KELOMPOK hak asasi manusia pada Jumat (23/8) mendesak polisi untuk membebaskan lebih dari 200 orang demonstran di Jakarta yang melakukan unjuk rasa untuk menolak revisi undang-undang pemilihan kepala daerah.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan terdapat puluhan tindakan represif, intimidasi, hingga kekerasan terhadap pengunjuk rasa yang turun ke jalan pada Kamis.
Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI Zainal Arifin merinci sebanyak 39 orang ditahan di Polda Metro Jaya, 102 orang ditahan di Polres Jakarta Barat. Namun 70 orang yang ditahan di Polres Jakarta Barat telah dibebaskan.
Sementara itu, sebanyak 159 orang masih ditahan di Polres Jakarta Timur. Dari jumlah itu, total hingga kini masih 230 orang yang ditahan, kata Zainal.
“Saat kami menemui mereka yang ditahan di Polda Metro Jaya, banyak dari mereka babak belur,” ujar Zainal kepada BenarNews.
Zainal meminta aparat kepolisian segera membebaskan para demonstran yang ditangkap, beberapa di antara mereka mengalami patah tulang hidung dan memar-memar di wajah.
“Mereka ditangkap tanpa surat penangkapan. Tidak jelas apa salah mereka. Apa tindak pidana mereka? Barang buktinya apa? Harus ada barang bukti permulaan,” ujar Zainal.
“Tapi ini yang terjadi aparat kan hanya main comot dan hajar saja,” ungkap Zainal.
Zainal mengatakan para pengacara dari gabungan masyarakat sipil juga dihalang-halangi pihak kepolisian untuk dapat menemui para demonstran yang ditahan.
“Kami sudah minta bertemu sejak pukul 19.00 malam. Tapi kami baru dapat bertemu mereka jam 04.00 pagi,” tutur Zainal.
Selain itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mengatakan sebanyak 11 jurnalis ikut mengalami kekerasan atau tindakan represif dari aparat saat meliput aksi di DPR.
“Wartawan Tempo dipukul polisi akibat merekam kejadian penangkapan massa. Wartawan Narasi diintimidasi tidak boleh merekam penganiayaan demonstran di jembatan penyebrangan orang di depan DPR,” ujar Ketua AJI Jakarta Irsyan Hasyim kepada BenarNews.
Komnas HAM minta aparat jamin kebebasan berpendapat
Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) Anis Hidayah menyampaikan aksi unjuk rasa menolak revisi undang-undang pemilihan kepala daerah merupakan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dilindungi.
“Seharusnya tugas aparat adalah … menjamin upaya keamanan dan perlindungan,” terang Anis kepada BenarNews.
Anis juga menilai bahwa penangkapan pengunjuk rasa oleh aparat keamanan tidak sesuai prosedur hukum.
“Kami ingin mereka yang ditangkap dibebaskan segera dan dalam prosesnya ada jaminan akses terhadap bantuan hukum,” ucap Anis.
Dalam keterangan terbarunya pada Jumat malam, Komnas HAM melaporkan ada 50 demonstran yang ditahan di Polda Metro Jaya. Dari jumlah tersebut, tujuh orang, yang terdiri dari enam anak-anak dan satu perempuan, telah dipulangkan.
Komnas HAM menyampaikan beberapa rekomendasi kepada Polda Metro Jaya antara lain memastikan akses bantuan hukum bagi para peserta unjuk rasa.
Ribuan orang menggelar demonstrasi di depan Gedung DPR, Jakarta pada Kamis untuk mencegah DPR mengubah undang-undang pemilihan kepala daerah (Pilkada) hasil keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Kecuali Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, keseluruhan fraksi lainnya di DPR ingin menganulir keputusan MK tersebut.
Pada Selasa (20/8) MK mengubah pasal Pilkada terkait persyaratan partai politik dalam menominasikan kandidatnya, dari sebelumnya mereka harus memiliki 25% suara atau 20% kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), menjadi bisa hanya berkisar antara 6,5% – 10% berdasarkan populasi pemilih di wilayah tersebut.
Sehari setelahnya, DPR langsung mengadakan rapat pembahasan untuk mementahkan persyaratan di atas dan juga mengubah keputusan MK lainnya terkait usia minimal kandidat gubernur/wakil gubernur, yang tadinya berusia 30 tahun pada saat penetapan , menjadi pada saat pelantikan.
Banyak pihak melihat bahwa pengubahan ini adalah untuk memuluskan jalan bagi Kaesang Pangarep, putra kedua Jokowi, untuk bisa ikut mencalonkan diri walaupun usianya baru akan mencapai 30 tahun pada Desember 2024, sedangkan hari penetapan pasangan calon adalah pada 22 September.
Setelah tekanan dari protes masyarakat melalui kampanye “Peringatan Darurat Indonesia” baik secara daring dan di jalanan yang berakhir rusuh, para anggota DPR akhirnya sepakat membatalkan pembahasan legislasi tersebut.
Polisi sebut telah pulangkan lebih seratus demonstran
Meski sempat membantah telah menahan demonstran, polisi pada Jumat akhirnya menyampaikan telah menangkap 301 demonstran di depan gedung DPR. Dari jumlah itu, sebanyak 112 orang telah dibebaskan.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam Indradi mengatakan para demonstran yang belum dipulangkan sedang menjalani pemeriksaan.
Ary mengklaim para demonstran diamankan petugas karena diduga mengganggu ketertiban, merusak, dan tidak mengindahkan peringatan petugas di lapangan.
“Ada yang sudah dipulangkan setelah selesai dilakukan klarifikasi, namun ada beberapa yang belum karena proses pengambilan keterangan ini juga membutuhkan waktu,” ujar Ade pada wartawan.
BenarNews telah menghubungi Ade soal status para tahanan saat ini, namun tidak memperoleh balasan. Ade juga tidak menjawab pertanyaan apakah polisi terlibat tindak kekerasan terhadap jurnalis.
Rumadi Ahmad, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Bidang Politik, Hukum, Keamanan dan HAM, mengatakan pemerintah menjamin kekebebasan dalam menyampaikan pendapat.
“Menyampaikan pendapat merupakan hak yang dilindungi undang-undang. Semua pihak harus menahan diri tidak melakukan kekerasan,” kepada BenarNews.
Insiden berulang
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid mengecam kekerasan polisi yang hanya mengulang tindakan-tindakan represif aparat sebelumnya.
“Insiden yang berulang ini membuktikan kegagalan pihak berwenang untuk menghormati, memfasilitasi, dan melindungi hak untuk berunjuk rasa, yang dijamin oleh hukum hak asasi manusia nasional dan internasional,” ucap Usman dalam keterangannya kepada BenarNews pada Jumat.
“Amnesty International Indonesia dan organisasi mitra menemukan bahwa pasukan polisi telah menggunakan kekerasan yang melanggar hukum dan menangkap pengunjuk rasa secara sewenang-wenang selama unjuk rasa,” tambah Usman.
Amnesty juga memiliki video di mana polisi mengejar dan memukul pengunjuk rasa dengan tongkat dan menginjaknya dalam aksi demonstrasi di Bandung.
Di Semarang, setidaknya 15 mahasiswa dari berbagai kampus dirawat di RS Roemani akibat tembakan gas air mata ke arah pengunjuk rasa oleh polisi.
“Mereka mengalami gejala seperti sesak nafas, mual, mata perih, dan beberapa bahkan pingsan,” ucap Usman.
Sebelumnya pada tahun 2020, Amnesty International memverifikasi 51 video yang menggambarkan 43 insiden kekerasan polisi selama aksi unjuk rasa menentang Undang-Undang Cipta Kerja.
Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam kekerasan dan penyiksaan terhadap demonstran.
“Selain pelanggaran terhadap konstitusi, hal tersebut juga merupakan pelanggaran terhadap aturan perilaku Kepolisian sebagaimana diatur oleh Peraturan Kapolri,” ujar Wakil Koordinator KontraS Andi Muhammad Rezaldy dalam keterangan kepada BenarNews.
Arie Firdaus dan Nazarudin Latif berkontribusi dalam laporan ini.