SISWA di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMK) 2 Wonogiri jurusan mekatronika tengah mengembangkan pesawat nirawak (drone) yang diaplikasikan untuk misi penyelamatan.
Pesawat tanpa awak berbaling-baling enam itu digunakan untuk menangani kecelakaan air.
“Perlu waktu sekitar empat bulan untuk merakitnya,” kata salah satu siswa, Anhar Mufti, dilansir dari laman tempo.co .
Menurut Anhar, drone itu memiliki kelebihan dibanding produk sejenis yang dijual di pasaran.
“Mampu membawa beban yang lebih berat.” Sehingga drone itu bisa membawa beban hingga lima kilogram, seperti membawa tali dan pelampung.
Drone ini bertugas melemparkan alat penyelamat kepada korban kecelakaan air. Karena perangkat itu akan sangat membantu bagi petugas penyelamatan di tempat wisata air seperti pantai dan danau.
“Kami masih terus riset agar daya angkutnya lebih besar.”
Dia mengakui, tidak semua komponen drone dibuatnya sendiri. Mesin dan panel digital harus dibeli di toko online. Sedangkan rangka, bodi, serta peralatan mekanis dibuat sendiri oleh para siswa.
Rangka dibuat dari aluminium bekas jemuran. Meski begitu, rangka yang dibuat cukup kokoh sehingga pesawat cukup stabil saat diterbangkan. Bentang rangkanya juga cukup lebar sehingga lebih kuat untuk mengangkut beban yang cukup berat.
Praktek pembuatan drone itu tidak lepas dari hobi yang para siswa di sekolah kejuruan itu.
“Kebetulan kami hobi fotografi,” kata Anhar. Mereka memiliki drone yang biasa digunakan untuk membuat potret udara.
Karya ini membuat mereka tertantang merancang drone yang memiliki kemampuan lebih besar. “Sehingga bisa diaplikasikan untuk keperluan lain.”
Guru mereka, Eko Nur Wahyudi di laman tempo.co mengatakan siswanya beberapa kali merombak rancangan rangka. “Mereka mencari bentuk dan ukuran yang ideal agar kemampuannya bisa maksimal.”
Selain untuk misi penyelamatan, sekolah juga mengembangkan produk serupa untuk keperluan pertanian.
“Drone digunakan untuk menyemprot pupuk cair dan pestisida,” kata Eko. Saat ini, drone itu mampu mengangkut satu liter pupuk cair maupun pestisida.
Menurut Eko, biaya yang dibutuhkan untuk membuat drone itu cukup besar. “Mencapai Rp 15 juta.” Sedangkan di pasaran, produk dengan spesifikasi serupa biasa dipasarkan dengan harga hingga Rp 200 juta.
Meski begitu, kemampuan dronebikinan sekolahnya, kata Eko, tidak kalah dengan produk buatan luar negeri. “Mampu terbang stabil meski angin cukup kencang.” Kemampuan itu membuat drone penyelamat aman dioperasikan di pantai.
Hasil inovasi siswa itu sempat diuji coba terbang dalam Pameran Kreativitas Siswa SMK tingkat Jawa Tengah di Balai Kota Surakarta beberapa waktu lalu. Drone mampu menerbangkan sebotol air mineral dengan stabil. ***