- Nama : Sri Redjeki Chasanah
- Tempat/Lahir : Pare Pare, 8 Oktober 1938
- Saudara : Baharuddin Jusuf Habibie (Abang)
- Suami : Mayjend (Purn.) Soedarsono DarmoSoewito
- Pendidikan : Sekolah Asisten Apoteker (SAA) di Bandung.
Sri Soedarsono dan Pentingnya Sebuah Pendidikan
SRI Soedarsono dilahirkan pada tanggal 8 Oktober 1938 di Pare – Pare, Sulawesi Selatan. Oleh orang tuanya diberikan nama Sri Redjeki Chasanah.
Dalam bahasa Jawa, ‘Sri’ selalu digambarkan sebagai gadis muda yang cantik, ‘Redjeki’ adalah berkah yang diberikan Tuhan. Sedangkan ‘Chasanah’ dalam bahasa Arab berarti kebaikan. ‘Sri Redjeki Chasanah’, sebuah nama yang sarat arti ; seorang gadis muda yang cantik dan diharapkan membawa banyak berkah dan memberikan kebaikan.
Sebuah nama yang diberikan pasangan suami isteri – orang tua Sri Soedarsono – yang merupakan perpaduan nama Jawa dan Islami. Ini karena asal usul kedua orang tuanya. Ibunya adalah seorang asal Jawa, sedangkan sang ayah seorang lelaki muslim asal Sulawesi yang sarat dengan nuansa Islami. Oleh karena itu, tak heran jika kedua pasangan suami isteri itu memberikan nama untuk anaknya yang merupakan perpaduan antara bahasa Jawa dan nuansa Islami.
Sri memiliki delapan bersaudara dan beliau merupakan anak ke enam. Mereka terdiri dari Titi Sri Sulaksmi Mathofani, Sutoto Moh Duhri, Alwini Karsum, Baharuddin Jusuf, Junus Efendi, Sri Redjeki, Sri Rahayu, dan Suyatin Abd. Rahman.
Masa Kecil, Kemandirian dan Pentingnya Sebuah Pendidikan
KEHIDUPAN bahagia Sri bersama ayah dan ibu yang mencintai dan dicintainya tiba-tiba terengut pada 3 September 1950. Ayah Sri meninggal ketika Ibunya baru berumur 36 tahun dan sedang mengandung adiknya yang berumur tujuh bulan. Sedangkan saat itu, Sri sendiri baru 12 tahun.
Ia mengaku kurang merasakan peran dari ayah. Tapi ayahnya telah mendidik dalam kejujuran, kesempatan untuk belajar, menjalankan agama yang bagus, dan harus sekolah.
Setelah sang ayah meninggal, Sri dan saudara-saudara yang lain ditempa ibunya. Ibunya yang memegang kendali. Pendidikan ibunya begitu kuat.
“Anak-anaknya diajarkan untuk hidup mandiri, semua anaknya dididik untuk bekerja dan bisa melakukan segala hal” kenangnya.
Meski tidak gampang menanggung delapan orang anak, tetapi tekad ibunya, untuk mandiri dan begitu besar dalam mendidik anak-anaknya.
”Dia bekerja untuk membesarkan anak-anaknya,” lanjutnya mengenang sang ibu.
Sepeninggal ayahandanya, otomatis ibundanyalah yang menghidupi dan membesarkan kedelapan anak-anaknya. Dia telah bertekad untuk membesarkan anak-anaknya dan mewujudkan cita-cita almarhum suaminya untuk memajukan pendidikan bagi anak-anaknya.
Sebagai seorang yang telah ditinggal suami, tidaklah mudah. Bukan saja harus memikirkan biaya hidup sehari-hari, tetapi juga memikirkan masa depan dan pendidikan anak-anaknya. Masalah pendidikan inilah yang paling diutamakan. Menurutnya, pendidikan adalah warisan yang tak bisa ditawar-tawar lagi untuk masa depan anak-anaknya.
Ia sangat menyadari bahwa pendidikan adalah modal utama untuk membangun masa depan anak-anak yang lebih baik. Hal itu terutama ditujukan untuk anak laki-lakinya. Karena itu, tidak heran jika ibunya begitu sungguh-sungguh memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Ibunya sangat yakin, jika pendidikan anak-anaknya baik, maka kelak masa depannya akan lebih baik.
Pada tahun 1950, keluarga besar Sri pindah ke Bandung, sebuah kota yang pada akhirnya akan memberi pelajaran panjang dan turut menentukan sejarah dalam kehidupannya kelak.
Sri yang masih muda, tampaknya tidak saja ditempa menjadi perempuan mandiri di Bandung, melainkan selalu peduli memikirkan orang lain. Benih-benih jiwa sosial dan peduli dengan lingkungannya mulai berkembang dalam dirinya.
Seusai menyelesaikan pendidikan di SMP Ursula, dia melanjutkan ke Sekolah Asisten Apoteker (SAA) di Bandung. Dirinya memilih sekolah kejuruan di SAA lantaran ibunya tidak mampu menyekolahkannya ke perguruan tinggi. Karena itulah ibunya menyarankan untuk melanjutkan pendidikan ke kejuruan agar mudah bekerja.
Sang Ibu memang lebih memprioritaskan anak laki-lakinya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang perguruan tinggi. Sedangkan anak-anak perempuan di arahkan ke sekolah kejuruan.
Menikah dan Hidup Bersama Suami
SETELAH menyelesaikan pendidikan SAA, tak lama kemudian ia dilamar oleh seorang laki-laki bernama Soedarsono Darmosoewito (kelak, menjadi tokoh penting dalam merintis Batam menjadi daerah industri, pen).
Ketika itu, Soedarsono yang bekerja sebagai tentara menjadi ajudan Jenderal A. Haris Nasution atau biasa dipanggil Pak Nas. Sri Redjeki menerima lamaran Soedarsono, apalagi ibunya sudah menyetujui hubungan mereka.
Pernikahan tersebut dilangsungkan pada tanggal 18 Januari 1958 di rumah kediamannya di Bandung. Sejak itu resmilah Sri Redjeki Chasanah menjadi istri Soedarsono. Sejak itu pula namanya lebih dikenal sebagai Ny. Sri Soedarsono Darmosoewito.
Bahkan kemudian ia lebih akrab dipanggil Ibu Dar. Dari hasil pernikahan tersebut, mereka dikaruniai 4 orang anak yaitu tiga laki-laki dan si bungsu perempuan. Keempat anaknya itu yaitu Masmaryanto BA, DR. Ir. Ade Avianto Msc, Ir. Harry Rudiono, dan Drg. Sri Utami dan telah dianugerahi 13 cucu dan 2 cicit.
Sri Soedarsono tiba di Batam tahun 1978, hal tersebut terkait dengan tugas sang suami Mayjen TNI (Purn) Soedarsono Darmosoewito yang mengemban tugas sebagai Ketua Badan Pelaksana (Kabalak) Operasi Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (OPDIPB) yang kemudian menjadi Otorita Batam. Sang suami dipercaya Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie yang saat itu menjadi Ketua Otorita Batam sekaligus juga kakak iparnya, untuk membangun Batam sebagai kawasan sentra industri.
Sri Soedarsono sudah menyadari kondisi Batam yang masih perlu penanganan serius. Ketika suaminya diminta BJ Habibie untuk memegang Pulau Batam, ia sudah diberitahu tentang kondisi Batam. Akan tetapi sebagai seorang istri yang taat terhadap suami, ia selau siap mendampingi kemana saja sang suami berpindah tempat.
Aktif Dalam Kegiatan Sosial
SRI Soedarsono sudah aktif menjadi relawan sosial sejak tahun 1968. Pada saat sang suami masih menjadi seorang tentara, ia pernah menjadi Ketua Persit. Selain itu Sri Soedarsono juga pernah menjadi salah satu Ketua DNIKS.
Bu dar “sapaan akrabnya” selalu memunculkan hal-hal yang inovatif, khususnya dalam bidang kerelawanan sosial dan pendidikan serta kesehatan, pada tahun 1985 an, ia pernah melatih + 400 relawan di Batam.
Dalam kegiatan sosial, ia selalu mengembangkan sayapnya, hal ini ditandai di bidang kesehatan di tahun 1984. Berawal dari pemikiran bu Dar, untuk membantu meningkatkan taraf kehidupan masyarakat, khususnya kesehatan ibu dan anak di pulau Batam.
Kemudian dengan dukungan Dr.Soemarno, selaku Ketua Perhimpunan Budi Kemuliaan Jakarta, maka niat mulia itupun terwujud, dengan berdirinya Rumah Bersalin dan Balai Pengobatan Budi Kemuliaan Batam yang diresmikan oleh Menteri Kesehatan RI pada tanggal 8 Oktober 1984.
Balai Pengobatan dan rumah bersalin itu berusaha untuk memberikan pelayanan terbaik kepada semua lapisan masyarakat, termasuk di antaranya kelompok sosial masyarakat tertinggal (suku laut) dan masyarakat dari daerah yang sulit dijangkau; kelompok sosial resiko tinggi (penghuni kompleks WTS, pekerja kasar, buruh Industri). Bahkan saat ini pada lokasi-lokasi tertentu telah didirikan Balai Pengobatan Pembantu.
Sesuai dengan perkembangan dan tantangan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang lebih baik, maka pada tanggal 8 Oktober 1993, betepatan dengan hari jadinya yang ke-IX, Rumah Bersalin dan Balai Pengobatan mengembangkan diri menjadi Rumah Sakit Budi Kemuliaan – Batam.
RS. Budi Kemuliaan Batam tetap berpedoman pada tujuan awal serta selalu berusaha meningkatkan peran sertanya dalam pembangunan kesehatan bangsa melalui pelayanan dan penyiapan sumber daya manusia potensial dalam bidang kesehatan. RS. Budi Kemuliaan juga menyelenggarakan Pusat Penelitian dan upaya pencegahan penyakit menular seperti HIV/AIDS dan Hepatitis B bekerja sama dengan berbagai instansi terkait dalam dan luar negeri.
Selain di bidang Kesehatan, dalam bidang pendidikan, pada tahun 2008, suatu gagasan yang luar biasa juga telah muncul. Hal ini dengan didirikannya Sekolah Luar Biasa atau SLB Agro Industri yang mengajarkan anak berkebutuhan khusus dengan keterampilan di bidang industri pertanian. Sekolah itu dioperasikan di Desa Jambudipa, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat.
Sekolah SLB Agro Industri akan menjadi percontohan di tingkat nasional karena baru sekolah ini yang mengajarkan pertanian bagi anak berkebutuhan khusus. Yayasan Penyantun Wiyata Guna Sri Soedarsono adalah yang mendirikannya.
Bu Dar menyampaikan bahwa SLB itu nantinya menjadi sekolah berbasis inklusif yang menampung siswa berkebutuhan khusus dan siswa yang tidak mampu. Semua siswa akan diberikan keterampilan pertanian, seperti pertanian jamur dan sayuran serta pemeliharaan ayam, sapi, dan ikan.
Dalam bidang pendidikan di Batam, ia juga begitu konsen. Di sini, ia bersama beberapa teman seperjuangan mendirikan Ikatan Keluarga Batam (IKB) yang selanjutnya berubah menjadi Yayasan keluarga Batam (YKB). Lembaga ini yang merintis sekolah-sekolah Kartini hingga terus berkembang seperti sekarang, seiring perkembangan Batam dari pulau sepi menjadi sebuah kota industri.
(sus/dha)