SELAMA bertahun-tahun, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan sikap paling keras terhadap kejahatan narkotika. Hukuman mati menjadi senjata utama dalam perang melawan narkoba, terutama sejak era Presiden Joko Widodo.
DI bawah kepemimpinannya, eksekusi mati kembali marak, termasuk terhadap warga negara asing, meski menuai kecaman dari berbagai pihak.
Namun, langkah terbaru pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memunculkan tanda-tanda perubahan. Sejumlah terpidana mati dan seumur hidup kasus narkotika, termasuk warga asing, dipulangkan ke negara asal mereka.
Kebijakan ini belum bisa disebut sebagai perubahan haluan, tetapi cukup untuk menimbulkan harapan di kalangan aktivis hak asasi bahwa Indonesia mulai melunak terhadap hukuman mati.
“Ini suatu inisiatif dan langkah yang baik, sebagai upaya meningkatkan hubungan bilateral antarnegara yang warganya dipulangkan,” ujar Bonar Tigor Naipospos, Wakil Ketua Setara Institute, kepada BenarNews.
‘’Saat Jokowi eksekusi mati kan cukup mengganggu hubungan bilateral. Ada negara-negara yang enggan bantu pemerintah untuk kejahatan internasional karena WN mereka dihukum mati di sini,’’ujarnya.
Indonesia memang sudah hampir satu dekade tak mengeksekusi terpidana mati. Meski begitu, aktivis HAM mendesak pemerintah untuk menetapkan moratorium resmi dan mengubah seluruh vonis mati menjadi hukuman lebih manusiawi.
Jaksa Agung Sianitar Burhanuddin pada 5 Januari 2025 mengatakan, setidaknya 300 terpidana mati di Indonesia yang menunggu eksekusi –mayoritas kasus narkotika. Banyak dari mereka adalah warga negara asing.
Hukum narkotika Indonesia tetap salah satu yang paling ketat di dunia. Kepemilikan dalam jumlah kecil bisa berujung hukuman panjang, sementara pengedar dan bandar besar tak jarang dijatuhi hukuman mati. Pada 2015, Indonesia mengeksekusi 14 terpidana narkoba, termasuk dua warga Australia, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, pemimpin jaringan “Bali Nine”.
Jokowi berkukuh, eksekusi mati adalah langkah pencegahan demi menyelamatkan generasi muda, meski banyak pihak mempertanyakan efektivitas hukuman mati dalam menekan peredaran narkoba.
Saat ini, 113 negara di dunia telah menghapus hukuman mati, sementara Indonesia masih bertahan di antara 55 negara yang memberlakukannya. Meski begitu, KUHP baru yang akan berlaku pada 2026 memberi peluang perubahan. Jika seorang terpidana mati berkelakuan baik selama 10 tahun, hukumannya bisa dikurangi menjadi penjara seumur hidup.
Sejak dilantik Oktober lalu, Prabowo telah menyetujui pemulangan sejumlah narapidana asing, termasuk Mary Jane Veloso dari Filipina, serta anggota terakhir “Bali Nine”. Bulan ini, giliran
Serge Areski Atlaoui, warga Prancis yang divonis mati atas kasus narkotika, yang dipulangkan ke negaranya.
Bagi sebagian pengamat, pemulangan ini lebih bersifat diplomatis ketimbang perubahan kebijakan. Faktor pragmatis, seperti kepadatan lapas yang mencapai 189 persen dari kapasitas, juga tak bisa diabaikan. Saat ini, lebih dari 265 ribu narapidana menghuni penjara yang seharusnya hanya menampung 140 ribu orang.
“Ini dapat dilihat sebagai upaya pemerintah mengatasi masalah kelebihan kapasitas di sejumlah lembaga pemasyarakatan (lapas),” ujar peneliti organisasi hak asasi manusia Kontras, Rizky Fariza Alfian kepada BenarNews.
Menurut Rizky, kelebihan kapasitas di lapas dan rumah tahanan selama ini telah membuat perlindungan terhadap terhadap warga binaan di lapas dan rumah tahanan, terutama yang membutuhkan perhatian khusus, tidak berjalan maksimal.

Usman Hamid, direktur eksekutif Amnesty International Indonesia, mengatakan repatriasi ini belum mencerminkan perubahan besar Indonesia terkait hukuman mati.
“Selama belum ada perubahan menyeluruh yang nyata, langkah repatriasi ini hanya akan dipandang pragmatisme belaka,” ujar Usman kepada BenarNews.
Di sisi lain, para pakar hukum mengingatkan agar pemulangan narapidana tidak hanya didasarkan pada kepentingan politik luar negeri.
“Pemerintah harus menjelaskan alasan kemanusiaan yang mendasari kebijakan ini,” kata Ade Adhari, Direktur Eksekutif Diponegoro Center for Criminal Law.
“Indonesia harus memastikan bahwa negara tersebut memiliki good will untuk memastikan akan melanjutkan proses pemidanaan yang telah diputuskan oleh hakim di Indonesia,” tulisnya.
”Negara juga harus memastikan bahwa negara tersebut mengakui dan memberlakukan pidana seumur hidup atau pidana mati dalam sistem hukum pidananya.”
Media Australia melaporkan, sisa anggota “Bali Nine”—Si Yi Chen, Michael Czugaj, Matthew Norman, Scott Rush, dan Martin Stephens—yang awalnya divonis seumur hidup, tidak perlu menjalani hukuman tambahan di Australia setelah menjalani 19 tahun di Indonesia. Secara de facto, hukuman mereka pun dikurangi.
Selain tekanan diplomatik, pemulangan terpidana mati juga memunculkan pertanyaan tentang konsistensi hukum. Bagaimana jika negara penerima tidak mengakui hukuman mati? kata Ade.
Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, menilai langkah ini masih abu-abu secara hukum.
Pasalnya sampai saat ini, Indonesia belum memiliki perjanjian bilateal yang mengatur perihal transfer tahanan serta prasyarat yang harus dipenuhi, terang Hikmahanto.
“Saya bisa bilang ini tidak sesuai peraturan yang berlaku,” ujar HIkmahanto kepada BenarNews, seraya merujuk Pasal 45 Undang-undang Pemasyarakatan.
Pemerintah Indonesia sendiri mengisyaratkan bahwa pemulangan ini bisa jadi langkah timbal balik. Ada wacana membawa pulang warga Indonesia yang dipenjara di luar negeri, termasuk Reynhard Sinaga, terpidana kasus kekerasan seksual di Inggris, serta Encep Nurjaman alias Hambali, tersangka teroris yang ditahan di Guantanamo Bay.
Namun, setelah menuai kritik publik, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menegaskan bahwa pemindahan mereka bukan prioritas saat ini.
“Tidak ada prioritas atas kasus ini, tetapi tetap menjadi perhatian pemerintah,” kata Yusril dalam keterangan tertulis. “Kami terus mengupayakan perlindungan bagi semua WNI, baik yang terlibat dalam kasus hukum berat maupun yang menghadapi ancaman hukuman mati.”