KESEPAKATAN Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) antara Indonesia dan Vietnam yang akan segera diratifikasi menandai langkah strategis kedua negara dalam memperkuat kedaulatan maritim dan menghadapi tekanan geopolitik di Laut China Selatan (LCS), kata pengamat, Rabu.
Indonesia diperkirakan akan meratifikasi perjanjian dengan Vietnam mengenai batas ZEE bulan depan, kata Presiden Prabowo Subianto dalam pertemuannya dengan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Viet Nam, To Lam, yang berkunjung ke Jakarta, Senin.
Ratifikasi ini menandai berakhirnya sengketa antara Indonesia dan Vietnam selama lebih dari satu dekade terkait perairan yang tumpang tindih.
Jakarta dan Hanoi mencapai kesepakatan mengenai batas ZEE pada Desember 2022 setelah melakukan negosiasi selama 12 tahun. Sebelumnya, kedua negara bersitegang akibat klaim tumpang tindih di perairan sekitar Kepulauan Natuna di Laut China Selatan.
Agar perjanjian ini dapat berlaku, masing-masing parlemen kedua negara harus meratifikasinya.
Zona Ekonomi Eksklusif memberi hak eksklusif kepada suatu negara untuk mengelola sumber daya alam di perairan dan dasar lautnya. Dengan batas yang jelas, diharapkan tidak akan terjadi lagi kesalahpahaman dan pengelolaan yang keliru antara kedua negara, kata peneliti Laut China Selatan asal Vietnam, Dinh Kim Phuc.
“Janji ratifikasi perjanjian ZEE ini mengirimkan sinyal positif, baik dari segi keamanan maupun ekonomi,” kata Phuc. “Di antara pencapaian terbaru dalam hubungan bilateral kedua negara, menurut saya ini yang paling penting.”
Ia juga menambahkan bahwa perjanjian ini bisa menjadi preseden berharga bagi negara-negara ASEAN lainnya dalam menyelesaikan sengketa maritim secara damai.
“Kita berharap ratifikasi oleh parlemen kita bulan April sesudah Idulfitri dan mereka juga dalam legislatif mereka juga. Mereka akan ratifikasi (dalam) waktu dekat,” kata Prabowo dalam konferensi pers setelah pertemuan dengan To Lam. “Insyaallah, saya akan tanda tangan di Hanoi pada kunjungan kenegaraan saya sebagai balasan kepada kunjungan dari Yang Mulia To Lam.”
Dalam kunjungan To Lam, Indonesia dan Vietnam juga meningkatkan hubungan bilateral menjadi kemitraan strategis komprehensif, mencerminkan kerja sama yang semakin erat antara kedua negara.
Prabowo menambahkan bahwa ia berencana melakukan kunjungan balasan ke Vietnam dalam waktu dekat, di mana ia akan menandatangani perjanjian pelaksanaan (implementing agreement) dengan pihak Vietnam. “Saya yakin kesepakatan ini akan membawa kesejahteraan bagi rakyat kedua negara,” ujarnya.
Perairan yang berbatasan dengan Kepulauan Natuna sebelumnya menjadi titik konfrontasi antara aparat penegak hukum Indonesia dan Vietnam, terutama terkait aktivitas nelayan Vietnam yang sering dituduh melanggar batas dan melakukan penangkapan ikan ilegal. Indonesia berulang kali menahan dan menenggelamkan kapal-kapal ikan Vietnam yang dianggap melanggar wilayahnya.
Pembicaraan tentang penetapan batas ZEE dimulai pada 2010 dan melalui lebih dari selusin putaran negosiasi sebelum akhirnya mencapai kesepakatan.

Raden Mokhamad Luthfi, pengamat hubungan internasional dari Universitas Al Azhar Indonesia, menilai kesepakatan ini dipengaruhi oleh kebutuhan kedua negara untuk memiliki dasar hukum yang kuat dalam mengeksplorasi sumber daya di perairan tersebut.
“Vietnam memang tegas soal kedaulatan lautnya, tetapi mereka bukan negara ekspansionis seperti China. Ini membuat kesepakatan lebih mudah dicapai,” kata Luthfi kepada BenarNews.
Kesepakatan ini juga memperkuat posisi Indonesia dan Vietnam dalam menghadapi klaim sepihak China di Laut China Selatan, kata Luthfi.
“Perjanjian ini menunjukkan bahwa Indonesia dan Vietnam sama-sama menolak klaim sembilan garis putus-putus yang tidak memiliki dasar dalam hukum internasional UNCLOS 1982,” kata Luthfi, merujuk kepada garis wilayah yang dicetak oleh China di peta mereka sebagai dasar klaim historis atas hampir 90 persen wilayah Laut China Selatan.
Pakar hukum maritim dari Universitas Gadjah Mada, I Made Andi Arsana, mengatakan bahwa kesepakatan ini memberikan kejelasan mengenai hak penangkapan ikan di Laut China Selatan.
“Dengan adanya kesepakatan ZEE, secara logika, pengelolaan dan penanganan lintas batas menjadi lebih mudah,” kata Arsana kepada BenarNews.
“Sebelumnya, masing-masing negara memiliki klaimnya sendiri, sehingga sulit menentukan apakah sebuah kapal telah melanggar batas. Sekarang, dengan adanya batas yang diakui secara hukum, regulasi dapat ditegakkan dengan lebih tegas.”
Ia menganalogikan situasi sebelumnya seperti bertetangga tanpa pagar.
“Jika kita berbicara dengan tetangga tanpa pagar, akan sangat rumit untuk menentukan apakah mereka melewati pagar kita atau tidak, mencuri atau tidak.”
Hingga saat ini, pemerintah China belum memberikan komentar mengenai pernyataan Presiden Indonesia terkait perjanjian ini. Baik ZEE Vietnam maupun Indonesia berada dalam area yang diklaim oleh Beijing sebagai bagian dari “sembilan garis putus-putus”.