DALAM film “Sore: Istri dari Masa Depan,” sebuah ungkapan menyentuh muncul: “Ada tiga hal yang tidak bisa kita ubah: masa lalu, rasa sakit, dan kematian.” Dialog ini, meski tidak berasal dari pemeran utama, mencerminkan inti dari kisah yang berlangsung selama 119 menit.
FILM ini, yang merupakan pengembangan dari serial web YouTube tahun 2017, lebih dari sekadar menggambarkan Sore berusaha mengubah kebiasaan suaminya, Jonathan, untuk hidup lebih sehat. Lepas dari itu, “Sore” menyajikan sebuah elegi tentang penerimaan kehilangan.
Sutradara Yandy Laurens menggunakan elemen fiksi ilmiah dan perjalanan waktu untuk menggambarkan perjuangan Sore yang tengah berduka atas kematian Jonathan. Sejak tayang pada 10 Juli 2025, film ini telah menarik dua juta penonton dalam 17 hari, memicu beragam reaksi.
Beberapa penonton mengkritik film ini sebagai representasi klise perempuan yang terjebak dalam pandangan patriarchal, sementara yang lain menilai “Sore” sebagai kandidat film terbaik tahun ini. Sore terlihat berusaha keras mengubah kebiasaan Jonathan—dari membuang rokok hingga menyiapkan makanan sehat—namun Jonathan tetap enggan berubah.
Ucapan Jonathan, “Orang berubah bukan karena rasa takut, tapi karena dicintai,” menjadi sorotan. Namun, perjalanan Sore ke Zagreb menuntunnya pada kesadaran bahwa ada hal-hal yang tak bisa diubah. Perubahan motivasinya membawa Sore ke refleksi diri yang lebih mendalam.
Yandy Laurens menjelaskan pemilihan lokasi di Kroasia, Finlandia, dan Indonesia, untuk menggambarkan alienasi. Dalam sebuah adegan, Sore pergi ke Kutub Utara, tempat yang menggambarkan waktu yang terhenti, setelah membaca buku harian Jonathan.
Menggunakan teori kedukaan dari Elizabeth Kübler-Ross, banyak yang melihat Sore masih berada dalam fase penyangkalan. Aktivis perempuan Kalis Mardiasih mengusulkan untuk melihat Sore sebagai simbol perempuan yang berduka, bukan sekadar karakter yang berfungsi normal.
Beberapa penonton mencermati bagaimana tindakan Sore, yang berulang kali mencoba memperbaiki masa lalu, menggambarkan pemikiran “seandainya.” Tika Primandari, yang menonton film ini bersama suaminya, menyatakan bahwa tindakan Sore adalah respons terhadap kedukaan, meskipun bisa jadi terlihat egois.

Keterangan gambar,Sore dan Jonathan saat sedang berada di Zagreb, Kroasia
Okki Sutanto, seorang pengamat sosial, mengaitkan perjalanan Sore dengan mitologi Sisifus, di mana usaha Sore bisa dianggap sia-sia, tetapi juga berharga selama prosesnya. Tika sepakat bahwa jika diberi kesempatan, banyak orang pasti ingin bertemu kembali dengan orang tercinta yang telah pergi.
Film ini juga berhasil menyaingi film lain, seperti “Superman” yang dirilis bersamaan, dengan dua juta penonton hingga akhir Juli. Meskipun banyak pujian, Ketua Komite Film DKJ, Sugar Nadia Azier, menyoroti kekurangan dalam logika ilmiah perjalanan waktu yang dihadirkan.
Yandy Laurens menyatakan bahwa ide perjalanan waktu diambil untuk menantang premis film romansa umum, dengan harapan memberikan perspektif baru. Namun, ia juga mengakui bahwa inspirasi datang dari berbagai sumber, termasuk anime.
Meski “Sore” mengundang perdebatan, banyak yang setuju film ini layak mendapatkan tempat di antara film terbaik tahun ini. Penonton seperti Mingky Herati dan Tika Primandari menilai film ini unggul dalam emosionalitas, sinematografi, dan akting, menjadikannya sebuah “paket lengkap” yang berkesan.
(ham/BBC)