“Dari arah mana pun kita mendekati pulau ini, bentuknya selalu seperti potongan lingkaran; tanahnya landai ke arah tengah. Diperkirakan sekitar 150 sampai 200 meter di atas permukaan laut.”
…
“Pulau ini tidak memiliki jalan setapak. Hubungan antar masyarakat dilakukan melalui jalur laut atau sepanjang pantai yang mudah dilewati. Rumah Radja Alias berada di pantai timur, dapat dicapai dari Sabang Barat dalam 2 hingga 4 jam.” (A.L. Van Hasselt/H. J. E. F. Schwartz – De Poelau Toedjoeh In Ei Et Zuidelijk Gedeelte Der Chineeschen Zee)
Oleh: Bintoro Suryo
PULAU Laut di Kepulauan Natuna, saat ini merupakan sebuah kecamatan dengan beberapa pulau, termasuk pulau itu sendiri sebagai yang terbesar. Wilayah ini menjadi salah satu wilayah kecamatan terluar yang berbatasan langsung dengan Malaysia dan Vietnam. Luas wilayah ini sekitar 37,58 km2.
Pulau Laut dikelilingi gugusan terumbu karang, yang membuat sulitnya akses menuju lokasi pada masa lalu. Pada masa pencatatan oleh Hasselt & Schwartz pada 1898, wilayah yang disebut sebagai bagian kepulauan Tujuh itu, masih memasukkan Midai sebagai salah satu wilayah bagiannya.
Hampir seluruh akses hubungan antar masyarakat kala itu, bertumpu pada jalur laut yang menghubungkan antara satu kampung ke kampung lainnya.
Pemerintahan pribumi wilayah Pulau laut masa itu ditangani oleh Raja Alias, merupakan putera Raja Endut. Dalam beberapa catatan, Raja Endut dikenal juga dengan nama Raja Haji Umar Tengku Endut. Ia merupakan orang pertama yang dilantik oleh Yang Dipertuan Muda Riau menjadi Amir (Ketua Pemerintahan wakil raja) di seluruh Tokong Pulau Tujuh.
Berikut bagian keenam dari catatan Hasselt & Schwartz dalam dokumen mereka : De Poelau Toedjoeh In Ei Et Zuidelijk Gedeelte Der Chineeschen Zee.
SEKITAR tiga mil Inggris di selatan Tandjoeng Majan, ujung barat Laoet, kami berlabuh. Pulau itu sulit didekati karena alur berliku dan terumbu karang. Dulu, wilayah ini jadi tempat perlindungan bajak laut. Kini tidak lagi ada pembajakan. Hanya sisa banyak kapal karam. Penduduk masih mendapati banyak barang-barang di kapal-kapal itu. Bahkan, rumah-rumah mereka banyak dibuat dari kayu gelondongan kapal karam.
Ada sekitar 900 jiwa penduduk yang hidup di wilayah ini. Terutamanya, mereka bergantung hidup dari sagu dan buah sukun (Artocarpus incisa) yang memang melimpah di pulau itu. Beras biasanya dibawa masuk sebagai tukar hasil laut. Harganya sekitar 5-6 dolar per pikol.
Kami mengunjungi kepala pemerintahan pribumi di wilayah ini, Datoeq Maharadja Lella Mohamad Taib, dan memberikan piala perak berharga dari Pemerintah Amerika Serikat sebagai penghargaan atas bantuan tulusnya kepada korban kapal dagang Amerika yang karam di karang dekat Sematoeng beberapa waktu lalu.
Tapi, dia tampak kurang senang dengan hadiah itu, yang seperti bendera di perahu reyot. Mungkin uang dalam jumlah besar akan jauh lebih dia hargai.
Setelah berlayar sepuluh jam dengan arah hampir ke selatan, kami tiba di Sedanau, tempat Radja Machmoed dan rombongannya berpamitan untuk kembali ke kampung Genteng.
Raja Alias di Kampung Midai
KEMUDIAN kami melanjutkan perjalanan ke selatan menuju Pulau Midai, satu-satunya daratan yang terletak agak lebih ke utara di tengah teluk besar yang dibatasi oleh Kepulauan Anambas, Natoena, Serasan, Tambelan, dan sebagian pantai barat laut Kalimantan.
Dari arah mana pun kita mendekati pulau ini, bentuknya selalu seperti potongan lingkaran; tanahnya landai ke arah tengah. Diperkirakan sekitar 150 sampai 200 meter di atas permukaan laut.
Dari tempat kami berlabuh, sekitar dua puluh menit mendayung ke kampung Sabang Barat di pantai barat, kami masih bisa samar melihat puncak tertinggi Boengoeran dan Kepulauan Duperré di kejauhan. Selain itu, di sekitar pulau hanya ada udara dan laut. Pulau ini benar-benar terisolasi dan berbeda dari pulau-pulau yang kami kunjungi sebelumnya.
Tanahnya ditutupi lapisan tanah liat coklat yang subur. Sedikit ditemukan batu atau bongkahan batu yang tersebar seperti di tempat lain. Kesuburan pulau ini membuat orang laut (orang laoet) yang hidup tenang di sepanjang pantai dengan perkebunan kelapa yang cukup luas, sekitar delapan tahun lalu, menerima seorang anak raja bernama Radja Alias, putra Radja Endoet dari Sedanau, yang ditempatkan oleh Jang Dipertoewan Moeda di Riouw untuk mengembangkan pulau ini.
Jumlah orang laut sekarang sekitar 250 jiwa. Mereka tersebar di tiga atau empat pemukiman, dengan wilayah yang terpenting di Sabang Barat dan Ajer Koempai di pantai utara.
Bersama Radja Alias saat awal mula ditugaskan di wilayah ini, datang beberapa orang Melayu yang kemudian bertambah banyak sehingga kini jumlah mereka hampir sama dengan orang laut.
Di lahan yang belum dikelola orang laut, tanah diberikan kepada keluarga Melayu seluas 50 hasta lebar dan 500 hasta ke dalam daratan, untuk menanam tanaman seperti rempah, sayur, dan sekitar 1000 pohon kelapa per keluarga.
Dari hasil panen, 20% harus diserahkan ke pemerintah pribumi. Orang laut dikenakan pajak yang sama atas tanaman mereka. Sementara mereka juga harus menyerahkan sepertiga bagian dari sagoe yang mereka hasilkan.
ORANG laut yang sudah menganut Islam karena pengaruh Radja Alias, sama seperti orang Melayu, wajib membayar pajak kepala keluarga. Orang Melayu membayar $1,5 per keluarga dan $0,75 untuk yang masih lajang.
Sementara Orang laut membayar $2 per keluarga. Orang laut yang masih lajang, tidak dikenai pajak. Tapi mereka harus bekerja sebagai nakhoda atau pembuat perahu.
Dulu, orang laut bisa menjual hasil laut mereka dengan bebas. Tapi sekarang, hasil tangkapan dibeli oleh radja atau lebih banyak lagi oleh pedagang Tionghoa di Sabang Barat. Mereka biasanya membayar $20 per pikol tripang, $2 sampai $7,5 per kattie penyu, dan $3 sampai $3,2 per pikol kopra.
Karena pembukaan lahan semakin luas, tangkapan penyu berkurang drastis akhir-akhir ini. Beberapa tahun lalu, ekspor sisik penyu mencapai lebih dari tiga pikol per tahun. Sekarang tidak ada lagi.
Namun, produksi kelapa meningkat pesat. Beberapa orang memiliki kebun luas. Tiga anak radja disebut memiliki lebih dari 40.000 pohon kelapa bersama-sama.
Pedagang Sang Hai Soei dari usaha firma Kim Wan Ho Singapura mengelola bisnis dengan lima staf di sini. Mereka memasok kebutuhan sehari-hari seluruh penduduk dan mendapatkan bebas sewa tanah untuk toko dan rumahnya sebagai imbalan atas jasanya kepada radja.
Beras yang diimpor dan sagu adalah makanan pokok penduduk di sini.
Para wanita menganyam tikar dari daun pandan dan membuat gula aren untuk keperluan sendiri. Hasilnya, ada juga yang dijual secara lokal. Gula hasil produksi penduduk, biasanya disimpan dalam kendi besar sebagai sirup kental atau dimasak lebih pekat dalam bambu.
Di sepanjang pantai dan lebih ke dalam, pohon kelapa tumbuh subur dan mulai berbuah pada tahun keenam. Menurut Radja Alias, ada percobaan menanam padi, kopi Jawa dan Liberia, jagung, serta tanaman ladang lainnya yang sukses. Tapi penduduk tetap lebih memilih menanam kelapa karena lebih mudah.
Pulau ini tidak memiliki jalan setapak. Hubungan antar masyarakat dilakukan melalui jalur laut atau sepanjang pantai yang mudah dilewati. Rumah Radja Alias berada di pantai timur, dapat dicapai dari Sabang Barat dalam 2 hingga 4 jam.
Kami kemudian mengutus utusan untuk memanggil Radja tersebut. Sementara menunggu, kami mengunjungi kampung dan melengkapi koleksi kami.
Kampung yang hanya dihuni orang laut yang sudah Islam ini, berisi tujuh rumah yang berjauhan.
Di salah satu rumah, tampak sebuah mesin bubut sederhana tempat pemiliknya sedang membuat gasing dari bentuk pipih dengan bawah tumpul, cocok untuk dimainkan anak-anak di tanah berpasir. Kami membeli salah satu gasing itu dengan harga empat sen dolar.
Jenis Flora Di Kepulauan Laut
DI belakang kampung, mulai terlihat hutan liar. Dimulai dengan semak rendah dengan beberapa lahan yang sudah dibuka, lalu hutan lebat yang belum tersentuh.
Kami melihat kawanan besar lalat hitam di pantai Midai yang bahkan lebih banyak daripada kamp Arab di Port Said. Ribuan lalat itu membuat jas putih kami berubah menjadi berwarna hitam karena banyak yang menempel di pakaian kami.
Di antara semak-semak, kami menangkap beberapa kupu-kupu, termasuk jenis baru (natunensis Snell.) dari Hestia leuconoe Erichs., yang menarik perhatian karena ukuran dan coraknya saat melayang lambat di antara semak.
Kami juga menemukan sedikit kumbang. Tapi banyak juga laba-laba Nephila maculata, seperti yang kami lihat juga di Boengoeran. Laba-laba itu sangat banyak, hingga mudah mengumpulkan sebatang benang sutra emas kuat sepanjang seratus meter yang mereka gunakan buat jaring. Banyaknya laba-laba ini menunjukkan bahwa mereka hampir tidak punya musuh di pulau ini. Burung pemangsa dan serangga besar juga sedikit.
Penduduk bilang tidak ada babi hutan di Midai. Tapi banyak tikus dan tupai yang menyebabkan kerusakan pada tanaman.
Setelah pembicaraan dengan Radja Alias yang tiba menggunakan perahu layar selesai, kami kemudian mengangkat jangkar dan mengarahkan kapal ke timur menuju kelompok pulau Soebi di Kepulauan Selatan Natoena. Setelah sepuluh jam berlayar, kami tiba di Pulau Pandjang, pulau datar yang terletak di tengah antara Soebi dan Serasan.
(*)
Bersambung
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Artikel ini diterbitkan sebelumnya di: bintorosuryo.com


