KONFRONTASI identik dengan peperangan dan kekuatan Angkatan Bersenjata.
Catatan sejarah, Indonesia juga sempat terlibat konfrontasi dengan negeri jiran, Malaysia. Tahun 1964, misalnya. Pasukan Indonesia mulai menyerang Semenanjung Malaya dan pada bulan Mei di tahun yang sama, dibentuk Komando Siaga untuk mengkoordinasikan perang dengan Malaysia.
Operasi tersebut dikenal dengan nama Operasi Dwikora.
Pada kurun waktu tersebut, wilayah perairan Kepulauan Riau mulai banyak didatangi pasukan-pasukan militer Indonesia yang tergabung dalam Korp Komando Operasi Indonesia atau lebih dikenal dengan KKO Indonesia.
Wilayah Nongsa menjadi daerah pendaratan Pasukan Katak dan banyak kapal perang TNI Angkatan Laut berjajar di perairan itu. Pasukan Katak dilengkapi dengan senjata dan peralatan perang lainnya. Masyarakat pesisir di sekitarnya mengenal mereka dengan sebutan pasukan Amphibi.
Selain Nongsa, padukan Amphibi juga banyak yang mendarat di daerah Batu Besar di semitaran Tanjung Bemban dan juga Teluk Mata Ikan.
Warga di wilayah-wilayah tersebut, mengalami masa konfrontasi karena wilayah mereka berhadapan langsung dengan Johor yang menjadi basis pertahanan Malaysia.
Jarak tempuh laut menuju Johor juga cukup singkat. Sekitar satu jam dengan perahu rakyat.
H. Abdul Wahab Madiun, seorang tokoh masyarakat di Batu Besar di era sekarang, adalah penduduk asli Batu Besar yang sempat mengalami masa-masa konfrontasi itu. Di buku Mengungkap Fakta Pembangunan Batam, ia mengisahkan bahwa para prajurit KKO banyak ditemui di setiap pos yang berjarak beberapa puluh meter di Batu Besar.
Banyak dari mereka yang ikut berbaur dengan masyarakat setempat. Namun, ada pula yang tidak berinteraksi. Tetapi memberlakukan pengawasan kepada setiap warga masyarakat. Itu terlihat saat prajurit memeriksa memeriksa barang bawaan atau dagangan para penduduk setempat.
Kondisi itu tidak hanya terjadi di darat. Tapi juga di laut fengan memeriksa barang-barang di sampan atau pompong penduduk, tanpa terkecuali.
Kenyataan itu juga sejalan dengan pernyataan seorang mantan anggota pasukan katak TNI AL, Iin Supardi seperti dikutip dari Kompas edisi 6 Januari 2011 yang termuat di sejarahtni.mil.id yang berjudul : “Sepak Terjang Pasukan Katak TNI di Singapura – Johor”.
Dalam tulisan tersebut, Iin Supardi yang berpangkat Kelasi Dua pada Satuan Komando Pasukan Katak (Kopaska) TNI AL, memgaku olak balik menyusup ke Singapura dari Pangkalan pulau Sambu dan Belakang Padang.
“… Saya masuk lewat pelabuhan Singapura fengan menyamar menjadi nelayan biasa …”
“… Sambil mengantar barang dagangan berupa hasil bumi ke Singapura atau berlayar mengantar barang selundupan elektronik, celana dan rokok dari Singapura ke Kepulauan Riau, saya menyelundupkan bahan peledak berkali-kali ke berbagai lokasi aman di seantero Singapura”.
Pada masa itu, anggota Kopaska menyusup ke Singapura dari Pangkalan di Kepulauan Riau, di sekitar Batam, Tanjung Balai Asahan dan daerah sekitarnya. Mereka biasanya menggunakan perahu kecil dengan motor tempel dan menyamar menjadi warga setempat yang biasanya memiliki kerabat di Semenanjung Malaya serta Singapura.
Sepanjang pantai di wilayah Batam menjadi basis pertahanan pasukan Indonesia.
Masa-masa Sulit Saat Konfrontasi di Batam
PUTUSNYA perdagangan Indonesia-Singapura zaman konfrontasi membuat kondisi perekonomian masyarakat Batam dan Singapura terganggu.
Penduduk Batam tidak bisa lagi barter atau menjual hasil buminya ke Singapura sehingga tidak bisa mendapatkan kebutuhan pokok seperti beras.
Biasanya kebutuhan pokok penduduk Batam lebih banyak didatangkan dari Singapura daripada daerah lain di Indonesia. Pun demikian sebaliknya, suplai beberapa kebutuhan penduduk Singapura yang biasanya didatangkan dari Batam jadi terganggu.
Sulitnya perekonomian membuat penduduk Batam dan daerah lain di Kepri mencari sumber makanan pokok alternatif. Selain ubi-ubian dan pisang, penduduk juga makan sagu yang diolah. Makan dari sagu ini banyak diminati warga Batam dan daerah lain di Kepulauan Riau karena sumbernya melimpah. Sagu-sagu ini didatangkan dari daerah Karimun dan sekitarnya seperti Kundur, Pulau Alai, dan Tanjungbatu.
Satu-satunya harapan penduduk mendapatkan beras adalah dari pemerintah. Pemerintah Orde Lama waktu itu memberikan beras dan sembako lainnya kepada penduduk miskin, termasuk di Batam. Selain beras, juga ada gula, minyak dan garam.
Beras jatah untuk masyarakat Batam diberikan lewat pemerintahan di Tanjungpinang. Setiap kepala keluarga mendapat beras beberapa kilo untuk sebulan. Jumlah itu jauh dari cukup sehingga perlu mencari makanan pokok lain.Pembagian beras dilakukan lembaga yang ditunjuk, seperti koperasi milik mayarakat.
Untuk wilayah Tanjung Sengkuang dan Nongsa, jatah beras kepada masyarakat disalurkan lewat Koperasi Desa Tanjung Sengkuang Nongsa (KDTSN) yang diketuai Daeng M Saleh, kakak kandung dari Daeng Paraga.
Tentara KKO pun kadang-kadang mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Untuk mendapatkan bahan makanan lain seperti kelapa, ikan dan sayur, anggota KKO menukar sisa jatah berasnya dengan bahan makanan dari masyarakat.
Untuk membantu warga yang kurang makan, makanan kaleng milik KKO kadang-kadang dibagi-bagikan.Suasana saling bantu tentara-rakyat ini sudah biasa pada zaman konfrontasi. Kondisi ini sangat terasa di Tanjungsengkuang, salah satu lokasi Camp KKO di Batam.
Di Tanjung Sengkuang, selain ada KKO yang mengajar di SR, ada juga KKO yang berternak ayam. Sulitnya kehidupan masyarakat Indonesia saat konfrontasi terutama untuk memenuhi kebutuhan pokok, membuat Presiden RI Soekarno menyerukan gerakan Berdikari (Berdiri di Atas Kaki Sendiri) kepada seluruh masyarakat Indonesia, termasuk di Batam.
Tujuannya masyarakat Indonesia bisa mencukupi sendiri kebutuhannya, tanpa bergantung pada pihak luar negeri atau asing. Salah satu penyebab munculnya Berdikari ini adalah keluarnya Indonesia dari PBB.
Implementasi dari Berdikari di Batam adalah dimulainya “kebunisasi” di Batam untuk kebutuhan pangan seperti ubi, kepala, pisang, sayur dan lainnya. Hampir semua pendudukan bercocok tanam di kebun masing-masing.
Bahkan nelayan yang biasanya melaut, juga ikut menanam apa saja yang bisa ditanam.Pada masa ini, mulailah masyarakat yang biasanya hidup di sepanjang pantai mulai menggarap lahan di daratan. Tidak cukup lahan yang ada di belakang rumahnya, lahan di hutan ditebangi, dibersihkan dan dijadikan areal bercocok tanam.
Pembukaan wilayah hutan mulai dilakukan penduduk di beberapa lokasi.
PADA suatu waktu di tanggal 24 Juli 1964. Dalam atmosfer konfrontasi dengan Malaysia di bawah komando Dwikora, berangkatlah 1 regu patroli KKO (Korps Komando AL, sekarang Korps Marinir) dari Nongsa, Batam dengan menggunakan motorboat.
Patroli terdiri dari 4 orang. Sebagai komandan regu adalah Prako (prajurit komando) Suratno, memimpin Prako Wahadi, Prako Riyono dan Parko Muhani.
Saat di tengah laut, mesin tiba-tiba mogok. Akibatnya motorboat terseret arus ke arah Singapura.
Menyadari hal itu, mereka mendayung hampir 6 jam melawan arus untuk menjauhi wilayah Singapura – Malaysia.
Jam 19.15. Hari semakin gelap. Dalam keremangan malam datanglah ke arah mereka sebuah kapal yang mereka kira sebagai kapal bea cukai Indonesia. Kapal tersebut akhirnya sampai dan menempel motorboat KKO ke dinding kapal.
Terdengarlah teriakan dari kapal tersebut, “Awak siapa ?”
“Kami KKO, mau pulang”, teriak prajurit KKO tersebut. Tiba-tiba mereka sadar bahwa kapal tersebut bukan kapal bea cukai Indonesia. Tapi kapal Diraja Malaysia Sri Selangor. Mungkin mereka melihat tulisan di lambung kapal dalam keremangan malam itu.
“Angkat tangan !”
Begitu teriakan dari salah satu awak kapal Sri Selangor. Lalu mereka mengarahkan lampu sorotnya ke arah motorboat KKO. Agak kesulitan karena motorboat sudah terlanjur dalam posisi menempel. Tapi kapal Sri Selangor sudah merasakan kemenangan ada di tangannya, tidak sulit menangkap segelintir KKO itu.
Untuk beberapa lama tidak ada reaksi dari 4 prajurit KKO tersebut. Suasana tegang sekian lama. Tiba-tiba secara serempak 4 prajurit KKO tersebut menembakkan senjatanya ke arah kapal Sri Selangor. Karena kaget, awak kapal Sri Selangor segera melarikan kapalnya untuk menjauh dari posisi motor boat KKO supaya bisa menembak mereka.
Prajurit KKO berusaha tetap menembak sampai peluru terakhir, tapi usaha mereka terhenti karena awak Sri Selangor menabrakkan kapalnya ke motorboat KKO sampai terguling.
Setelah melakukan pengecekan sekilas pada motorboat yang terguling itu dan tidak menjumpai mayat satu pun, segeralah Kapal Sri Selangor meninggalkan lokasi insiden dan kembali ke pangkalannya.
Ternyata, beberapa saat setelah menyadari bahwa mereka akan ditabrak oleh Sri Selangor, keempat prajurit KKO melompat ke dalam laut lalu setelah motorboat ditabrak dan terbalik mereka segera bersembunyi di bawah motor boat yang terbalik itu.
Akhir dari insiden ini, 3 prajurit KKO ditemukan selamat sementara komandan regunya, Prako Suratno tidak pernah ditemukan lagi.
Ada kemungkinan almarhum tewas karena terseret arus laut yang memang sangat kencang.
Markas KKO di Kepulauan Riau
PADA awalnya, markas KKO berkedudukan di Tanjungpinang (1964 – 1965). Sedangkan kesatuan tempurnya digelar di berbagai lokasi di pulau Bintan, termasuk Tanjung Uban.
Namun, pada saat Brigade Pendarat II KKO di bawah komando Letnan Kolonel Moch. Anwar dan Mayor Rabain Djafar sebagai staf Markas KKO, markas pun dipindahkan ke Batam.
Kekuatan yang telah dibagi-bagi di setiap lokasi dan strategi yang telah dibicarakan di Markas KKO kurang berarti bagi pasukan KKO karena tidak terjadinya pertempuran yang diperkirakan sebelumnya.
Pasukan KKO lebih banyak menunggu instruksi dari pusat sehingga strategi yang disusun tidak fapat dilaksanakan dengan baik. Hampir setahun di Batam, pasukan KKO hanya bersifat menjaga perbatasan dan bersosialisasi dengan masyarakat setempat.
Akhir Konfrontasi
MENJELANG akhir tahun 1965, Jenderal Soeharto memegang kekuasaan di Indonesia setelah berlangsungnya peristiwa G30S/ PKI. Karena polemik ideologi dan konflik domestik ini, keinginan Indonesia meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan insentitas ketegangan pun mereda.
Pada tanggal 28 Mei 2966, dalam sebuah konferensi di Bangkok – Thailand, Malaysia dan pemerintah Indonesia mengumumkan penyelesaian konflik. Kekerasan berakhir pada bulan Juni.

Perjanjian perdamaian sendiri ditandatangani pada tanggal 11 Agustus 1966 dan diresmikan dua hari kemudian.
Sejak itu, pasukan – pasukan dari daerah perbatasan mulai ditarik.
Jenderal Soeharto ditetapkan sebagai penjabat Presiden RI pada tanggal 12 Maret 1967 setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno (Nawaksara) ditolak MPRS. Kemudian, Soeharto menjadi Presiden sesuai hasil Sidang Umum MPRS (Tap MPRS Nomor XLIV/MPRS/1968 pada tanggal 27 Maret 1968.
Selain sebagai Presiden, ia juga merangkap sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan pada saat itu.
Sumber : Buku Mengupas Sejarah Pembangunan Batam / Kompas / Sejarah Militer