Khas
Kiprah Google “Ngeles” Pajak di Beberapa Negara

TERNYATA bukan hanya di Indonesia, Google menolak membayar pajak. Perusahaan besar yang berawal dari mesin pencari ini, juga punya rekam jejak serupa di negara-negara lain.
Contohnya di Italia. Di negara Pizza itu, Google diminta untuk membayar 300 juta Euro atau setara Rp4,4 triliun pada awal 2016. Nilai itu dikalkulasi dari pendapatan rata-rata Google selama enam tahun berbisnis di sana.

Foto : google.com
Dikutip dari beritagar, dalam kacamata pemerintah Italia, Google telah melakukan manipulasi pajak dengan mengalokasikan pendapatan yang diperoleh di Italia ke Irlandia. Dampaknya, pajak yang disetor Google menciut menjadi 2,2 juta Euro atau Rp32 miliar pada 2015 lalu.
Di Inggris, Google seperti diberitakan huffingtonpost sepakat membayar pajak 130 juta poundsterling atau Rp2,2 triliun pada Februari 2016.
Nilai itu dibayar Google untuk menebus pajak selama 10 tahun. Padahal, pendapatan Google Inggris dalam rentang waktu itu ditaksir mencapai 7,2 miliar Poundsterling atau Rp123 triliun.

Foto : searchengineland.com
Inggris tercatat sebagai satu-satunya negara yang berhasil menarik pajak Google. Otoritas pajak Inggris, HerMajesty’s Revenue Customs (HRMC), berani menggagas konsep Google Tax yang mengenakan 25 persen pajak atas laba perusahaan Google di Inggris.
Di Prancis, Google membawa sebagian besar pendapatannya ke Irlandia. Prancis menuntut Google membayar 1,6 miliar Euro atau setara Rp23,5 triliun.

Foto : marketingland.com
Jika dilihat modus Google melakukan aggressive tax planning atau mencari kelemahan ketentuan pajak di satu negara semuanya sama yakni mengalokasikan pendapatan ke sebuah negara yang lebih rendah dan ramah soal pajak. Dalam kasus Indonesia, Singapura menjadi transitnya.

Foto : google
Di Amerika Serikat, negara asalnya saja, Google dikabarkan melalaikan kewajiban pajaknya sebesar USD2 miliar dengan cara memindahkan pendapatan mereka senilai USD10 miliar atau 80 persen dari laba sebelum pajak ke sebuah cabang perusahaan mereka di Bermuda.
Celah tax treaty
Google Asia Pacific Pte Ltd menolak mendirikan Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia sebagai syarat badan usaha yang dikenakan pajak. Google bersikeras karena merasa sudah berdiri sebagai badan hukum (PT Google Indonesia) sejak tahun 2011 dan telah taat membayar semua pajak sejak saat itu.
Keberanian Google sepertinya merujuk kepada celah hukum yang dikenal dengan nama tax treaty. Tax treaty adalah perjanjian perpajakan antara dua negara yang dibuat dalam rangka meminimalisir pemajakan berganda dan berbagai usaha penghindaran pajak.
Perjanjian ini digunakan oleh penduduk dua negara untuk menentukan aspek perpajakan yang timbul dari suatu transaksi di antara mereka. Dalam konteks ini, celah yang digunakan Google adalah tax treaty antara Indonesia dan Singapura seperti dikutip dari ketentuan.pajak.go.id .
Yustinus Prastowo, pengamat perpajakan, dilansir dari detikFinance mengatakan Google memanfaatkan celah perusahaannya sebagai virtual presence yang tidak diatur pada tax treaty yang sudah disepakati. “Standar internasional BUT memang belum mencakup virtual presence.Maka mereka bisa menolak,” kata Yustinus.
Namun, bagi otoritas pajak Indonesia sudah memiliki badan hukum yang seperti demikian, tidak berarti Google bisa menghindar dari kewajibannya membentuk BUT.

Logo Google
“(PT Google Indonesia) itu hal yang berbeda. BUT memang bisa berbentuk apa saja. Tapi Google Indonesia itu perusahaan, badan hukum, bisa saja cuma perwakilan. Jadi belum tentu BUT,” kata Plt Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Noor Iza, dalamKompas.com, Senin (19/9/2016).
Merujuk dari situs pajak.go.id, BUT adalah bentuk usaha yang salah satunya digunakan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
Adapun bentuk usahanya antara lain dapat berupa cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, dan sebagainya.
Ada beberapa solusi yang dipaparkan Yustinus. Pertama, mengubah tax treaty. Akan tetapi, hal ini bisa memakan waktu yang sangat lama karena akan melibatkan negara lain.
Kedua, tetap memaksa Google mendirikan BUT lewat negosiasi. Dan ketiga, merancang skema pajak baru seperti yang berlaku di Inggris (diverted profit tax), India (equalization tax), dan Australia (MAAL). “Namun, untuk solusi ketiga ini dibutuhkan otoritas pajak yang solid, cerdas dan konsisten,” kata Yustinus.
Hampir mulus
Ditjen Pajak memang mengincar Google karena pengalaman yang terjadi di beberapa negara di dunia seperti Inggris, Spanyol, Prancis, Australia, yang otoritas pajaknya mulai merasakan kerugian besar karena aktivitas perusahaan multinasional berbasis IT ini.
Perusahaan seperti Facebook, Google, Twitter, dan Amazon diyakini mendapatkan penghasilan yang sangat besar di sebuah negara, namun kontribusi pajak yang disetorkan mereka sangat kecil. Oleh karenanya, Indonesia mengambil langkah untuk mengejar paja yang terutang ini.
Ditjen Pajak sebenarnya sudah mengajak komunikasi pihak Google setelah mesin pencari raksasa ini diharuskan mendirikan BUT pada April 2016.
“Google awalnya cukup kooperatif dan bekerja sama dengan konsultan pajak di Indonesia. Negosiasi hampir menemui titik bahwa Google bersedia untuk membayar seluruh kewajiban pajaknya,” kata Kepala Kantor Wilayah Pajak Khusus, M. Haniv.
Namun, di pertemuan kedua, Google seperti dilansir detikfinance mulai mengelak. Hingga akhirnya mengirimkan surat kepada Ditjen Pajak yang intinya menolak untuk mendirikan BUT dan mengikuti proses pemeriksaan di Indonesia.
Belanja iklan online Indonesia 2015 mencapai USD800 juta atau lebih dari Rp10,5 triliun. Sementara di 2016 diperkirakan peningkatan yang jauh lebih signifikan atau bisa tembus USD 1 miliar atau sekitar Rp13 triliun. Sebagian besar atau sekitar lebih dari 75 persen masuk ke Google dan Facebook.

Foto : jurnalkpi.com
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebut pada tahun 2015 saja, Indonesia diprediksi telah kehilangan Rp14 triliun dari pendapatan iklan digital. Selama ini Google Indonesia memang tidak melakukan aktivitas periklanan, karena iklan-iklan tersebut disuplai langsung dari Google Asia Pacific yang berada di Singapura.
Tak ayal, seluruh pendapatan dari iklan tersebut tidak disetorkan di Indonesia, melainkan dilarikan ke Singapura. ***