ANGGOTA DPRD Kepri, Taba Iskandar akhirnya mau membuka ihwal persoalan pengembangan Pulau Rempang yang bermula sejak 2004 lalu. Saat itu, ia yang menjabat sebagai Ketua DPRD Batam mengatakan proyek yang sekarang (Eco-City Rempang) tidak ada kaitannya dengan proyek Kawasan Wisata Terpadu Eksekutif (KWTE).
“Tidak ada lanjutan proyek yang sekarang (Eco-City Rempang) dengan proyek KWTE tahun 2004. Investasi KWTE ini terkait pariwisata, dimana konsepnya akan membangun destinasi pariwisata seperti di Genting Higland (Malaysia) atau Sentosa (Singapura),” paparnya, Selasa (12/9/2023) di Batam Centre.
Taba mengatakan persoalan Rempang ini dimulai dari Surat DPRD Batam 17 Mei 2004, yang menyetujui investasi PT Makmur Elok Graha (MEG). DPRD Batam memberikan respons positif kepada Pemerintah Kota (Pemko) Batam yang ingin mengembangkan Pulau Rempang menjadi kawasan perdagangan, jasa, industri, dan pariwisata dengan konsep Kawasan Wisata Terpadu Eksekutif atau KWTE.
Pada 26 Agustus 2004, pengusaha Tommy Winata, pemilik PT MEG meneken kerja sama dalam bentuk nota kesepahaman dengan Pemko Batam. Walikota Batam ketika itu adalah Nyat Kadir.
Ismeth Abdullah ketika itu menjabat penjabat Gubernur Kepulauan Riau (Kepri) ikut menyaksikan langsung penandatangan perjanjian kerja sama di lantai empat Kantor Pemko Batam. Kerja sama juga mencakup membuat studi pengembangan Pulau Rempang.
Dalam berbagai kesempatan, Kepala BP Batam, Muhammad Rudi menyatakan bahwa proyek Eco-City Rempang merupakan lanjutan dari proyek 2004, dengan pengembang yang sama, yakni PT MEG.
“Saat itu, memang dilakukan kerja sama antara BP, Pemko dan PT MEG. DPRD Batam hanya beri rekomendasi saja, dengan landasan Peraturan Daerah (Perda) KWTE. Jadi semua kegiatan hiburan malam dipindahkan ke Rempang, tapi ke Rempang Laut yang pulaunya terpisah dari daratnya,” paparnya lagi.
Status lahan Pulau Rempang saat itu juga masih belum Hak Pengelolaan Lahan (HPL) atas nama BP Batam maupun Pemko Batam. Saat itu masih status quo, jadi masih tanah negara ada hutan lindung dan lainnya,” ungkapnya lagi.
Setelah itu karena ketiadaan infrastruktur di Rempang, Pemko Batam memberikan lokasi sementara di Marina Batam selama 5 tahun untuk pengembangan KWTE. Namun setelah itu Kapolri saat itu, Sutanto beranggapan bahwa kawasan wisata tersebut akan dibuat tempat judi.
“Maka batal Perda KWTE dan perjanjian kerja sama tersebut selesai, dan tidak ada lanjutan hingga sampai proyek Eco-City ini,” paparnya.
PT MEG masuk melalui pemerintah pusat, dan kembali mendapat hak mengelola Pulau Rempang, namun dengan jenis proyek yang berbeda. Proyek Eco-City Rempang lebih mengutamakan investasi industri yang didukung oleh pariwisata.
“Perbedaan lainnya KWTE itu program lokal, sedangkan proyek Eco-City ini Program Strategis Nasional (PSN),” jelasnya.
(leo)