“Pesawat televisi model tabung di rumah yang telah menemani saya dan keluarga selama lebih 25 tahun, hampir tidak pernah hidup lagi. Walaupun kami melanggani Indihome dan membayarnya tiap bulan sebagai bundling fasilitas internet di rumah.“
…
“Tanpa regulasi yang jelas dan relevan, industri media penyiaran konvensional, akan terus mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan perubahan teknologi dan perilaku masyarakat, serta melawan gelombang ‘siaran baru’ di berbagai platform digital itu.“
Oleh: Bintoro Suryo
KABAR efisiensi banyak stasiun televisi konvensional beberapa hari ini, rasanya tak begitu mengejutkan lagi. Sebagian orang bahkan menganggapnya ‘angin lalu’, tidak peduli atau merasa kehilangan. Kelompok pemirsa yang dulu begitu setia memelototi layar-layar kaca tv konvensional itu, pada kenyataannya makin sedikit. Mereka tergerus usia.
Pun walaupun mereka telah dihijrahkan ke sistem digital versi pemerintah menggunakan kanal frekuensi multiplexing sejak beberapa tahun kemarin.
Peralihan teknologi siaran itu, diharap dapat jadi penyelamat bagi industri televisi konvensional yang berbasis analog. Namun nyatanya, tak cukup kuat menahan gelombang disrupsi. Cara bersiaran dari platform digital lain yang lebih friendly dan interaktif, membuat solusi Pemerintah itu kurang dilirik. Teknologi siaran digital multiplexing, bahkan cenderung jadi ‘kuburan massal’ bagi para pelaku industri siaran konvensional.
Generasi baru, lebih kenal siaran di platform digital lain seperti TikTok, YouTube, Facebook, NetFlix, Vidio. Bahkan CatchPlay atau WeTV. Mereka memirsainya dari layar-layar kecil di ponsel pintar masing-masing. Atau dari perangkat teknologi TV Pintar yang makin tak bersahabat dengan cara bersiaran stasiun televisi konvensional itu.
Disrupsi teknologi telah mengubahnya
“Ini Google TV, simpel. Tinggal hidupkan, terhubung WIFI, kita sudah bisa menyaksikan tayangan tv, film dan juga berbagai konten menarik. Nggak perlu antena atau setup box”, kata seorang sales elektronik ke saya beberapa waktu lalu.
Terus terang, saya ketinggalan sekali dengan teknologi ini. Paling tidak sejak hampir 10 tahun terakhir. Pesawat televisi model tabung di rumah yang telah menemani saya dan keluarga selama lebih 25 tahun, hampir tidak pernah hidup lagi. Walaupun kami melanggani Indihome dan membayarnya tiap bulan sebagai bundling fasilitas internet di rumah.

Kebiasaan baru sejak 10 tahun terakhir yang lebih banyak mengakses informasi dan hiburan dari gadget ponsel secara personal, membuat pesawat televisi merk TOSHIBA itu mati suri. Masing-masing kami sibuk dengan cara sendiri-sendiri dalam mengakses hiburan dan informasi. Anak-anak yang sekarang beranjak besar, lebih banyak melakukannya di dalam kamar saat berada di rumah.
Baca juga : ‘Revolusi itu tidak Ikut Patron’
Baru beberapa bulan ini saya menyadari ruang keluarga kami begitu sunyi. Saat pulang ke rumah, rasanya hanya saya yang masih betah berlama-lama di ruangan yang dulu ramai ini.
Disrupsi, ternyata juga telah mengubah cara hidup kita, ya?
Saat coba menghidupkan kembali pesawat televisi tabung tua kami itu untuk memecah sunyi, tidak ada respon sama sekali. Mungkin rusak tanpa kami tahu selama ini.
“Nah, bapak coba. Simpel, kan? Udah nggak zaman pakai-pakai antenna atau setup box. Ini mudah sekali, semua dapat”, kata seorang sales elektronik memberi keyakinan, saat saya mengunjungi tokonya beberapa waktu lalu.
Tidak bisa dipungkiri, teknologi televisi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita sehari-hari selama beberapa dekade ini. Namun, ia terus berkembang. Teknologi yang disebut sang sales, memang menawarkan pengalaman menonton yang lebih baru serta interaktif.
Dengan perangkat smart TV, seperti Google TV itu, penggunanya bisa menjalankan aplikasi yang disuguhkan pelaku industri masa kini seperti Netflix, YouTube, dan lain-lain. Pengguna juga bisa menikmati konten hiburan yang lebih beragam. Mulai film, acara TV, musik, dan game.
Para pelaku industrinya masa kini, menjalankan pola yang berbeda dengan para pengelola stasiun televisi konvensional di masa sebelumnya. Fitur seperti rekomendasi konten berdasarkan preferensi pengguna, menjadi salah satu yang menggilas sistem penyiaran konvensional yang dominan searah. Tayangan dari stasiun televisi konvensional, tetap juga bisa diakses di perangkat itu. Tapi, sepertinya bukan lagi prioritas utama pengguna.
Iseng-iseng, saya membuka ponsel untuk menanyakan pertimbangan tentang sugesti yang disampaikan si sales tersebut dari sisi pengguna. Pertanyaan saya kirim ke AI. Jawabannya begini:
“Jika Anda masih menggunakan perangkat TV konvensional, mungkin sudah waktunya untuk mempertimbangkan upgrade ke Smart TV seperti Google TV.”
Ya, saya setuju. Saya pikir, ruang keluarga kami memang sudah seharusnya dikembalikan ramai lagi. Dengan teknologi yang lebih baru. Menjadi pusat pertemuan keluarga sehari-hari lagi. Sebagai pengguna, saya memutuskan berdamai dengan kemajuan teknologi.
DUNIA media massa televisi konvensional sedang mengalami krisis berat. Setelah media surat kabar konvensional yang dulu sempat jadi sumber informasi utama masyarakat.

Selain karena era yang telah berubah, faktor lain yang memperparah krisis adalah regulasi penyiaran yang sudah ketinggalan zaman. Undang-undang penyiaran yang ada, tidak lagi relevan dengan perkembangan teknologi dan industri media saat ini. Rancangan perubahan undang-undang (RUU) penyiaran yang diharapkan dapat menjawab tantangan zaman dan pijakan bisnis media penyiaran, masih jalan di tempat.
Pembahasan RUU penyiaran telah berlangsung lama. Namun hingga tahun 2025 ini, undang-undang baru penyiaran belum juga disahkan. Sementara, gelombang disrupsi media televisi telah terjadi dan akan terus menggelinding seperti bola salju.
Industri penyiaran digital di luar platform pemerintah yang disiapkan untuk tempat berkiprah media televisi konvensional, melahirkan model penyiaran baru yang lebih fleksibel dan interaktif. Platform seperti YouTube, Netflix, dan beberapa lainnya telah mengubah cara masyarakat mengonsumsi informasi dan hiburan.
Mereka menawarkan konten yang lebih personal dan dapat diakses kapan saja dan di mana saja.
Jika stasiun televisi konvensional bersiaran dengan cara ‘meminta waktu’ pemirsanya dengan jadwal dan rundown program yang tersusun rapi, penyiaran model baru lebih fleksibel. Mereka tidak ‘meminta waktu’, tapi ‘mencuri waktu’.
Dengan algoritma yang tersedia di berbagai platform, mereka bisa menyesuaikan berdasarkan minat dan prilaku pengguna. Konsep ‘mencuri waktu’, pada akhirnya justeru membuat penggunanya makin addict, scroll terus sampai lupa waktu!
Tanpa regulasi yang jelas dan relevan, industri media penyiaran konvensional, akan terus mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan perubahan teknologi dan perilaku masyarakat, serta melawan gelombang ‘siaran baru’ di berbagai platform digital itu.
Netizen sebagai Produser Konten
NETIZEN juga telah menjadi produser konten yang signifikan di berbagai platform seperti YouTube, TikTok, dan Instagram. Dengan biaya produksi yang minim, mereka dapat menciptakan konten yang lebih mengena ke selera pemirsa. Mereka dapat menjangkau audiens yang lebih luas dan membangun komunitas yang loyal.
Industri digital penyiaran seperti ini memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan industri yang konvensional. Pun, walaupun mereka telah beralih ke siaran digital multiflexing milik pemerintah itu.
Pertama, biaya produksi yang lebih rendah memungkinkan lebih banyak orang untuk menjadi produser konten. Kedua, platform digital memungkinkan konten untuk diakses secara global, sehingga meningkatkan potensi audiens. Ketiga, industri digital dapat lebih mudah beradaptasi dengan perubahan perilaku masyarakat dan teknologi.
Demokratisasi Konten di Era Baru
HAL ini menjadi yang paling tak terbantah dan sulit disesuaikan oleh pelaku industri penyiaran konvensional saat ini. Industri penyiaran konvensional lebih padat modal, kru serta model produksi yang komplek. Produksi siarannya juga bergantung pada regulasi yang rumit. Mulai regulasi pemerintah dan keinginan para pemodal.

Berbeda dengan produksi konten oleh para netizen dan pemain baru di wilayah industri ini. Mereka telah mengambilalih perhatian masyarakat untuk lebih memirsai-nya. Tayangan bisa terpublikasi populer Melalui berbagai platform yang tersemat di gadget pengguna. Produksinya juga simpel. Dengan cara ini, seseorang atau sebuah issue, bisa saja menjadi terkenal atau viral hanya dengan perangkat seadanya. Sedikit kru, bahkan diproduksi dari dalam kamar, bukan studio yang mahal perawatan! Mereka juga bisa membuat tayangan hiburan dengan bajet jauh lebih kecil!
Kini, tiap orang bisa punya stasiun televisi sendiri!
DUNIA media massa konvensional memang sedang mengalami perubahan besar. Untuk bertahan dan berkembang di era digital ini, perlu regulasi penyiaran yang relevan dan efektif. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan stakeholders untuk segera menyelesaikan RUU penyiaran dan mengupdate regulasi penyiaran agar industri media penyiaran konvensional ini bisa bersaing atau mungkin menyatu dengan pemain baru di era yang juga baru ini.
Walau sebenarnya hal itu juga tidak bisa menjamin mereka terus bertahan. Paling tidak, ada secercah harapan dan upaya untuk menyelamatkan industri ini.
(*)
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Artikel ini diterbitkan sebelumnya di: bintorosuryo.com