin, gelang, bros serta sarung untuk belati kecil (toembak lada). Karya dari akar bahar ini sangat indah hingga satu toembak lada bersekat akar bahar mendapatkan medali emas di pameran Batavia pada tahun 1892.
Akar bahar tidak diambil dari dasar laut, tapi biasanya ditemukan atau dikumpulkan setelah badai besar di pantai atau di laut lepas.
Penduduk juga menambah penghasilan dengan menenun sarung. Terutama sutra, dan kadang pakaian lain. Hanya wanita dan gadis yang melakukannya. Benang dan pewarna anilin kebanyakan didatangkan dari Singapura lewat pedagang Cina. Proses memintal, mewarnai benang, dan menenun sama dengan daerah Melayu lain. Yakni menggunakan alat pemintal dan alat tenun sederhana.
Corak kotak-kotak dan garis warna cerah paling diminati. Harga sarung berkisar $4 hingga $14 tergantung pola dan bahan.
Mereka tidak membuat tikar, tapi ada beberapa pabrik gula kecil yang mengolah nira dari batang buah aren menjadi gula.
Kampung Orang Cina
DI seberang anak sungai yang menghubungkan teluk dengan laut, ada desa Cina di tanjung itu. Suasananya kontras dengan perkampungan melayu. Di satu sisi, rumah panggung tersebar. Di sisi lain, ada jalan selebar 3,5 meter dengan rumah kayu rapi beratap genteng, seng, atau sirap. Mayoritas merupakan toko beraneka barang.
Ada 25 toko, termasuk rumah besar Letnan (pemimpin China, pen.) dengan tangga batu dan pintu berlapis cat, dibangun di fondasi batu. Ada gudang luas berlapis seng untuk menyimpan solar dan bahan dagang seperti kopra dan ikan yang siap kirim ke luar wilayah ini.

Di ujung desa, berdiri kuil Cina tertua, menghadap utara. Dibangun dari kayu dan beratap genteng, dihias rapi, baik di luar maupun dalam, dengan ukiran dan lukisan di depan ruang terbuka yang memisahkan ruang utama.
Kuil ini bukan hanya tempat ibadah. Tapi juga sekolah. Kami bertemu lebih dari 20 anak yang duduk di bangku belajar. Mereka membaca dan menulis bersama guru orang Cina.
Beberapa tahun lalu di luar kampung Cina ini, ada depot batu bara untuk kapal yang melintas. Tapi sudah ditutup sejak empat tahun lalu.
Bersama Letnan, kami ke rumahnya melalui jalan kecil dan kawasan yang lebih dalam dengan rumah-rumah sederhana.
Kesan makmur di Terempa, semakin kuat saat kami tahu volume perdagangan yang besar. Dengan ekspor kopra lebih dari 2500 pikol per tahun dan diperkirakan akan meningkat karena perluasan kebun kelapa akhir-akhir ini.
Terempa adalah pemukiman Cina terbesar di Poelau Toedjoeh dengan total penduduk sekitar 500 jiwa, termasuk pemukiman kecil di pulau lain dalam kelompok Siantan.
Pemimpin mereka adalah Letnan Cina yang diangkat oleh Gubernur Jenderal, sekaligus sebagai wakil pemerintah di wilayah tersebut.
Meski sudah berusia lebih dari tujuh puluh tahun, Letnan ini adalah sosok kuat yang berpengaruh di kalangan penduduk Cina maupun kepala adat Melayu. Ia lahir di Terempa, begitu juga ibunya yang berusia 90-an tahun dan masih bugar, yang bisa menceritakan masa ketika harus waspada terhadap perampok laut.
Letnan mendapat gaji tetap sebesar ƒ50 per bulan dan tambahan 8% dari pungutan pajak kegiatan dagang yang dikenakan pada orang Cina untuk kas negara. Pajak ini sekitar 2% dari penghasilan usaha tapi tidak kurang dari ƒ3 per tahun.
Sebagai pegawai polisi bawahannya, Letnan juga bertugas dalam penegakan hukum dan penyelidikan kejahatan di kalangan bawahannya. Namun, baik ia maupun hakim di Riouw, jarang terganggu karena orang Cina di sini kebanyakan hanya berdagang dan berusaha. Mereka segera kembali ke negerinya dengan keuntungan kecil yang telah diperolehnya.
Penjualan Opium dan Barang Dagang
Di jalan utama pemukiman Cina ada ruang kecil berjeruji kayu untuk penjualan opium secara tunai oleh pegawai penyewa opium. Tidak ada toko opium resmi (opiumkitten) seperti di Jawa. Biasanya, opium dikonsumsi sendiri di rumah oleh orang Cina dan pribumi.
Hak eksklusif menjual opium, disewakan/ diberikan oleh pemerintahan lokal, meskipun tidak diakui oleh pemerintah Hindia Belanda dalam kontrak dengan pemerintahan setempat. Di wilayah lain, pemerintah Hindia Belanda mengambil alih sewa dari Sultan dan pungutan itu masuk kas negara.
Sewa opium di Poelau Toedjoeh hanya untuk kelompok Siantan dan Djemadja. Di pulau lain seperti Sedanau, Midai, Soebi, dan Poelau Pandjang, opium dijual oleh keluarga kerajaan yang terkait dengan kesultanan Riouw. Dahulu, juga di Bunguran, opium dijual oleh kepala pribumi yang sudah meninggal, sehingga kini opium tak lagi ada di pulau itu.
Selain opium, hak sewa juga termasuk penjualan tembakau dan pembelian serta ekspor tripang (teripang), sisik penyu, dan kerang mutiara (koelei). Hak ini disewa selama tiga tahun oleh penyewa Cina dari Singapura dengan harga $3500 per tahun ke Jang di Pertoewan Moeda dari Riouw.
Penyewa tidak boleh menjual opium dan tembakau melebihi harga tertentu. Penduduk juga wajib menjual hasil laut tersebut pada harga tetap. Namun penyewa sering menjual lebih murah demi konsumen dan keuntungan sendiri.
Saat kunjungan, opium dijual seharga $1,30 per thail, tembakau dijual ke pengecer seharga $13-$14 per bakoel yang kemudian mendapat untung $2-$3. Sedangkan pembeli langsung dari penyewa membayar $0,80 per kattie.
Untuk tripang, penduduk mendapat $5-$25 per pikol, sisik $1-$10 per kattie, koelei $0,01-$0,05 per buah. Penyewa mengatakan penjualan tahunan dari kelompok Siantan sekitar 1 pikol sisik, 6000 koelei, dan 30 pikol tripang.
Opium diproduksi sendiri oleh penyewa yang membeli bahan baku di Singapura dengan harga rata-rata $15 per bola, menghasilkan sekitar 26 thail opium dari satu bola. Karena menggunakan 5 kotak isi 40 bola setahun, diperkirakan penjualan opium mencapai 5200 thail per tahun di wilayah sewa tersebut.
Opium (tjandoe) hampir hanya dijual oleh orang Cina. Hanya sedikit orang Melayu dan Orang Laut yang menggunakannya. Sementara arak yang hak jualnya juga disewa, lebih diminum oleh Orang Laut dan tidak digunakan oleh orang Melayu. Penyewa arak membayar $200 per tahun dan menjual arak seharga $0,80 per gantang, dengan 19 gantang seberat satu pikol.
Baik sewa opium beserta monopoli yang termasuk di dalamnya, maupun sewa arak, disewakan kembali oleh penyewa untuk kelompok Djemadja kepada seorang pemilik toko Cina yang tinggal di Maras. Orang ini berhak memproduksi araknya sendiri atau mendatangkannya dari Singapura dan juga memproduksi opium, tetapi wajib mendapatkan opium kasar dari penyewa utama.
Di pulau-pulau lain, penjualan opium tidak besar. Di sana juga sedikit ditemukan pengguna di kalangan penduduk asli, dan pembeli utama tetap orang Cina.
Menurut penuturan para penjual, rata-rata penjualan tahunan di Genteng (Sedanau) adalah 600 thail, di Midai 300 thail, sedangkan di Soebi dan Pulau Pandjang bersama-sama antara 500 sampai 800 thail. Jumlah yang menurut kami agak berlebihan. Para penjual biasanya mendapatkan opium kasar dari Sarawak dengan harga $25 per bola, atau membelinya dari pengangkut tongkang dari Singapura.
Setelah bekerja, orang Cina di Terempa berkumpul di meja judi pemilik warung judi Cina yang membayar hak eksklusif untuk menggelar kegiatan seperti itu sebesar $100 per tahun kepada Jang di Pertoewan Moeda.
Jumlah itu kecil, menunjukkan bahwa di Poelau Toedjoeh ini, tidak banyak uang hilang karena judi.
Penduduk asli dilarang keras ikut berjudi, dan meskipun ada yang melanggar larangan, takut hukuman membuat kebanyakan menahan diri.
Pajak langsung juga dipungut oleh pemerintahan sendiri orang Cina, berupa sewa tanah untuk lahan yang mereka pakai dan biaya $0,75 per kojan kapasitas muatan kapal yang meninggalkan kepulauan. Jadi pemerintahan sendiri mendapatkan keuntungan keuangan dari orang Cina yang menetap di kepulauan ini.
Hubungan Melayu – Cina dan Budak Hutang
PENDUDUK asli juga mendapat manfaat dari keberadaan orang Cina karena toko-toko mereka menyediakan kebutuhan sehari-hari dan berbagai barang yang membuat kehidupan lebih nyaman. Mereka juga bisa menjual hasil kerja mereka dengan keuntungan kecil.
Jika penduduk butuh uang untuk kebun, rumah, kapal, memasang jerat ikan (kèlong), atau mengadakan pesta, orang Cina biasanya bersedia memberikan pinjaman, walau dengan bunga tinggi dan sering dibayar kembali dalam bentuk hasil pertanian dengan harga rendah. Hal itu sudah menguntungkan bagi orang Cina.
Penduduk pribumi lebih memilih cara ini daripada berutang pada sesama pribumi yang lebih kaya karena sering menimbulkan ketergantungan. Jika tidak mampu bayar utang, mereka akan menjadi budak utang (pandeling) dan harus bekerja untuk kreditur sampai lunas. Meski di beberapa tempat pekerjaan seperti itu diakui sebagai pelunasan utang, di tempat lain aturan itu tidak selalu dijalankan.
Di kelompok Anambas, budak utang bisa menyimpan separuh hasil kerjanya untuk digunakan bayar utang.
Di kelompok Boengoeran, budak utang harus mengembalikan uang pinjaman secara tunai. Jika gagal, utang beralih ke istri dan anak-anaknya. Biasanya kepala keluarga membayar utang ke kreditur dan peminjam menjadi budak utang kepala adat.
Pemerintah pribumi berusaha memberi kesempatan agar budak utang bisa melunasi atau mengurangi hutangnya lewat kerja keras.
Di kelompok Serasan dan Midai, aturan pelunasan seperti Boengoeran juga berlaku. Di Serasan, tinggal bersama kreditur tidak wajib. Budak utang hanya bekerja jika diminta dan mendapat makanan selama bekerja. Mereka bertanggung jawab sendiri atas keluarga, kecuali istri dan anak yang ikut bekerja dan diberi makan oleh kreditur.
Namun, kerja tidak mengurangi utang. Jika penghutang meninggal dan utang belum lunas, utang beralih ke istri, anak, atau keluarga yang mendapat keuntungan dari pinjaman. Di kelompok lain tinggal bersama kreditur wajib dilakukan.
Kondisi budak utang di sini, tidak dianggap aib. Mereka biasanya makan bersama majikan dari piring yang sama, menggunakan sirih rokok dari kotak yang sama, dan dianggap bagian keluarga. Tidak ada laporan perlakuan buruk. Di wilayah ini, jumlah budak utang tidak banyak karena masyarakat Melayu berusaha menghindari berutang pada sesama.
Perbudakan, sejauh kami tahu, sama sekali tidak ada.
Tentang kesehatan, Letnan Cina dan kepala adat Melayu mengeluh soal penyakit. Banyak korban terkena demam, kulit mati rasa, muntah, dan beri-beri.
Flora dan Fauna
SOAL flora dan fauna, hutan tua menutupi pegunungan pulau ini. Pantai yang tidak berbatu dihiasi hutan bakau dan rhizophora. Di daerah rawa, kebun sagu menggantikan hutan asli. Daerah kering dekat pantai dan lereng bukit ditanami kebun kelapa yang luas. Ada juga sawah di beberapa tempat, membuat warna hijau jadi bervariasi dan indah.
Dekat rumah, biasanya ada pohon aren dan berbagai pohon buah seperti jambu, sukun, mangga, dan durian. Banyak pohon hutan dimanfaatkan untuk kayu berkualitas seperti kempinis, resak, balau, leban, bintangoer, dan sena. Kayu sena (angsana) dipakai untuk membuat sarung keris karena warna indahnya. Bintangoer dipakai untuk membuat tiang kapal dan kerangka rumah karena ringan dan lentur.
Pulau ini tak punya sungai besar, hanya sungai kecil dengan air jernih, cukup untuk minum. Contohnya Soengei Baroek dan Soengei Poela yang berakhir di air terjun Teloeq Bara.
Fauna hampir sama seperti pulau lain. Tupai warna-warni yang ada di Djemadja tidak ditemukan di sini, tapi ada babi hutan yang merusak tanaman. Ada juga sapi liar yang kadang diburu untuk kebutuhan acara. Dahulu, hasil buruan sapi liar ini, dibawa ke penguasa pribumi dan dijual ke Letnan Cina. Unggas yang ada di sini, sering diganggu musang yang memangsa jenis ayam dan bebek di kampung-kampung.
DIKAWAL kepala adat, kita meninggalkan teluk Terempa dan menempuh jalur laut antara pulau Moeboer dan Matak. Jalur ini dalam dan berwarna hijau segar karena pohon kelapa yang tumbuh di lereng pulau. Gambar pantulan pohon di air membuat pemandangan makin cantik.
(*)
Bersambung
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Artikel ini diterbitkan sebelumnya di: bintorosuryo.com