SEORANG bekas bos eksekutif Facebook mengaku merasa “sangat bersalah” karena telah ikut membangun apa yang disebutnya sebagai “alat yang mengoyak tenunan sosial masyarakat”.
Pengakuan itu diutarakan Chamath Palihapitiya, yang sebelumnya menjabat sebagai wakil presiden Facebook bidang pertumbuhan pengguna, ketika berbicara di kampus Universitas Stanford, California, Amerika Serikat pada November lalu.
“Apa yang kami ciptakan telah merusak masyarakat,” kata Palihapitiya yang mundur dari Facebook pada 2011 silam.
“Tak ada diskursus publik, tak ada kerja sama, hanya kesesatan informasi, dan ketidakbenaran,” imbuh dia, seperti dilansir The Guardian dari Verge, Senin (11/12/2017).
“Ini bukan soal iklan-iklan Rusia. Ini adalah masalah global. Media sosial telah mengikis fondasi utama dari perilaku manusia dan bagaimana perilaku mereka terhadap sesama,” beber Palihapitiya.
Penyesalan Palihapitiya itu diutarakan sehari setelah salah satu Presiden Facebook, Sean Parker, menuding Facebook “memanfaatkan kelemahan psikologi manusia” dan “mengubah relasi pengguna dengan masyarakat dan dengan sesama.”
“Hanya Tuhan yang tahu apa yang Facebook lakukan terhadap otak anak-anak kita,” kata Parker dalam sebuah konferensi di Philadelphia, AS, awal November lalu.
Adapun Palihapitiya berharap bisa menggunakan uang yang diperolehnya dari Facebook untuk berbuat kebaikan di dunia.
“Saya tak bisa mengendalikan mereka (Facebook dan media sosial lain),” kata Palihapitiya, “Tetapi saya bisa mengontrol keputusan saya, karenanya saya tak menggunakan media sosial. Saya bisa mengendalikan anak-anak saya, karenanya mereka tak menggunakan media sosial.”
Palihapitiya juga mengajak para audiens untuk sunguh-sungguh mencari hubungan seperti apa yang mereka dambakan di media sosial.
“Perilaku Anda, mungkin tak Anda sadari, tetapi Anda sedang diprogram,” wanti-wanti dia.
Kritik Palihapitiya ini disampaikan ketika Facebook sedang banyak dikritik karena menjadi media yang sering menyebarkan berita bohong, hoax, dan provokasi, yang tak jarang berujung pada pertumpahan darah.
Salah satu contohnya adalah di Myanmar, di mana Facebook dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok Budha garis keras untuk menyebarkan ujaran kebencian dan provokasi terhadap warga etnis Rohingya yang beragama Islam.
Palihapitiya sendiri mengutip contoh peristiwa di India beberapa bulan lalu, ketika tujuh warga Muslim dibunuh oleh massa yang marah karena terprovokasi pesan-pesan hoax di WhatsApp. Seperti diketahui, WhatsApp adalah aplikasi pesan milik Facebook.
“Inilah yang kita hadapai. Bayangkan ketika aktor-aktor jahat kini bisa memanipulasi sekelompok orang untuk melakukan apa saja yang mereka inginkan. Ini sunguh-sungguh sesuatu yang berbahaya,” tekan dia.
Sumber : The Guardian / Verge