Dunia tanpa plastik, mungkinkah? Sangat mungkin dan ini bukan omong kosong. Sebab, gaya hidup tanpa plastik sudah dipraktikkan dan sukses dilakukan di museum kehidupan (living museum) Samsara di Jalan Telaga Tista, Desa Jungutan, Kecamatan Bebandem, Karangasem, Bali.
Oleh : Sri Murni
LOKASI Samsara Living Museum yang telah menjadi destinasi wisata budaya, cukup jauh dari ibukota Denpasar maupun dari Bandara Ngurah Rai yakni sekitar tiga jam ke arah timur.
Di museum ini, para pengunjung diajak untuk merasakan kehidupan masyarakat Bali yang otentik dan sangat tradisional.
Saya berkesempatan menikmati kehidupan yang natural di sini bersama rekan-rekan se-Indonesia yang tergabung dalam jejaring ICCN (Indonesia Creative Cities Network), sebuah simpul organisasi jejaring yang berkomitmen mewujudkan 10 prinsip kota kreatif di Indonesia.
Bersama rekan-rekan penggerak komunitas dari 10 provinsi di Indonesia berada di sini dalam rangka lokakarya Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2023 dan rakornas ICCN tahun ini. Kesepuluh perwakilan provinsi terebut berasal dari Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, Nusa Tenggara Barat, Papua Barat Daya, dan Papua Tengah.
Samsara Living Museum
Samsara Living Museum memiliki arti museum kehidupan masyarakat Bali. Samsara itu sendiri bermakna siklus kehidupan warga Bali mulai dari dalam kandungan sampai penyucian pasca kematian.
Museum Samsara dibangun di tengah-tengah kebun di antara pemukiman warga dengan luas sekitar dua hektare lebih. Sebelum masuk ke museum, kita diajak melewati jalan setapak kampung yang sederhana. Jalannya sudah disemen jadi tidak berdebu maupun becek. Kita juga melewati jembatan yang kanan kirinya dipagari oleh gedek dari bambu.
Di sisi kanan dan kiri jalan tersebut juga ditumbuhi pohon-pohon rindang. Begitu menginjakkan kaki di lorong jalan masuk museum, kita sudah merasakan keasrian sebuah kampung. Tidak hanya keasrian yang menyambut kita, tapi juga alunan musik dari lesung sudah terdengar.
Setelah berjalan sekitar 150 meter, di sebalah kanan jalan setapak tersebut terdapat gerbang museum. Gerbangnya berpagar anyaman bambu, bertiang batu, dan beratap ilalang.
Di depan gerbang, sudah menunggu wanita-wanita ayu berbusana Bali. Mereka menyambut tamu dengan senyum ramah dan ucapan selamat datang. Terdapat pula dua meja berhias bunga-bunga yang di atasnya ada tumpukan kain panjang, selendang, udeng-udeng, dan bunga kamboja.
Para tamu berbaris ke belakang untuk mengikuti ritual cuci tangan dan pemasangan kain. Air pencuci tangan diletakkan di dalam kendi yang sudah diberikan bunga-bunga di dalamnya. Dengan menggunakan gayung bergagang panjang terbuat dari batok kelapa, air disiramkan ke tangan setiap peserta oleh penyambut tamu.
Selain menyiramkan air, penyambut tamu juga menuangkan sabun ke tangan masing-masing tamu dengan menggunakan alat serupa.
Setelah mencuci tangan, kita diberikan tisu berwarna coklat yang ramah lingkungan. Setelahnya, pengunjung yang tidak memakai rok, dipakaikan kain jarik atau kain panjang, selendang pengikat pinggang, dan penutup kepala (udeng-udeng) untuk laki-laki serta bunga Kamboja.
Sebelum melewati gerbang, pengunjung “diasapi” dengan bakaran kemenyan. Kemudian dipersilahkan untuk melewati gerbang.
Prosesi pencucian tangan dan pengasapan memiliki makna pembersihan diri sebelum masuk kearea museum. Sama seperti ketika hendak masuk ke dalam rumah dimana hal-hal yang kurang bersih ditinggalkan di luar rumah.
Begitu melewati gerbang, kita disambut dengan segelas minuman jamu kunyit asem sebagai pelepas dahaga.
Tak jauh dari pintu gerbang, deretan ibu-ibu lokal tampak menumbuk lesung yang menghasilkan bunyi-bunyian berirama mengiringi kedatangan para tamu. Di sini, pengunjung juga boleh langsung ikut menumbuk lesung untuk praktik. Lesung digunakan masyarakat Bali sebagai alat penumbuk pari.
Di museum ini, terdapat beberapa gubuk atau magubug (bahasa Bali) dengan fungsi yang berbeda-beda. Ada gubuk untuk jamu, lesung, dapur, balai pertemuan, tempat penyimpanan barang, gubuk pembaca lontar, gubuk bermain alat musik, dan lainnya.
Setiap gubuk dibangun dengan menggunakan bahan-bahan alam seperti tiangnya dari kayu atau bambu, dindingnya dari anyaman bambu, dan atapnya dari ilalang.
Disambut Tari Pendet Anak-Anak
Melengkapi prosesi penyambutan tamu di Samsara Living Museum, kita disajikan pertunjukan tari pendet versi sederhana yang dibawakan oleh anak-anak TK dari Sekolah Alam Trihita Alam Eco School Desa Jungutan.
Selain tari Pendet, anak-anak juga membawakan tarian nusantara dengan busana dari berbagai daerah di Indonesia.
Untuk melihat penampilan tari Pendet dan tarian nusantara oleh anak-anak sekolah alam Trihita Eco School, silahkan klik video ini!
Nol Plastik
Satu pelajaran kehidupan tradisional di tengah-tengah modernisasi dunia yang bisa diambil dari Samsara Living Museum adalah kita bisa hidup tanpa plastik.
Perhelatan lokakarya Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) di sini dibungkus dalam suasana alami dan tanpa plastik. Dari sini kita bisa belajar bagaimana mengemas subuah acara di tengah alam terbuka dengan menggunakan perlengkapan yang terbuat dari alam.
Gubuk Pertemuan
Tempat lokakarya pertama di Samsara Living Museum adalah beraga di gubuk atau balai pertemuan. Tempatnya sangat sederhana. Penyangga gubuk dari bambu, atapnya ilalang dan kursinya dari kayu. Selain kursi panjang, disediakan pula bale-bale untuk tamu duduk bersila.
Di sini, para peserta bisa menyimak paparan para pemateri dengan santai. Meskipun konsepnya sederhana dan alami, namun untuk media presentasi tetap disediakan monitor berukuran besar dan alat pengeras suara yang bagus.
Baca lebih lanjut cerita ini >>>
Sri Murni, Jurnalis yang juga Blogger. Ia senang menyebut dirinya 'Family Travel Blogger'. Mengelola blog : menixnews.com