LIMA ruang kantor itu, meriung di lantai 7 itu. Dinding, atap, semuanya serba putih. Dua ruang masing-masing ruang besarnya sekitar selapangan bola voli; berisi meja-meja berpartisi, dengan masing-masing meja berisi komputer dan seorang pegawai.
Oleh : Sultan Yohana
RUANG satu lagi, masih dengan meja dan komputer, namun didesain seperti labolatorium komputer. Satu ruang sempit untuk rapat. Sementara satu ruang lagi, saya tak bisa mendeskripsikannya, karena tak bisa melongok ke dalamnya.
Koridor sempit memisahkan tiap ruang. Seruang tamu kecil, di tengah-tengahnya, berisi seperangkat meja-kursi; berhadap-hadapan dengan pantri yang menyediakan aneka minuman. Tidak banyak hiasan di kantor itu. Boring. Terlalu sederhana untuk kantor sebuah perusahaan besar beromzet triliunan, yang mengendalikan nyaris semua jaringan kabel fibre seantero Singapura. Satu pot bunga di dekat pantri, seolah tidak memberikan efek apa-apa. Dari semua itu, perhatian saya justru tersedot pada dua poster yang ditempel di dinding koridor. Ketika Selasa (6/2), mengasisteni sesi foto bos-bos sebuah perusahaan tekhnologi plat merah Singapura. Satu poster berisi daftar nomor telepon darurat bagi orang-orang yang menghadapi masalah mental. Sebelahnya, poster peringatan tentang tanda-tanda orang yang terkena sakit mental.
Kenapa di dinding kantor dipasang hal yang berhubungan dengan sakit mental? Ini tidak biasa? Pikir saya.
Tinggal sedekade lebih di Singapura, memberi pemahaman cukup bagi saya, bahwa orang Singapura yang tak pernah melakukan hal nonsense. Dua poster itu, tentu saja bukan sekedar pengumuman gaya-gayaan yang tidak bermakna apa-apa. Saya tiba-tiba ingat cerita karib saya, Lim, tentang keponakannya yang bekerja sebagai IT, dan tiap hari harus menelelan enam biji Panadol untuk meredakan sakit kepala dan stresnya. Saya tiba-tiba ingat instruktur yoga istri saya, yang bunuh diri terjun dari lantai 13. Tiba-tiba saja saya terbayang wajah tetangga saya, yang menangis di depan saya sembari menceritakan masalah pribadinya, padahan namanya saja saya tak tahu. Tiba-tiba juga muncul wajah anak tetangga sebelah rumah, seorang pengacara muda yang sukses, namun untuk sekedar bermain bola saja – satu hal yang menjadi kegemaran dia – kini tidak lagi bisa ia lakukan. Terakhir saya ketemu si pengacara, rambutnya mulai rontok, perutnya membuncit, padahal usianya belum lagi 30an.
Sebesar itu kah hal yang harus dipertaruhkan seseorang untuk mengejar kesuksesan? Dua poster berisi peringatan masalah mental yang tertempel di koridor sebuah kantor perusahaan tekhnologi itu; dengan mudah memberi gambaran betapa besarnya tekanan stres yang luar biasa pada para pegawai-pegawainya. Dan itu sangat berbahaya!
Saya pernah menjadi orang kantoran, tentu saja! Dan sejujurnya, itu bukan pengalaman yang menyenangkan. Saban sore sehabis ngantor, saya seolah-olah kehilangan tenaga. Lemas, malas, dan enggan ngapa-ngapain. Rasa lelahnya, bahkan jauh melebih rasa lelah setelah bermain bola. Bedanya, capek bermain bola itu sehat dan membuat hati gembira.
Tapi beruntung bagi saya. Di Batam, saya punya banyak kawan. Begitu selesai kerja, saya bisa ngajak siapa saja nongkrong sambil ngopi. Atau nonton film, makan malam sambil ngebir di pinggir pantai, atau banyak lain kegiatan menyenangkan yang dengan mudah melibatkan kawan-kawan. Kegiatan-kegiatan yang bisa dengan mudah menghilangkan stres dan beban kerja.
Di Singapura juga. Dengan mudah saya bisa mengajak kawan atau anggota keluarga untuk sekedar jogging bersama, mapun hiking keluar-masuk hutan. Pergi tahlilan ke masjid dekat rumah. Atau motret jalanan, berkunjung ke museum dan pameran seni, atau sekedar bersama istri hunting makanan-makanan khas dari warung-warung lama yang sudah mulai langka. Ada banyak hal, sebetulnya, yang bisa kita lakukan, untuk sekedar menghilangkan stres. Hal-hal yang seringkali sederhana, dan tak membutuhkan biaya.
Tapi, saya tahu, tak banyak orang Singapura seberuntung saya.
1 dari 10 remaja di Singapura, menderita gangguan kesehatan mental. Ini adalah salah satu dari hasil surve yang dilakukan Kementrian Kesehatna Singapura (MOH). Survei yang dirilis pada 27 September 2022 silam itu, dibuat untuk melacak kesehatan, faktor risiko, dan praktik gaya hidup penduduk Singapura berusia 18 hingga 74 tahun. Dari Juli 2021 hingga Juni 2022. Survei yang melibatkan 8 ribu orang dewasa melalui wawancara rumah tangga, dan 9 ribu orang dewasa lainnya, diwawancarai lewat pemeriksaan kesehatan. Temuan survei lainnya menunjukkan, ada peningkatan jumlah penderita gangguan mental, dari 13,4 persen pada tahun 2020, menjadi 17 persen pada tahun 2022.
Masyarakat Singapura usia antara 18 hingga 29 tahun, adalah mereka yang memiliki peningkatan jumlah angka kesehatan mental buruk tertinggi, yakni sebesar 25,3 persen. Prevalensi pada kelompok usia lain jauh lebih rendah, berkisar antara 10,5 persen pada kelompok usia 60 hingga 74 tahun. Pada kelompok usia 30 hingga 39 tahun, hanya ada di angka 19,4 persen. Survei itu juga mencatat, perempuan lebih banyak menderita gangguan mental (18,6 persen), dibanding laki-laki (15,2 persen).
Angka-angka di atas, jelas sangat mengkhawatirkan. Terutama pada peningkatan gangguan mental yang dialami masyarakat usia 18-29 tahun. Usia di mana seharusnya seseorang justru berada pada tingkat bahagia yang maksimal. Tapi sekali lagi, dua poster yang ditempel di kantor perusahaan tekhnologi yang saya ceritakan di awal, justru bisa memberi petunjuk, karyawan-karyawan mereka yang rata-rata berusia muda, adalah pihak yang paling rentan terkena gangguan mental.
Pertanyaannya? Kenapa hal demikian bisa terjadi? Kenapa terjadi justru di sebuah negara kaya raya? Terjadi pada masyarakatnya punya tingkat pendidikan yang baik? Fasilitas lengkap? Terjadi pada warga yang pemerintahnya adil serta mensejahterakan?
Jawabannya sederhana: karena hidup mereka tidak seimbang!
(*)
Penulis/ Vlogger : Sultan Yohana, Citizen Indonesia berdomisili di Singapura. Menulis di berbagai platform, mengelola blog www.sultanyohana.id
Rubrik : Catatan Netizen jadi platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi para netizen yang gemar menulis, tentang apa saja hal positif yang bisa dibagikan melalui wadah GoWest.ID. Kirim artikel/ konten/ esai anda secara mandiri lewat cara ini ya.