WAYANG Bangsawan atau Teater Bangsawan (Jawi: بڠساون) adalah teater rakyat tradisional yang berkembang di Kepulauan Riau dan Kepulauan Lingga. Kesenian ini juga berkembang di kawasan Malaysia dan Brunei Darussalam.
Teater Wayang Bangsawan dapat dimainkan semua lapisan masyarakat, dari nelayan hingga guru. Teater ini adalah pertunjukan stambul atau komedi yang menggabungkan musik, drama dan tari serta mengangkat kisah-kisah di lingkungan istana.
Cerita-cerita yang sering diangkat adalah kisah tentang Hang Tuah Lima Bersaudara, Sultan Mahmud Mangkat Dijulang dan Laksamana Bintan.
Asal Mula
MENURUT sejarah, teater ini dikembangkan oleh masyarakat Persia atau Parsi yang pindah ke India karena pertentangan ideologi di tanah airnya. Teater ini lalu berkembang di Pulau Pinang, Malaysia, dan menyebar pula ke Indonesia, termasuk Riau, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Selatan, tetapi teater ini lebih lekat dengan kebudayaan Kepulauan Riau.
Pemberian nama bangsawan ada beberapa versi, di antaranya ada mengatakan bahwa kemunculan nama bangsawan bermula dari Mohammad Puisi yang tinggal di Pulau Penang. Ia menamakan kelompok keseniannya itu Pushi Indra Bangsawan of Penang. Nama kelompok kesenian tersebut bukan bangsawan, melainkan mendu.
Penyebaran nama bangsawan justeru berasal dari kumpulan seni drama yang berasal dari masyarakat Melayu yang berdiam di Kesultanan Melayu, wilayah pesisir timur Sumatra, seperti Deli, Langkat, dan daerah Kalimantan Barat, Riau, hingga Kepulauan Riau. Pendapat lain mengatakan bahwa nama bangsawan itu dipakai karena hampir semua ceritanya mengenai raja-raja. Mungkin karena itulah seni pertunjukan tersebut dipelihara oleh hampir di semua istana Kerajaan Melayu.
Persebaran kesenian bangsawan di wilayah pesisir timur Sumatra dan beberapa daerah Kesultanan Melayu selalu mengalami pasang surut dan sering dalam pertumbuhan dan sejarah perkembangannya hingga saat ini meredup, bahkan sudah banyak punah dari dunia pentas/ pertunjukan masyarakat Melayu.
Wayang Bangsawan di Kepulauan Riau
LAIN halnya dengan perkembangan kesenian ini di wilayah Kepulauan Riau, khususnya Kabupaten Lingga, kesenian bangsawan tumbuh subur walaupun tetap mengalami pasang surut. Kesenian bangsawan tetap menjadi salah satu khazanah tradisional di Kabupaten Lingga.
Kesenian bangsawan lebih dikenal dengan nama sandiwara bangsawan yang tumbuh dan berkembang di Kabupaten Lingga Ada beberapa kelompok seni/sanggar yang mengkhususkan kelompok mereka bergerak dalam bidang kesenian bangsawan. Pemerintah Pusat, melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan, juga memberikan perhatian khusus terhadap kehidupan sanggar di daerah Lingga serta melestarikan budaya yang tumbuh dan berkembang di daerah tersebut.
Kesenian bangsawan sebagai seni pertunjukan tradisional dalam masyarakat Melayu memiliki karakteristik dengan seni pertunjukan lainnya. Di antaranya tampak dari kemampuan para pemainnya melakukan improvisasi dalam setiap dialog dan adegan.
Akan tetapi alur cerita tetap pada ketertiban “napas naskah” atau tidak menyimpang dari tema (pemikiran) yang disampaikan. Selain itu, kemampuan para pemain dalam melakukan “olah kata dan rasa” dan dialog yang bernuansakan Melayu sarat akan pantun, syair, serta banyolan yang menghibur khalayak penonton.
Bentuk kesenian bangsawan terkadang disebut dengan istilah teater bangsawan, tetapi bagi masyarakat Lingga lebih akrab disebut sandiwara bangsawan.
Berbagai istilah atau nama pertunjukan bangsawan yang berbeda-beda memang tidak terjadi saat ini, tetapi telah menjadi serpihan sejarah sejak awal kemunculan. Untuk itu, misalnya, ada yang menyebutnya sebagai wayang bangsawan, tonil, stambul, dan opera (Zulkifli Harto dan Suarman, 2015).
Satu tradisi pertunjukan teater dalam perkembangannya, yang merupakan salah satu warisan budaya tak benda dalam khazanah masyarakat Melayu di Kepulauan Riau, khususnya di Kepulauan Lingga, adalah kesenian teater bangsawan. Dari perkembangan tersebut, konon Pulau Pinang di Semenanjung Tanah Melayu dahulu merupakan sebuah kota yang banyak dihuni oleh penduduk yang berasal dari India (bagian selatan).
Setelah itu, tersiar kabar (dalam Tusiran Suseno, dkk.) bahwa suatu rombongan wayang dari India cukup lama menetap di situ. Karena corak seni pertunjukan mereka belum pernah dikenal sebelumnya oleh masyarakat setempat, perkumpulan atas koloni India tersebut mudah/cepat terkenal dan menjadi anutan masyarakat.
Kala itu penduduk menamakan kelompok kesenian tersebut Wayang Indra Sabor. Meski pertunjukan dilakukan dalam bahasa India, yang notabene penonton tidak mengerti bahasanya, mereka menyenangi pertunjukan tersebut. Namun, disayangkan, kelompok tersebut tidak bertahan lama.
Dalam menyoal tradisi pertunjukan teater, dalam hal ini khususnya teater bangsawan, Direktorat Interanalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya (Zulkifli Harto dan Suarman, 2015) mengatakan bahwa tradisi tersebut merupakan seni pertunjukan tradisional yang masih diminati oleh masyarakat pemiliknya sekalipun dalam perkembangannya mengalami pasang-surut.
Berkat kecintaan masyarakat serta peran aktif pemerintah daerah, kesenian tradisi tersebut masih dapat disaksikan. Tentunya juga berangkat dari suatu harapan bahwa kesenian tradisional, khususnya teater bangsawan dapat menjadi bagian dari sumber nilai dalam rangka membentuk karakter dan martabat masyarakat, khususnya generasi muda.
Penegasan selanjutnya ditambahkan oleh Khamarul Zaman bahwa gambaran umum cerita bangsawan—kalau boleh dikatakan asumsi pemikiran secara keseluruhan—merupakan penggambaran situasi Kerajaan Daik Lingga Riau. Tepatnya ialah seorang panglima yang bergelar guru, yang senantiasa mencurahkan seluruh “keilmuannya” hingga tuntas kepada anak buahnya. Guru tersebut bersama anak buahnya yang berprinsip keberanian “bersama-sama mati”, yang selanjutnya menjadi sumber cerita yang mengacu pada Sumpah Melayu Riau.
(ham/sus)
Sumber : Kemendikbud RI