PROYEK Strategis Nasional atau PSN di Pulau Rempang, Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau, yang kini masih terus digodok agar segera terlaksana oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, mendapat atensi dari Ombudsman RI.
Lembaga pengawasan itu menemukan adanya potensi maladministrasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota (Pemko) dan BP Batam pada rencana relokasi warga kampung adat di lokasi itu.
BP Batam sendiri telah mencadangkan alokasi lahan Rempang kepada PT Mega Elok Graha (MEG) kira-kira seluas 17.000 hektare yang akan dikembangkan jadi industri hilirisasi Rempang Eco-City. Di sana, direncanakan bakal menjadi kawasan industri, perdagangan, hingga wisata.
Terhadap pencadangan alokasi lahan atau rencana pengalokasian itu, Ombudsman RI melihat bahwa hal tersebut tidak sesuai ketentuan karena belum dikeluarkannya sertifikat Hak Pengeloaan Lahan (HPL) oleh Kementerian ATR/BPN kepada BP Batam.
Penerbitan HPL harus sesuai dengan mekanisme yang berlaku, salah satunya adalah tidak adanya penguasaan dan bangunan diatas lahan yang dimohonkan atau clear and clean. Sepanjang belum didapatkannya sertifikat HPL atas Pulau Rempang, maka relokasi warga menjadi tidak memiliki kekuatan hukum.
Setidaknya terdapat 16 kampung adat di Rempang yang terancam. Diantara yakni Tanjung Kertang, Rempang Cate, Tebing Tinggi, Blongkeng, Monggak, Pasir Panjang, Pantai Melayu, Tanjung Kelingking, Sembulang, Dapur Enam, Tanjung Banun, Sungai Raya, Sijantung, Air Lingka, Kampung Baru, dan Tanjung Pengapit.
Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro, menjelaskan, dari 16 kampung adat yang diklaim masyarakat, hanya 10 titik saja yang akan direlokasi sebagaimana Surat Keputusan (SK) Wali Kota Batam, Nomor: 105/HK/III/2004 tentang Perkampungan Tua di Batam.
Investigasi yang dilakukan Ombudsman perwakilan Kepri pada semua titik kampung adat di Rempang, ditemukan beberapa hal yang termasuk unsur penetapan kampung tua, yaitu tapak atau patok perkampungan, makam-makam lama, pohon-pohon budidaya yang berusia ratusan dan puluhan tahun, dokumen lama menandakan masyarakat telah berdiam sejak puluhan tahun bahkan sebelum masa kemerdekaan, serta terdapat sekolah lama.
“Sosialisasi yang dilakukan BP Batam masih tergolong belum masif dan butuh waktu yang lebih lama untuk berupaya meyakinkan masyarakat mau direlokasi atau berdialog untuk mencari jalan tengah,” kata Johanes, dalam rilis pers Ombudsman RI, Senin (18/9/2023) kemarin.
Selain itu, ada dugaan jika sosialisasi yang dilakukan tidak tepat sasaran sehingga berdasarkan temuan Ombudsman bahwa warga Rempang minim yang mendaftar untuk relokasi.
Ombudsman Kecam Tindakan Represif Aparat
Johanes dengan tegas menentang segala bentuk represifitas yang dilakukan aparat kepolisian dan tim terpadu dalam melakukan pengamanan di Rempang. Turunnya ribuan aparat disertai penggunaan gas air mata dalam merespons penolakan warga justru akan menambah konflik menjadi semakin besar.
Akibatnya, masyarakat di Rempang sangat terdampak secara fisik dan mental dengan konflik yang terjadi akibat upaya relokasi dan merasa terintimidasi. Ketakutan untuk melakukan pekerjaan sebagai nelayan, maupun anak-anak yang takut bersekolah semakin memuncak lantaran adanya aparat di perkampungan mereka.
Berdasarkan penelusuran Ombudsman juga, masyarakat di 10 kampung adat yang ada di Rempang mendukung dilakukannya investasi. Namun warga menolak dilakukan relokasi. Mereka lebih mendukung apabila dilakukan penataan antara kampung-kampung itu dengan pengembangan investasi.
Selanjutnya, Ombudsman akan meminta klarifikasi kepada BP Batam, Pemko Batam, Kementerian Investasi/BKKPM, Tim Percepatan Pengembangan Pulau Rempang, serta pihak terkait lainnya.
Kemudian, akan diterbitkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) berupa tindakan korektif untuk dilaksanakan pihak terlapor. Pemeriksaan yang dilakukan Ombudsman dilakukan guna melihat apakah ada maladministrasi pada PSN di Rempang tersebut.
“Proyek Strategis Nasional perlu memperhatikan mekanisme dan tahapan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum. Untuk itu, Ombudsman akan melakukan proses pemeriksaan apakah pembangunan Rempang Eco-City sudah dilakukan sesuai dengan tahapan pada aturan tersebut atau tidak,” kata Johanes.
Ombudsman juga akan mendalami penguasaan fisik bidang tanah masyarakat yang sudah puluhan tahun berada di Rempang, terkait apakah ada unsur kelalaian negara yang tidak memberikan akses kepada warga untuk mendapatkan hak milik di tanah yang sudah turun temurun ditempati.
Ombudsman RI Bakal ke Batam untuk Mendalami Polemik di Rempang
Kepala Ombudsman Perwakilan Kepri, Lagat Parroha Patar Siadari, membenarkan bahwa Ombudsman RI bakal turun ke Batam, pada 25 September mendatang. Kedatangan mereka disebut-sebut ada sangkut-paut mengenai polemik agraria di Rempang.
“Tim kami hari Senin depan ke Polresta, menanyai landasan hukum penetapan tersangka ke warga yang diamankan, hingga tidak dibolehkannya mereka didampingi kuasa hukum. Nanti kita ada dua tim dari jakarta untuk memastikan masalah ini, termasuk perihal demo, pengamanan, hingga respons warga,” bebernya, Rabu (20/9/2023).
Lebih spesifik, Lagat mendorong agar para pendemo, khususnya mereka yang merupakan warga asli Rempang, untuk dilakukan Restorative Justice (RJ). “Mereka bukan bandar narkoba, bukan teroris. Mereka cuma berunjuk rasa menuntut dan mempertahankan hak. Apa urgenis mereka dipenjara?,” katanya.
Beredar kabar bahwa para pengunjuk rasa yang diangkut oleh aparat kepolisian itu diindikasi melawan petugas. Lagat pun menjelaskan, bahwa dalam setiap unjuk rasa dipastikan akan ada tindakan seperti yang dimaksudkan.
“Jadi itu sebenarnya sudah biasa. Soal mereka yang disebut provokator, siapa provokator yang sebenarnya? Ini harus dipilah-pilah,” tutupnya.
(ahm)