PANDEMI Covid-19 telah berlangsung selama dua tahun sejak kasus pertama diumumkan oleh pemerintah pada 2 Maret 2020 lalu. Sampai hari ini, Rabu (2/3/2022), tercatat 5,5 juta orang sudah terinfeksi, 148 ribu lebih jiwa meninggal dunia.
CISDI, Puskapa, LaporCovid-19, dan Transparency International Indonesia (TII), menilai kondisi saat ini cenderung menuju skenario survival of the fittest atau seleksi alam.
“Atau ketika orang-orang yang memiliki akses dan sumber daya mampu hidup berdampingan dengan Covid-19, namun meninggalkan mereka yang tidak memiliki sumber daya memadai,” tulis mereka dalam keterangannya, Rabu (2/3/2022).
Diketahui, pandemi Covid-19 telah berlangsung selama dua tahun sejak kasus pertama yakni dua warga Depok terkonfirmasi positif Covid-19 usai kontak erat dengan seorang warga negara Jepang.
Sejak saat itu, kasus positif terus bertambah begitu juga dengan kematian dan kesembuhan, total hingga saat ini sudah ada 5.589.176 orang Indonesia yang terinfeksi Covid-19, masih terdapat 539.214 kasus aktif, 4.901.302 orang sembuh, dan 148.660 jiwa meninggal dunia.
Indonesia juga telah melewati tiga gelombang pandemi yakni pada awal masuknya virus, kemudian gelombang kedua pada periode Juni-Agustus 2021 akibat varian Delta, dan kini gelombang ketiga masih berlangsung akibat varian Omicron.
Sementara itu, Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covjd-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Prof. Zubairi Djoerban menyebut pemerintah Indonesia seharusnya sudah mulai memperbaiki sistem pendataan setiap kasus yang ditimbulkan oleh virus Covid-19.
“Update mengenai seberapa banyak Omicron di Indonesia sekarang baik di Jawa-Bali, khususnya yang luar Jawa-bali berapa banyak jumlahnya di kita, itu data yang penting,” kata Zubairi saat dihubungi melalui telepon di Jakarta. Demikian dikutip dari Antara, Rabu (2/3).
Menanggapi dua tahun pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia, Zubairi meminta pemerintah untuk mengoreksi data dan meningkatkan pelacakan hingga 100.000 tes per hari di seluruh wilayah Tanah Air.
Sebab, jumlah orang yang melakukan tes PCR saat ini mulai mengalami penurunan. Menurutnya, tes yang saat ini dilakukan hanya mencapai sekitar 50.000 saja per harinya. Dengan sebagian besar sample yang diperiksa per harinya, berasal dari Provinsi DKI Jakarta.
“Ini harus lebih dikoreksi lagi dengan sejumlah tes PCR yang diperiksa. Karena rata-rata per hari itu, Jakarta mengambil 25 persen dari seluruh total sample di Indonesia. Jadi mohon kepada provinsi-provinsi yang lain untuk meningkatkan jumlah tes PCR nya,” ucap Zubairi.
Selain pelacakan kasus aktif, pelaporan berapa banyak jumlah kasus positif dan kematian akibat Omicron baik di dalam maupun luar Pulau Jawa-Bali seharusnya ikut dijabarkan agar masyarakat menjadi paham, meski Omicron tidak menimbulkan gejala berat seperti Delta, namun Omicron tetap berbahaya dan menyebabkan kematian, ujarnya.
Oleh sebab itu, dia meminta agar pemerintah dapat memperbaiki sistem data tersebut agar dapat menciptakan sebuah gambaran yang lebih tepat untuk membantu penanggulangan pandemi Covid-19.
“Kita lihat akhir-akhir ini rumah sakit mulai terisi lagi, kita lihat kematian per hari itu juga masih nyata. Berapapun jumlah kematian, itu bermakna bagi keluarga yang ditinggalkan,” ujar dia.
Epidemiolog Griffith University Australia, Dicky Budiman, mengatakan setelah pada tahun 2021 Indonesia fokus pada vaksinasi, saat ini negara perlu melakukan perbaikan sistem data Covid-19.
Sebab, kasus infeksi yang ditemukan dan dilaporkan, jumlahnya masih jauh lebih sedikit dibandingkan yang sebenarnya terjadi di masyarakat.
“Untuk diketahui dari April 2020 hingga saat ini, kita masih disebut dengan level community transmission. Meskipun sudah ada sejumlah peningkatan penanganan ya,” kata Dicky.
Hadirnya varian Omicron yang menyebabkan banyak orang terkena gejala ringan hingga tak bergejala, menyebabkan kasus positif menjadi lebih sulit untuk terdeteksi. Sehingga pelacakan kasus Covid-19 harus lebih digencarkan karena dapat menjadi tantangan di masa depan.
Menurut Dicky, manajemen data merupakan sebuah dasar bagi para pemimpin bangsa untuk mengambil keputusan dalam menentukan strategi efektif yang kuat. Data-data berbasis ilmiah yang tepat dan tersusun rinci akan mempermudah pemerintah memprediksi masa depan.
Termasuk menjadi modal negara untuk beradaptasi dengan pandemi berikutnya dan akan membangun terciptanya persepsi risiko dalam masyarakat.
“Tanpa penguatan sistem kesehatan, tentu ini akan menjadi beban besar untuk menghadapi ancaman pandemi berikutnya,” ucap Dicky.
(*)
sumber: suaramerdeka.com | Suara.com


