KETEGANGAN antara Filipina dan China di Laut China Selatan telah menjadi berita utama pada tahun 2025 setelah meningkat secara mengkhawatirkan tahun lalu.
SEMENTARA itu, beberapa anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara, atau ASEAN, berusaha menjaga hubungan baik dengan tetangga besar mereka di utara, yang pengaruh ekonomi dan politiknya semakin meningkat, sembari melindungi kepentingan mereka di perairan yang disengketakan.
Reporter dari RFA dan media afiliasinya, BenarNews, mengupas bagaimana tiga negara yang berbatasan dengan Laut China Selatan menghadapi hubungan dengan Tiongkok.
INDONESIA: Semakin terbuka terhadap China
Pada bulan November 2024, Presiden Indonesia Prabowo Subianto, mengejutkan para pengamat Laut China Selatan dengan sebuah kalimat dalam pernyataan bersama yang dikeluarkan di China dalam perjalanan luar negeri pertamanya sejak menjadi presiden. Kalimat yang tampak tidak mencolok itu menyatakan bahwa Jakarta dan Beijing telah mencapai “pemahaman bersama yang penting mengenai pengembangan bersama di area klaim yang tumpang tindih” di Laut China Selatan.
Namun, para analis dengan cepat menunjukkan bahwa dengan mengakui batas maritim yang tumpang tindih, Prabowo dan para pejabatnya secara efektif telah mengakui legitimasi klaim China —sesuatu yang sebelumnya tidak pernah dilakukan Indonesia.

Indonesia selalu menegaskan bahwa garis sembilan putus-putus (nine-dash line) yang digunakan China pada peta untuk mengklaim hak historis atas sebagian besar Laut China Selatan tidak memiliki dasar hukum, seperti yang dinyatakan dalam nota diplomatik ke PBB pada Mei 2020.
Indonesia segera menyadari kesalahan tersebut dan mengeluarkan koreksi dua hari kemudian, dengan menyatakan bahwa pengakuan atas perbedaan dan sengketa tidak berarti menerima legitimasi pihak lain. Mereka menegaskan bahwa klaim teritorial China di Laut China Selatan tetap tidak memiliki dasar hukum.
Muhammad Waffaa Kharisma, peneliti di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, mengatakan bahwa meskipun demikian, ada “pergeseran menuju hubungan yang lebih erat yang dapat mengurangi ketegasan Jakarta di Laut China Selatan di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto.”
Tiongkok adalah mitra dagang terbesar Indonesia dan salah satu sumber investasi asing langsung terbesarnya, dan perluasan hubungan ekonomi telah menjadi faktor utama dalam pengambilan keputusan Jakarta.
Tahun ini, Indonesia menjadi negara ASEAN pertama dalam blok BRICS yang dipimpin oleh Tiongkok.
Raden Mokhamad Luthfi, seorang analis pertahanan di Universitas Al Azhar Indonesia mengatakan bahwa ada keterbukaan yang semakin meningkat terhadap Tiongkok, tidak hanya dalam perdagangan dan investasi tetapi juga dalam kerja sama keamanan.
Peran dominan Prabowo dalam kebijakan luar negeri tampaknya telah mengesampingkan peran Kementerian Luar Negeri Indonesia, katanya.
“Saya khawatir bahwa di bawah kepemimpinan Prabowo, diplomat Indonesia mungkin memiliki ruang yang lebih terbatas untuk memberikan masukan dan panduan tentang bagaimana kebijakan luar negeri negara ini seharusnya dibentuk,” ujar Luthfi.

Waffaa mencatat bahwa Indonesia tampaknya semakin menerapkan sensor diri saat berhadapan dengan China.
“Salah satu kemungkinan alasannya adalah pendekatan diplomatik proaktif China, yang mencakup respons kuat, atau bahkan tindakan balasan, terhadap kritik,” katanya. “Hal ini membuat Indonesia lebih berhati-hati, mungkin karena khawatir akan dampak ekonomi, sehingga sulit untuk secara terbuka mengangkat isu kedaulatan dan hukum internasional.”
Indonesia adalah salah satu pendiri ASEAN dan selama ini berperan sebagai pemimpin de facto dalam kelompok tersebut, terutama dalam menengahi krisis regional. Para analis memperingatkan bahwa kepemimpinannya dalam isu Laut China Selatan dapat melemah jika berhenti memperjuangkan norma hukum internasional.
Indonesia berulang kali menyatakan bahwa mereka bukan pihak dalam sengketa teritorial di Laut China Selatan. Namun, aparat penegak hukum Indonesia sering kali harus menangani pelanggaran wilayah dan penangkapan ikan ilegal, termasuk oleh kapal-kapal China di perairan sekitar Kepulauan Natuna.
Pertanyaan besar saat ini adalah apakah hubungan yang semakin erat dengan China akan mampu mencegah pelanggaran wilayah tersebut.
MALAYSIA: Menyesuaikan diri dengan preferensi China?
Para pemimpin Malaysia selalu melihat China sebagai tetangga dan mitra penting, dengan hubungan yang harus dikelola dengan cermat.
Kedua negara menjalin kemitraan komprehensif pada tahun 2013, dan China merupakan mitra ekonomi terbesar Malaysia, dengan perdagangan mencapai lebih dari 200 miliar dolar AS pada tahun 2022. Sebagai perbandingan, perdagangan Malaysia-AS hanya mencapai 73 miliar dolar AS pada tahun yang sama.

Sejak berkuasa pada tahun 2022, Perdana Menteri Anwar Ibrahim telah menegaskan bahwa membina hubungan baik dengan Tiongkok merupakan salah satu prioritasnya.
Sehubungan dengan sengketa teritorial di Laut China Selatan, kebijakan lama Malaysia adalah melindungi kedaulatannya melalui hukum internasional. Malaysia tidak pernah mengakui garis sembilan putus-putus China dan bahkan memerintahkan penghapusan sebuah cuplikan dari film animasi yang menampilkannya.
Namun, beberapa pernyataan Anwar memicu kontroversi.
Pada Maret 2024, dalam pidatonya di Australian National University di Canberra, Anwar mengatakan bahwa negara-negara perlu menempatkan diri pada posisi China, dan upaya untuk menghambat kemajuan ekonomi dan teknologinya hanya akan menimbulkan ketidakpuasan.
Pada November 2024, setelah bertemu dengan Presiden Xi Jinping di Beijing, Anwar menyatakan bahwa Malaysia “siap bernegosiasi” mengenai Laut China Selatan, yang mengisyaratkan kemungkinan negosiasi bilateral atas klaim yang tumpang tindih di perairan lepas pantai Sabah dan Sarawak di Malaysia Timur.
Di Forum Ekonomi Dunia di Swiss pada Januari, Anwar kembali menyatakan bahwa China seharusnya tidak disalahkan secara khusus atas ketegangan di Laut China Selatan, menunjukkan nada yang jelas pro-Beijing.
“Keinginan Malaysia untuk tidak melibatkan negara-negara lain, seperti Australia, Jepang, dan Amerika Serikat, dalam sengketa Laut China Selatan sejalan dengan preferensi Tiongkok,” tulis Euan Graham, seorang analis senior di Institut Kebijakan Strategis Australia.
“Hal itu juga membantu upaya Tiongkok di balik layar untuk memengaruhi perundingan dengan ASEAN mengenai peraturan prilaku di Laut China Selatan,” tambah Graham.
China dan ASEAN telah membahas Kode Etik Laut China Selatan selama bertahun-tahun tetapi belum mencapai kesepakatan akhir.
Pada bulan Februari ini, dalam lawatannya ke Brunei, Anwar menyerukan agar kode tersebut diselesaikan “secepat mungkin” untuk mengatasi meningkatnya ketegangan di jalur perairan tersebut. Malaysia menjadi ketua ASEAN tahun ini.
“Saya yakin Malaysia lebih suka menyelesaikan masalah di antara para pemangku kepentingan melalui dialog dan keterlibatan tanpa intervensi dari luar,” kata Lee Pei May, asisten profesor di Departemen Ilmu Politik di Universitas Islam Internasional Malaysia.
“Jika ada intervensi dari kekuatan luar, saya yakin situasinya akan kacau,” kata Lee. “AS, Inggris, dan kekuatan lain, mereka tidak terkait langsung dengan perselisihan tersebut sehingga mereka dianggap sebagai kekuatan luar.”

AS dan sekutu regionalnya, berpendapat bahwa mereka juga negara-negara Pasifik, dan memiliki kepentingan dalam Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.
Beberapa analis mengatakan bahwa pemerintahan Anwar, meskipun dikritik karena sikapnya yang tampaknya pro-Beijing, tidak mengkompromikan klaim Malaysia di Laut China Selatan.
“Yang pasti, Malaysia telah mengadopsi pendekatan yang sangat berbeda terhadap sengketa Laut China Selatan dibandingkan Vietnam atau Filipina,” kata Ian Storey, seorang peneliti senior di ISEAS – Yusof Ishak Institute di Singapura.
Kebijakan Anwar masih “memungkinkan Malaysia untuk mempertahankan hubungan dekat dengan China sambil menegaskan klaim teritorialnya dan melindungi hak kedaulatannya,” katanya.
VIETNAM: Menjaga keseimbangan
Pada 19 Februari, Beijing untuk pertama kalinya secara resmi dan terbuka mengecam pembangunan pulau oleh Vietnam di Laut China Selatan.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Guo Jiakun, mengatakan bahwa China menentang pembangunan di “pulau dan terumbu karang yang diduduki secara ilegal,” mengacu pada wilayah yang mulai direklamasi Vietnam sejak 2020-an.
Bukan rahasia lagi bahwa Vietnam ingin memperkuat pertahanan terhadap dominasi Tiongkok di Kepulauan Spratly dan pembangunan pulau tersebut telah menerima dukungan kuat dari masyarakat Vietnam sebagai tanda penolakan untuk berkompromi mengenai kedaulatan.
“Jika Anda mendengarkan pidato para pemimpin dari kedua belah pihak, hubungan Vietnam-Tiongkok tampak hangat dan berkembang,” kata Dinh Kim Phuc, seorang peneliti Laut China Selatan. “Namun, perkembangan Hanoi di Laut China Selatan menunjukkan bahwa mereka tidak benar-benar saling percaya.”
Dengan protes publik pertama Tiongkok terhadap pembangunan pulau tersebut, tampaknya “kesepahaman informal” dengan Vietnam telah berakhir, kata Bill Hayton, seorang peneliti di think tank Inggris Chatham House. Kompromi diam-diam ini berarti bahwa selama beberapa tahun Vietnam tidak mencari minyak dan gas di dalam sembilan garis putus-putus Tiongkok dan Tiongkok tidak mengatakan apa pun tentang pembangunan pulau oleh Vietnam, kata Hayton.
Mungkin ada beberapa penjelasan atas keberatan Tiongkok, tetapi para analis yakin bahwa hubungan Vietnam yang semakin erat dengan Amerika Serikat merupakan faktor utama. Melihat perjalanan luar negeri para pemimpin Vietnam, termasuk kepala Partai Komunis yang baru, To Lam, Vietnam juga tampaknya “menekankan nilai-nilai ASEAN dan Barat” dalam pemikiran strategisnya, menurut Phuc.

Vietnam dilaporkan ingin meningkatkan hubungan dengan sesama anggota ASEAN, Indonesia dan Singapura, menjadi kemitraan strategis yang komprehensif, tingkat tertinggi hubungan bilateral, tahun ini.
Namun, itu tidak berarti bahwa pemisahan dari Tiongkok akan terjadi dalam waktu dekat, kata para analis, karena ekonomi Vietnam sangat bergantung pada perdagangan dan investasi Tiongkok.
Pada hari yang sama ketika Tiongkok mengkritik “pendudukan ilegal” Vietnam di Laut China Selatan, parlemen Vietnam menyetujui jalur kereta api bernilai miliaran dolar yang membentang dari perbatasan Tiongkok ke Laut China Selatan. Sebagian dari pendanaan diharapkan berasal dari Tiongkok, meskipun ada beberapa kekhawatiran publik tentang potensi utang.
Isyarat Sekretaris Jenderal To dan para pemimpin lain yang dapat dilihat sebagai “pro-Barat” atau “anti-China” dianggap “hanya populis” oleh Dang Dinh Manh, seorang pengacara pembangkang Vietnam yang sekarang tinggal di AS.
“Mereka perlu menenangkan masyarakat dalam negeri secara umum, yang semakin nasionalis,” kata Manh, seraya menambahkan bahwa menurut pendapatnya, para pemimpin Hanoi juga perlu menenangkan Tiongkok, dan bagaimana mencapai keseimbangan dapat menjadi “tugas serius”, terutama dalam hal kedaulatan di Laut China Selatan.