KETIKA ombak yang membawa serta sampah menerjang rumah panggung kayunya yang mungil, Saiyun dengan hati-hati menurunkan hartanya yang paling berharga dan meletakkannya di lantai untuk dipamerkan.
DI tangannya yang tua dan terlihat ringkih, Saiyun memegang kerajinan yang telah dikerjakannya selama berbulan-bulan, sebuah miniatur perahu dayung tradisional milik sukunya, Suku Laut – masyarakat pengembara lautan yang menjelajahi Selat Malaka dan perairan timur Sumatra, Indonesia.
“Semuanya kami lakukan di laut,” kata Saiyun ketika CNA mengunjungi rumahnya di bagian barat daya Batam. “Kami lahir di laut. Kami besarkan anak di laut. Bahkan kami adakan pernikahan di laut.”
Pria 60 tahun ini ingin menunjukkan kehidupannya ketika dia masih muda. Ketika itu, Suku Laut di Kepulauan Riau mendayung perahunya sepanjang tahun, berlayar dari satu pulau ke pulau lainnya tergantung arah angin dan pola migrasi ikan.
Di dalam perahu dengan lebar 2 meter dan panjang 6 meter itu, seluruh barang mereka dijejalkan, mulai dari alat makan, alat memasak, hingga kasur.
Saiyun menjelaskan, perahu seperti miniatur yang dipegangnya dapat memuat dua orang dewasa dan dua anak kecil. Ketika mencapai usia remaja, anak-anak itu akan diberikan “perahu anak”, yang diikat dengan tali ke perahu orangtua mereka.
Jika anak-anak itu sudah menikah, mereka akan membuat perahu sendiri untuk menjelajahi perairan.
“Ini tempat meletakkan anjing saya,” kata Saiyun, menunjuk patung kecil putih yang wajahnya menghadap sisi haluan kapal. Wajah anjing itu dibuat seakan mewaspadai pertanda perubahan cuaca atau kemunculan perompak.
Mata Saiyun kian berbinar ketika dia memamerkan fitur dari perahu seukuran lengan orang dewasa itu: Atap bambu yang bisa dibuat tegak berdiri untuk menjadi layar, berbagai alat memancing seperti jala, tombak dan kail, serta versi-versi mini dari monyet dan burung peliharaan.
Adalah sebuah keharusan bagi Saiyun untuk mereplikasi setiap detail dari perahunya, demi menunjukkan bagaimana Suku Laut hidup di masa silam. Perahu Saiyun itu telah hancur dihantam badai 10 tahun lalu.
Pada dua atau tiga dekade lalu, orang Suku Laut seperti Saiyun menghabiskan seumur hidupnya di atas lautan. Mereka menginjak daratan hanya untuk berlindung dari badai, memasok air minum, menebang pohon untuk membuat perahu, atau mengubur anggota suku yang meninggal.
Perahu dayung, yang sebutannya berbeda-beda tergantung dialek yang diucapkan, kian menjadi benda peninggalan masa lalu.
Polusi, persaingan dengan nelayan modern serta perubahan iklim, telah membuat Suku Laut di Batam jarang melaut. Tangkapan ikan yang semakin menyusut memaksa sebagian dari mereka bekerja di daratan. Tanpa pernah mengenyam pendidikan, maka memulung kerap jadi pilihan pekerjaan satu-satunya yang bisa mereka lakukan.
Ketika ombak kian ganas dan angin semakin kencang, maka laut menjadi tempat yang tidak bersahabat bagi orang Suku Laut. Kondisi lautan saat ini tidak cocok lagi dengan gaya hidup mereka yang nomaden.
Meski sebagian masih menjelajah lautan selama empat sampai lima bulan setiap tahunnya, namun hampir semua orang Suku Laut kini tinggal menetap dalam rumah-rumah panggung di pesisir pantai dan pulau-pulau kecil di provinsi Kepulauan Riau.
Menurut beberapa orang Suku Laut yang diwawancara CNA, satu-satunya cara menghadapi pola cuaca yang tak menentu adalah melaut dengan perahu mesin berbahan serat fiber seperti yang digunakan nelayan modern. Pilihan lainnya adalah sepenunya meninggalkan laut, cari kerja di daratan.
“Cara hidup mereka terancam,” kata Dr Wengky Ariando, peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) kepada CNA.
Dampak Perubahan Iklim
SELAMA lebih dari seribu tahun, orang Suku Laut telah mengarungi perairan Sumatra, Singapura dan Malaysia Barat. Berbagai naskah sejarah menunjukkan bahwa mereka telah ada sejak didirikannya Kerajaan Sriwijaya di Sumatra pada abad ke-7.
Kepulauan Riau adalah rumah bagi populasi terbesar Suku Laut, diperkirakan berjumlah 12.000 orang di provinsi ini saja. Orang Suku Laut lain yang tersebar di banyak wilayah kebanyakan sudah berbaur dengan masyarakat Melayu.
Di Kepulauan Riau, ada ciri khusus perahu orang Suku Laut yang membedakannya dengan milik nelayan biasa, yaitu atap bambu yang disebut “kajang”.
Salah satu nelayan orang Suku Laut, Hasan, mengatakan waktu muda dia sering ikut dalam konvoi menjelajahi laut hingga puluhan kilometer jauhnya, berlayar dari satu pulau ke pulau lainnya dengan perahu dayung. Konvoi itu terdiri antara delapan hingga 20 perahu.
“Ketika kami sampai ke tempat yang banyak ikannya, kami akan bertemu dengan orang Suku Laut dari wilayah lain yang juga sedang konvoi. Tempat itu akan dipenuhi perahu, mungkin jumlahnya ratusan,” kata pria 43 tahun ini kepada CNA.
Kini, Hasan melanjutkan, yang ikut dalam konvoi semacam itu semakin sedikit jumlahnya.
“Biasanya kami melaut di awal Agustus ketika airnya sedang tenang dan baru pulang menjelang Natal saat sudah mulai masuk musim hujan.
“Tapi beberapa tahun terakhir, lautnya tetap tidak tenang sampai September, kami baru bisa mencari ikan pada November,” kata dia saat ditemui di desanya di Pulau Tanjung Sauh, sekitar 4km sebelah timur pulau utama Batam.
Suku Laut bukan satu-satunya suku pencari ikan yang menyadari adanya perubahan pola cuaca.
Wengky dari BRIN telah meneliti suku-suku nomaden di Asia Tenggara. Dia mengatakan, selain Suku Laut, suku Moken dari Myanmar dan Thailand serta suku Sama-Bajau di perairan Sulu dan Sulawesi juga mengalami masa penangkapan ikan yang lebih pendek karena perubahan iklim.
“(Ketiga suku ini) mengatakan cuacanya semakin tidak bisa diprediksi sekarang,” kata dia. “Sebelumnya, mereka punya pengetahuan untuk memprediksi: ‘Badai ini akan berhenti di akhir Maret’. Tapi sekarang terjadi hal-hal yang tidak biasa. Mereka tidak bisa memprediksi cuaca lagi.”
Perubahan iklim juga berdampak para permukiman orang Suku Laut di wilayah pesisir yang terkena abrasi atau naiknya permukaan laut.
Suhu global yang memanas telah merusak terumbu karang di lokasi pemancingan ikan favorit mereka. Hal ini juga mengubah pola migrasi dari beberapa spesies ikan.
“Ikan yang ditangkap semakin kecil dan jumlahnya semakin sedikit,” kata Wengky soal dampak peningkatan suku air laut.
Hasan membenarkannya. Beberapa tahun lalu, Suku Laut biasanya bisa menangkap hingga puluhan kilogram cumi-cumi dari melaut semalaman.
“Tapi sekarang, sulit mendapatkan jumlah yang sama. Kami cuma mendapatkan tiga atau empat kilo (cumi-cumi) dalam semalam,” kata dia. “Sama seperti ikan. Sebelumnya, kami bisa menangkap lima atau enam ikan kerapu merah. Tapi sekarang, hanya satu dan kadang tidak dapat sama sekali.”
Terpaksa Tinggal Menetap
UNTUK mengatasi dampak perubahan iklim, Kepala Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kota Batam, Leo Putra, mengatakan pihaknya telah memberikan bantuan motor tempel kepada orang Suku Laut. Dengan motor ini, harapannya perahu mereka bisa lebih cepat dan menjangkau tempat yang lebih jauh untuk mencari ikan.
Pemerintah Batam juga memberikan pelatihan bagi orang Suku Laut untuk membudidaya ikan sendiri. Mereka juga menghibahkan mesin jahit agar para perempuan Suku Laut bisa mendapat pemasukan tambahan dari menjahit.
Sebagai gantinya, pemerintah meminta orang Suku Laut untuk tidak lagi hidup nomaden. “Jika mereka sering berpindah-pindah, sulit bagi kami memberi bantuan,” kata Leo kepada CNA.
Sejak tahun 1990-an, pemerintah telah mencoba membuat orang Suku Laut tinggal menetap di sebuah pulau atau daerah pesisir. Menurut pemerintah, kehidupan mereka yang nomaden sudah terbelakang dan primitif.
“Anak-anak mereka tidak sekolah. Mereka tidak punya KTP. Mereka tidak punya agama. Jadi kami berikan mereka rumah, kami bangun sekolah untuk anak-anak dan mengirim ulama dan misionaris untuk membuat mereka memeluk agama,” kata Leo lagi,
Program pemerintah ini berhasil membuat sebagian besar orang Suku Laut tinggal menetap dalam rumah-rumah panggung di 40 lokasi sekitar Batam. Tidak seperti orangtua mereka, anak-anak Suku Laut kini bisa membaca dan menulis, sementara orang dewasanya mendapat akses ke pelayanan kesehatan dan skema bantuan sosial pemerintah.
Namun hal ini memicu perubahan drastis dalam budaya dan tradisi mereka.
Di Batam, beberapa komunitas orang Suku Laut telah sepenuhnya tinggal menetap. Perahu tradisional yang membedakan mereka dengan nelayan biasa hanya tinggal kenangan di benak para tetuanya.
“Perahu yang kecil lebih bisa bermanuver dan kami tidak perlu lagi perahu yang bisa muat satu keluarga seperti dulu,” kata Sarina, 55, perempuan Suku Laut yang tinggal menetap di pesisir barat Batam.
Dia menambahkan, saat ini hanya pria dari sukunya yang pergi melaut selama berbulan-bulan, sementara perempuan dan anak-anak tinggal di rumah.
Akankah Kisah Mereka Berakhir?
HASAN yang tinggal di Pulau Tanjung Sauh mengatakan kehidupan menjadi semakin berat bagi Suku Laut di permukimannya. Perairan dekat pulaunya tidak cocok untuk budidaya ikan karena airnya tercemar dan berlumpur akibat limbah pabrik. Selain itu, perairan sekitar adalah jalur pelayaran yang sibuk.
Satu-satunya cara memancing ikan adalah pada malam hari ketika tidak banyak kapal feri dan tongkang yang berlalu lalang, atau melaut puluhan kilometer jauhnya hingga ke kepulauan di barat daya Bintan yang airnya lebih jernih.
Tapi dua cara ini pun semakin sulit dijalani karena dampak perubahan iklim.
“Jika berangin seperti ini, bahkan sulit untuk mengelilingi pulau ini,” kata dia.
Ketika melaut semakin sulit, terutama di musim ombak tinggi dan angin kencang, orang Suku Laut di Tanjung Sauh terpaksa mencari kerja di daratan.
Selama lima tahun terakhir, beberapa dari mereka menjadi pemulung sampah paruh-waktu di tempat pembuangan akhir (TPA), 7km jauhnya di pulau utama Batam.
Di TPA ini, lelaki dan perempuan Suku Laut menyisir gunungan sampah mencari barang-barang yang bisa dijual ke tempat daur ulang. Sementara barang seperti pakaian bekas atau mainan akan mereka bawa pulang.
“Kami tidak punya pendidikan atau pengalaman kerja di darat. Ini pekerjaan satu-satunya yang kami jalani,” kata Saikim, 40, kepada CNA.
Hasan khawatir suatu hari nanti laut tidak lagi bisa diarungi dan menjadi sumber mencari nafkah bagi keluarganya.
“Sudah ada dua orang dari suku kami yang berhenti menjadi nelayan dan sekarang bekerja sebagai satpam di daratan,” kata dia. “Saya ingin anak-anak saya sekolah dan mencari kerja di darat karena tinggal di laut semakin berat dari tahun ke tahun.”
Saiyun menyampaikan pandangan yang sama, berharap tiga cucunya tidak menjadi nelayan seperti dirinya atau orangtua mereka.
“Terserah anak-anak kalau mau mencari perubahan atau kelebihan (nafkah). Saya tidak bisa mengatur kalau mereka mau bekerja di darat. Itu terserah mereka,” kata dia.
Ketika ditanya apakah dia khawatir tradisi Suku Laut akan hilang dan terlupakan jika semakin banyak yang kerja di darat, Saiyun terdiam sejenak dan memejamkan matanya.
Setelah menghela nafas, dia menjawab sambil tersenyum getir: “Kalau mereka bisa melestarikan (tradisi) itu bagus. Tapi kalau memang takdirnya tidak bisa, ya sudah.”
(*)
Artikel ini pertama kali terbit di Channel News Asia (CNA)